Tradisi Megalitik Berlanjut dalam Masyarakat Kerinci

Bekas darah hewan kurban pada Mijan Nineik Demong Dusun Koto Rendah Siulak (boedayakerinci.blogspot.com)

Megalitik berasal dari dua kata yakni mega yang artinya besar dan kata litik atau lithic yang bermakna batu. Jadi secara harfiah megalitik diartikan sebagai batu besar. Di dalam ilmu arkeologi, megalitik dijadikan sebagai penanda periode sejarah kebudayaan manusia sekaligus sebagai ciri kebudayaan yang berkembang saat itu. 

Kebudayaan megalitik ditandai dengan manusia telah mampu menggunakan dan memodifikasi batu-batu berukuran besar untuk keperluan tertentu. Seperti membangun rumah, tugu ritual, penanda batas,meja sesajian, penanda kuburan dan lain sebagainya.

Awal mula zaman megalitik tidaklah sama di setiap wilayah di dunia. Di Indonesia, kebudayaan megalitik mungkin di mulai pada abad terakhir Sebelum Masehi. Sezaman dengan masa perunggu-besi. Karena alat besi menjadi salah satu peralatan yang dibutuhkan untuk mengubah atau memodifikasi batu-batu alam. Di Jambi, batu silindrik diindikasikan mulai dibuat sekitar abad ke-7 M.

Meskipun bermula dari kebudayaan yang sangat tua, tradisi megalitik justru masih berlanjut hingga zaman modern dan bahkan masih dipraktekkan oleh beberapa etnis di berbagai tempat di Indonesia. Misalnya saja, orang Dayak dan orang Dusun di Pulau Kalimantan, orang Nias, juga masih dipraktikkan secara terbatas oleh orang Kerinci. 

Batu Mijan dan Tempat Nineik

Secara umum, mijan atau batu mijan diartikan batu nisan atau batu penanda kuburan. Akan tetapi, pengertian ini tampaknya telah mengalami penyempitan makna di masa sekarang. Persoalannya adalah mijan ternyata tidak hanya didirikan di atas kuburan atau makam. Tetapi juga di atas tempat-tempat sakral yang berkaitan dengan legenda atau mitologi tentang tokoh nenek moyang orang Kerinci di masa lalu. Tempat didirikannya batu mijan  juga sering disebut sebagai tempat nineik. Beberapa tempat nineik ini didirikan bangunan kayu di atasnya sebagai pelindung mijan. Bangunan atau cungkup di atasnya inilah yang disebut sebagai jihat atau jirat nineik.

Jihat Nineik Salih Putih Dusun Kumun (boedayakerinci.blogspot.com)

Dalam artikelnya, Sunliensyar memaparkan bahwa batu mijan biasanya didirikan di atas gundukan tanah/lahan yang lebih tinggi, dan dekat dengan aliran sungai. Namun tidak semua tempat tersebut diyakini sebagai kubur nenek moyang oleh orang Kerinci. 

"Ada tempat yang menurut legendanya sebagai lokasi raibnya tokoh leluhur, ada tempat yang hanya pernah dilewati atau ditinggali oleh leluhur di masa lalu, ada pula tempat yang hanya pakaian leluhur yang ditanam di situ karena jasadnya tidak ada. Semua tempat tersebut ditandai dengan pendirian batu yang disebut batu mijan", tulisnya. 

Di sini kita tahu bahwa mijan bukan sekedar penanda kuburan tetapi lebih kepada  tugu batu untuk mengenang dan menghormati para leluhur suatu kelompok masyarakat adat di Kerinci. Bahkan ada pepatah orang Kerinci yang menyatakan keharusan mendirikan tugu batu untuk mengenang mereka yang telah wafat. "Isyarat idut batakuk kayu, isyarat mati bacencang batu" (isyarat orang hidup adalah pohon-pohon yang ditakuk, isyarat orang mati adalah batu-batu yang ditegakkan). Tradisi serupa ternyata tidak ada hanya berlaku di Kerinci tetapi juga di masyarakat Dayak dan beberapa etnis di Nusa Tenggara Timur. Agaknya, pendirian tugu batu adalah budaya para penutur Austronesia di Indonesia.

Dalam pengamatannya, Sunliensyar menyebutkan bahwa batu mijan yang digunakan, sangat sedikit yang mengalami modifikasi atau pengubahan bentuk. Biasanya mereka memilih batu alam ukuran besar yang memang telah berbentuk kerucut dan silinder. Kalaupun dimodifikasi, bentuknya menyerupai phallus, gagang senjata dan lengkung pakis tetapi  masih terlalu kasar.

