Surat Sultan Inderapura Tahun 1831, Buktikan Pulau Sangkar Bukan Ujung Tanah Pagaruyung!

 

(Gambar 1) Salinan Surat Sultan Inderapura yang dimuat di dalam buku van Aken


Polemik status wilayah adat Depati Rencong Telang di Pulau Sangkar sebagai ujung Tanah Pagaruyung belum juga usai. Baru-baru ini pula sebuah lembaga independen mengadakan temu muka dengan Depati Empat sebagai "kembar rekan", teman sejawat Depati Rencong Telang dalam kelembagaan adat di Kerinci. Intinya mereka juga menolak istilah yang demikian. Namun, saat ini belum ada tindak lanjut dari hasil temu muka tersebut.

Akan tetapi masalah krusial yang sebenarnya terjadi di Kerinci adalah narasi sejarah yang dipercayai oleh orang Kerinci bersumber pada narasi yang tidak kredibel. Mereka mengacu pada "tafsiran" orang yang tidak memahami metodologi sejarah. Bahkan dari sumber-sumber yang abu-abu sekalipun. Mohon maaf, beberapa buku sejarah yang ditulis dibuat oleh ahli ekonomi! Bukan dari mereka yang berkecimpung dalam rumpun kajian kebudayaan entah itu sejarah, filologi, antropologi maupun arkeologi.

Perlu diketahui bahwa sumber utama penelitian sejarah adalah dari dokumen-dokumen tertulis. Dokumen yang paling kredibel itu dibuat satu periode dengan berlangsungya peristiwa sejarah di masa lalu. Kategori yang kedua adalah dokumen yang ditulis tidak jauh dari peristiwa itu berlangsung. Hal ini bisa ditemukan di dalam naskah-naskah kuno yang mengalami penyalinan ulang dari masa ke masa. Singkatnya, nilai kredibel dokumen ditentukan dari rentang waktu penulisan dengan peristiwa yang terjadi.

Baca juga: Benarkah Pulau Sangkar sebagai Ujung Kerajaan Pagaruyung?

Untuk kasus, di Pulau Sangkar hampir tidak ditemukan dokumen tertulis dari masa lalu  yang menyebutkan statusnya sebagai ujung tanah Pagaruyung. Fakta sejarah justru berbicara sebaliknya hal dibuktikan dari dokumen bersejarah yang juga berasal dari Kerinci.

Di dalam bukunya, Sunliensyar mengungkapkan adannya satu dokumen tertulis berupa surat dari Sultan Inderapura yang ditujukan kepada Depati Raja Muda di Mendapo Kemantan. Surat tersebut ditulis pada tahun 1831 oleh Sri Sultan Muhammadsyah Johan Berdaulat. Salinan isi surat dimuat kembali oleh Van Aken pada tahun 1915 di dalam bukunya "Nota betreffende de afdeeling Koerintji" disertai dengan alihaksara dan bahasa. Selanjutnya, Voorhoeve dan Abdul Hamid melakukan alihaksara terhadap naskah surat tersebut pada tahun 1941. Sunliensyar kemudian membuat edisi baru dari isi naskah tersebut yang dimuat dalam bukunya pada tahun 2019.

Menurut Sunliensyar, secara keseluruhan isi surat tersebut menceritakan kembali peristiwa penting yang menyangkut hubungan Inderapura dan Kerinci, di mulai dari peristiwa Perjanjian di Bukit Paninjau Laut, kisah pelarian pangeran dari Inderapura ke Kerinci, hingga pembaharuan perjanjian yang dilakukan di Pulau Rajo. Surat tersebut dikirim dalam rangka menguatkan kembali hubungan Inderapura dengan Kerinci serta pengakuan Inderapura terhadap status Depati Raja Muda Pangeran sebagai keturunan Sultan yang melarikan diri ke Kerinci di masa sebelumnya.

Namun yang menarik dari naskah ini adalah bagian pembuka surat yang secara eksplisit justru menunjukkan Inderapura-lah sebagai Ujung Tanah Pagaruyung. Dua baris pertama di dalam surat tersebut berbunyi (lihat gambar 1):

(Alihaksara) Fasal pada menyatakan patuturan dan pakunun Yang dipertuan Inderapura dengan Kerinci. Bahwa pada awalnya adalah Yang Dipertuan Berdarah Putih tetap/ di atas takhta Kerajaan dalam negeri Inderapura ujung Tanah Pagaruyung, serambi ‘alam Minangkabau, memerintahkan sekalian daerah Pesisir/ Barat.

(Terjemahan) "Pasal yang menyatakan tuturan dan kisah Yang Dipertuan Inderapura dengan Kerinci. Bahwa pada awalnya Yang Dipertuan Berdarah Putih menetap di atas tahta kerajaan di Negeri Inderapura ujung Tanah Pagaruyung, serambi Alam Minangkabau, memerintahkan daerah Pesisir Barat"

Di dalam pembuka surat disebutkan bahwa status Inderapura sebagai Ujung Tanah Pagaruyung bahkan sudah berlangsung sejak era Yang Dipertuan Berdarah Putih. Beliau dijangkakan bertahta pada abad ke-16 M. Di dalam surat, tokoh ini diceritakan sebagai raja Inderapura yang pertama kali mengadakan perjanjian dengan Orang Kerinci. Saat perjanjian berlangsung, Kerinci diwakili oleh dua tokoh yaitu Raja Muda dari Kemantan dan Depati Rantau/Rencong Telang dari Pulau Sangkar. Perjanjian ini turut pula disaksikan oleh Pangeran Temenggung dari Jambi.

Surat ini dari segi akademis sudah barang tentu lebih valid dibandingkan dengan sumber-sumber yang dirujuk oleh beberapa penulis lokal tentang Pulau Sangkar. Namun demikian, semuanya ini kembali kepada masyarakat Pulau Sangkar sendiri,  mau percaya pada sumber yang mana. Sumber yang diakui di dunia sejarah dan akademik atau sumber yang tidak jelas. 

Referensi:

1. Sunliensyar, Hafiful Hadi. 2019. Tanah, Kuasa dan Niaga: Dinama Relasi antara Orang Kerinci dan Kerajaan-Kerajaan Islam di Sekitarnya abad XVII-XIX. Jakarta: Perpusnas Press

2. Aken, Van Ph. 1915. Nota betreffende de afdeeling Koerintji".  Batavia: Encyclopaedisch Bureau

3. Voorhoeve. 1941. Tambo Kerintji. Unpublished


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Sapaan dan Istilah Kekerabatan dalam Masyarakat Kerinci

Mengenang Petrus Voorhoeve, Penemu Awal Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah dan Penyusun Tambo Kerintji

Dari manakah Asal Usul Penduduk Dusun Siulak Mukai? Menelusuri Sejarah dan Struktur Pemerintah Adat Masyarakat Siulak Mukai

Sejarah Wilayah Tigo Luhah Tanah Sekudung, Siulak di Kerinci

Asal Usul Penduduk Dusun Siulak Gedang, Ibu Negeri Wilayah Adat Tanah Sekudung

Sejarah Siulak Dari Mendapo Semurup menjadi Mendapo Siulak, Berikut Daftar Nama Kepala Mendapo

Legenda Batu Patah: Cerita Rakyat dari Danau Kerinci

Apakah Kerinci Termasuk Wilayah Minangkabau?