Menjawab Pertanyaan-Pertanyaan Mengenai Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah

(Ilustrasi)

Tulisan ini dibuat sebagai bahan diskusi dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang sering diperdebatkan di media massa terhadap Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah (KUTT). Terkadang pula, banyak masyarakat yang menafsirkan keliru tentang kitab kuno ini.

Baca juga: Mau Diusulkan Ke UNESCO, Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah Seharusnya Tidak Dibawa ke Jakarta

Mengapa Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah Disebut sebagai Naskah Melayu Tertua di Dunia?

Naskah ini secara umum menggunakan Bahasa Melayu meskipun terdapat bahasa Sansekerta di bagian pembuka dan penutup. Bahan naskah terbuat dari daluang dan telah diuji usianya melalui penanggalan karbon. Hasilnya menunjukkan kitab ini dibuat sekitar abad ke-14M. Sampai saat ini belum ditemukan naskah lain yang ditulis menggunakan bahasa Melayu melebihi usia Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah. Sehingga kitab ini masih menduduki posisi pertama sebagai naskah berbahasa Melayu tertua di dunia.

Apa nama asli dari Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah?

Pada dasarnya,menamakan suatu objek arkeologi atau sejarah tidak bisa sembarangan. Ada acuan yang jelas. Penamaannya sebagai Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah dikarenakn naskah ini ditemukan di Dusun Tanjung Tanah, Mendapo Seleman pada tahun 1941 oleh Petrus Voorhoeve. Di sisi lain, kitab ini juga memiliki nama asli yaitu Nitisarasamuscaya sebagaimana yang terdapat pada halaman 30-31 yang berbunyi:

....praṇamya śrīmahādevaṃ trailokyādhipatistutam nānāśāstroddhṛtaṃ vakti nītisārasamuccayam..."

Jadi tidak masalah kitab ini punya dua nama yakni Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah dan Nitisarasamucaya. Kasus ini sama dengan Kitab Negarakertagama yang memiliki nama asli sebagai kitab Desawarnana, tetapi yang lebih dikenal luas oleh masyarakat adalah Negarakertagama.

Bagian mantra yang memuat nama asli Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah (boedayakerinci.blogspot.com)

Apakah Kitab ini menjadi Bukti Bahwa Suku Kerinci merupakan Suku Tertua di Dunia?

Kitab ini baru dibuat pada abad ke-14 M, sekitar 700 tahun yang lalu. Sedangkan bangsa Mesir Kuno sudah membangun piramida sekitar 3500 tahun yang lalu. Jadi, lebih tua mana orang Kerinci dan Bangsa Mesir? Tidak usah dibandingkan dengan bangsa yang terlalu jauh. Bangsa Melayu yang menghuni negeri Kutai saja sudah mendirikan Yupa (tugu batu bertulisan) pada abad ke-4 atau sekitar 1700 tahun yang lalu. Penulis juga heran mengapa masalah "tua" ini sering diributkan. Padahal tua atau tidaknya suatu etnis bukanlah jaminan dan indikator bahwa kebudayaan etnis itu lebih maju dan lebih baik dari etnis lain, bukan?

Lihat juga video: 



Siapakah penulis Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah?

Di halaman ke-29, sudah dituliskan nama penulisnya yaitu Kuja Ali yang berkedudukan pula sebagai seorang Dipati. Bunyi bagian tersebut adalah ".....Samasta Likitam Kuja Ali Dipati...." (artinya: semuanya ditulis oleh Kuja Ali, Depati).

Bagian yang menyebutkan nama Kuja Ali di dalam Kitab Undang-undag Tanjung  Tanah


Apakah Kuja Ali Berasal dari Kerinci atau Persia?

Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah sama sekali tidak menyebutkan asal usul dan silsilah dari Kuja Ali sehingga sampai saat ini sejarawan tidak bisa mengungkap asal usul dari Kuja Ali. Butuh data sejarah yang cukup untuk menunjukkan dari mana asal usul Kuja Ali ini. Para ahli hanya bisa menduga mengenai agama dari Kuja Ali yaitu sebagai orang Islam.

Apa Bukti Kuja Ali sebagai Seorang Muslim?

Nama atau gelar Kuja yang digunakannya berasal dari kata "Khoja" dalam bahasa Melayu. Kata "Khoja" ini berasal pula dari bahasa Persia yaitu Khawajah yang artinya Tuan atau pemimpin. Gelar Khoja ini digunakan pula oleh tokoh-tokoh muslim lain pada abad ke-14 hingga ke-16 seperti yang ditemukan pada Nisan Aceh dan hikayat-hikayat Melayu.

Sedangkan kata "Ali" merupakan nama yang juga umum dipakai oleh orang Muslim. Karena Ali merupakan nama dari sepupu dan sekaligus menantu Nabi Muhammad SAW, juga sebagai Khalifah ke-4 dalam sejarah Islam. Hal inilah yang menjadi alasan kuat para sejarawan mengidentifikasi Kuja Ali sebagai orang Islam.