Batu Mijan sebagai Media Penghormatan para Leluhur

Dalam tradisi Kerinci, penghormatan kepada arwah para leluhur biasanya dilakukan dengan menziarahi jihat atau tempat nineik. Orang Kerinci biasanya meletakkan beragam sesajian di kaki mijan seperti sirih dan pinang, kembang dan bendera-bendera kecil. Dalam ritual yang lebih besar mereka juga mengorbankan ayam, kambing hingga kerbau di sana. Darah binatang kurban dioleskan pada batu mijan dan beberapa bagian tubuhnya ditinggalkan di sana seperti bulu ekor ayam, dan tanduk kerbau. Di Siulak dan Semurup, ritual menziarahi tempat nineik ini disebut sebagai munjung.

Akan tetapi, hanya sedikit masyarakat Kerinci yang masih melaksanakan ritual ini karena mereka  ditentang oleh banyak ulama garis keras. Seorang praktisi mengatakan bahwa ia dicap sebagai pelaku syirik karena melakukan ritual munjung. Padahal menurut sang praktisi, yang kami lakukan bukanlah menyembah arwah nenek moyang tetapi  menghormati mereka. Hal inilah yang sering dianggap keliru oleh kelompok penentang.

"Di Kerinci ini semua lahan adalah warisan dari leluhur di masa lalu, kami hanya melanjutkan untuk mengelolanya maka wajarlah sebagai keturunannya kami menghormati arwah-arwah mereka sesuai adat (tradisi)", ujar praktisi. "Secara Islam, ya mungkin dengan do'a-do'a, tetapi secara adat (red. budaya) harus mengikuti tata tertib turun temurun yaitu dengan meletakkan sirih-pinang dan yang paling besar itu menyembelih binatang kurban", terangnya. 

Baca juga: Bagaimana Kepercayaan Orang Kerinci Masa Lalu Terhadap Roh dan Dunia Gaib?

Dwifungsi Batu Mijan

Dalam tulisannya, Sunliensyar menyebutkan bahwa batu mijan tidak sekedar sebagai media penghormatan arwah leluhur atau penanda tempat-tempat sakral. Beberapa tempat nineik bahkan menjadi penanda batas ulayat atau tanah ajun arah dan penanda batas kampung. Hal ini terungkap dari tradisi lisan turun temurun yang menerangkan dengan batas-batas tanah ulayat. Beberapa jihat nineik dijadikan pula sebagai patok batas seperti tempat Ninek Jadun, tempat Ninek Demang, tempat Ngabi Aceh dan lain sebagainya.


Menhir Batu Badagouk, Dusun Kubang, Depati VII

Jihat dan tempat nineik yang dijadikan sebagai penanda batas tanah ajun arah atau batas kampung umumnya berada di tengah persawahan penduduk dan pinggir-pinggir dusun dan bahkan ada yang lokasinya persis di perbatasan dua dusun.

Baca juga: Ini Alasan Mengapa Orang Kerinci Harus Berhenti Menjual Tanah Kepada Orang Asing

Menurut Sunliensyar,  jihat/tempat ninek merupakan tempat sakral sehingga dijadikan sebagai penanda batas lahan. Masing-masing klan tidak akan berani mengganggu atau menggeser batas tanah yang telah ditetapkan  karena kesakralan yang dimiliki tempat nineik. Dulu mungkin pemimpin antar klan melakukan perjanjian di tempat tersebut dan menyembelih hewan kurban untuk meresmikan batas-batas tanah ajun arah yang telah disepakati.

Baca artikel ilmiahnya di:

Asosiasi Gundukan Tanah, Sungai dan Menhir di Pusat Wilayah Adat Tanah Sekudung, Baratlaut Lembah Kerinci. Dataran Tinggi Jambi (Kajian Fenomenologi)



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Legenda Batu Patah: Cerita Rakyat dari Danau Kerinci

Dari manakah Asal Usul Penduduk Dusun Siulak Mukai? Menelusuri Sejarah dan Struktur Pemerintah Adat Masyarakat Siulak Mukai

Sejarah Wilayah Tigo Luhah Tanah Sekudung, Siulak di Kerinci

Asal Usul Penduduk Dusun Siulak Gedang, Ibu Negeri Wilayah Adat Tanah Sekudung

Traditional Architecture of Kerinci Ethnic

Mengenal Cabe Suhin, Kuliner Khas Tradisional Kerinci

Sekilas Tentang Wilayah Adat Mendapo Limo Dusun (Sungai Penuh), Tanah Pegawai Rajo-Pegawai Jenang

Mengenal SINAR BUDI: Dari Generasi ke Generasi Mempopulerkan Tale Kerinci

Muhammad Awal, Bupati Kerinci Ke-5 yang Dikenang dengan Aura "Kesaktian"-nya