Kain Orang Kerinci Diimpor dari India sejak Ratusan Tahun yang Lalu
"Tatkalo maso agi dulu, agi bakain kain terok, agi balita upih pinang (tatkala masa dahulu, masih berkain kulit kayu, masih berdestar upih pinang)"
Adagium tersebut merupakan gambaran cara berpakaian orang Kerinci sebelum kain katun -kain dari bahan kapas--diperkenalkan. Sama halnya dengan tradisi penutur Austronesia, kain kulit kayu adalah hal yang lumrah digunakan. Hal ini karena sumber bahannya relatif mudah didapatkan dan mudah diproduksi.
Kain kulit kayu dan batik kuno India temuan Kerinci (diolah dari berbagai sumber) |
Baca juga: Masyarakat Adat dalam Bingkai Keragaman Bangsa dan Upaya Pengakuan atas Hak Mereka
Berbanding terbalik dengan kain katun yangmembutuhkan bahan kapas dan teknologi tersendiri dalam memproduksinya. Sementara itu, di Kerinci budidaya kapas belum banyak dilakukan di masa lalu. Di tambah lagi, teknologi menenun yang tidak berkembang.
Akan tetapi, dalam perjalanannya ke Kerinci pada awal abad ke-19 M. Mr. Campbell justru melaporkan bahwa Orang Kerinci kalangan atas menggunakan kain yang cukup indah. Kain katun berstrip warna biru, nila dan marun yang dihiasi dengan kerang, benang perak dan emas.
Tentu menjadi pertanyaan dari manakah kain itu didapatkan, sementara ia tidak melaporkan aktivitas menenun di tengah masyarakat?
Jawaban dari pertanyaan tersebut tidak begitu sulit untuk dijawab. Sumber sejarah dan bukti arkeologis menunjukkan orang Kerinci telah menjalin hubungan dagang dengan dunia luar sejak ratusan tahun yang lalu.
India sampai hari ini masih dikenal sebagai penghasil kapas dan kain berkualitas dengan harga murah. Begitu pula, di abad-abad sebelumnya. Sejak VOC dan Inggris bercokol di India dan Sumatra, mereka mulai memonopoli perdagangan di antara dua wilayah tersebut. Dari India, kapal dagang membawa berbagai muatan ke Sumatra. Salah satunya adalah berbagai jenis kain.
Baca Juga: Inilah Alasan Mengapa Orang Kerinci Dilarang Menjual Tanah ke Orang Asing
Orang Kerinci biasanya menukarkan hasil hutan dan alam dengan kain India di bandar-bandar Pantai Barat Sumatra. Hal ini dibuktikan dari sepucuk surat yang dikirim saudagar bernama Orang Kaya Petor Muda ditujukan kepada penguasa lokal Kerinci bergelar Kiai Dipati Raja Simpan Bumi. Hubungan surat menyurat ini melalui perantara Raja Inderapura, salah seorang penguasa di Pesisir Barat Sumatra.
Isi surat berupa pemberitahuan dagang. Orang Kaya Petor Muda meminta orang Kerinci untuk segera turun ke Air Haji, karena barang-barang yang mereka kehendaki sudah sampai termasuk di antaranya beragam jenis kain India yang disebut Kain Salempuri, Kain Bashta hitam dan putih. Tampaknya, penamaan kain ini didasarkan pada wilayah asal muasal kain yakni Salempur dan Bashta, dua daerah di Uttar Pradesh, utara India.
Dokumen surat tersebut diperkuat lagi dengam bukti arkeologis yang masih tersimpan di Kerinci. Kain-kain India relatif masih terawetkan karena disimpan oleh komunitas adat dari generasi ke generasi.
Baca juga: Kainpun Bicara, Menelusuri Sejarah Indonesia Melalui Perdagangan Tekstile di Masa Lalu
Misalnya dua kain batik dari Koto Keras dan Siulak ini. Keduanya memiliki warna dan corak yang sangat kental dengan unsur India. Batik kuno dari Koto Keras memiliki warna dominan merah dan motif yang menggambarkan kisah Ramayana. Kain seperti ini merupakan ciri batik kuno India dengan motif yang bersumber dari folklor masyarakat. Sementara itu batik kuno dari Siulak, juga didominasi warna merah. Akan tetapi memiliki corak berlainan yakni motif flora, cakra dan padma.
Komentar