Namun, perihal nama dan gelar ini tidak dapat digunakan untuk menjelaskan asal usul dari Kuja Ali.

Lihat juga video:



Dimanakah Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah Ditulis?

Lokasi penulisan juga disebutkan di dalam teks Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah pada halaman 29, bunyinya: ".....samasta likitam Kuja Ali Dipati di Waseban di Bumi Palimbang di hadapan Maharaja Drammasraya...." (Semuanya ditulis oleh Kuja Ali, Depati, di Bumi Palembang di depan Maharaja Darmasraya...).

Secara jelas disebutkan bahwa kitab ini ditulis di sebuah paseban (balai pertemuan) yang lokasinya di Bumi Palembang. Bumi Palembang ini sampai saat ini belum jelas lokasinya. Namun Uli Kozok menduganya masih berada dalam kawasan Kerajaan Darmasraya atau Malayupura. 

Akan tetapi, para ahli juga belum mengetahui seberapa luas kawasan Kerajaan Dharmasraya di masa lalu. Ada kemungkinan Kerajaan Dharmasraya di masa lalu tidak hanya di wilayah administratif Kabupaten Dharmasraya sekarang, tetapi lebih luas dari yang diperkirakan. Jadi, ada baiknya dipisahkan antara wilayah Kerajaan Dharmasraya di masalalu dengan wilayah Kabupaten Dharmasraya sekarang karena sudah tidak kontekstual dalam sudut pandang sejarah.

Bagaimanakah Kitab Undang-Undang ini dibuat?

Halaman ke-28-30 mengindikasikan bahwa kitab ini dirumuskan secara bersama antara pembesar dan Dipati dari Bumi Kerinci dalam sebuah sidang atau pertemuan agung yang disebut Sidang Mahatmia. Pertemuan ini turut dipersaksikan oleh Maharaja Dharmasraya. Hasil rumusan undang-undang itu telah disetujui oleh seluruh peserta sidang dan ditulis oleh seorang juru tulis bernama Kuja Ali. Kemudian, barulah undang-undang tersebut disahkan atau diresmikan oleh Maharaja Dharmasraya. 

Berikut bunyi teks halaman ke-28-30 KUTT:

(28)...sakian bunyi (29) nyatnya titah Maharaja Drammasaraya // yatnya yatna sidang mahatmia saisi Bumi Kurinci silunjur Kurinci // samasta likitam Kuja Ali Dipati di Waseban di Bumi Palimbang di hadappan Paduka Sri Maharaja Dra (30) mmasraya. Barang salah silihnya, suwasta ulih sidang mahatmia samapta.

Terjemahan: Demikianlah bunyinya titah Maharaja Dharmasraya, diperhatikan dengan seksama oleh  sidang mahatmia seisi Bumi Kerinci sepanjang Kerinci. Semuanya ditulis sendiri oleh Kuja Ali Dipati di Paseban di Bumi Palembang, di hadapan Paduka Sri Maharaja Dharmasraya. Masing-masing --isi dari Kitab Undang-Undang ini-- disetujui oleh sidang mahatmia (rapat  agung), selesai dan sempurna.

--------

Oke sekian dulu, bagi yang ingin bertanya silakan dikolom komentar. Isi artikel ini akan terus diupdate untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Komentar

Unknown mengatakan…
Di hadapan raja siapa KUUT di tulis....?
Siapa nama raja tersebut....?
Unknown mengatakan…
Di hadapan raja siapa KUUT di tulis....?
Siapa nama raja tersebut....?
Anonim mengatakan…
di hadapan Maharaja Dharmasraya, perlu ditekankan lagi bahwa Dharmasraya yang dimaksud adalah Dharmasraya pada abd ke-14 M, bukan kab Dharmasraya sekarang. Kabupaten Dharmasraya adalah pemekaran dari kab. Sijunjung, kabupaten ini mengambil nama dari tempat yang ditulis dalam prasasti.

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Sapaan dan Istilah Kekerabatan dalam Masyarakat Kerinci

Mengenang Petrus Voorhoeve, Penemu Awal Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah dan Penyusun Tambo Kerintji

Dari manakah Asal Usul Penduduk Dusun Siulak Mukai? Menelusuri Sejarah dan Struktur Pemerintah Adat Masyarakat Siulak Mukai

Sejarah Wilayah Tigo Luhah Tanah Sekudung, Siulak di Kerinci

Asal Usul Penduduk Dusun Siulak Gedang, Ibu Negeri Wilayah Adat Tanah Sekudung

Sejarah Siulak Dari Mendapo Semurup menjadi Mendapo Siulak, Berikut Daftar Nama Kepala Mendapo

Legenda Batu Patah: Cerita Rakyat dari Danau Kerinci

Apakah Kerinci Termasuk Wilayah Minangkabau?