Benarkah Pulau Sangkar sebagai Ujung Kerajaan Pagaruyung?

 

Ilustrasi (Sumber:bakaba.net)

Akhir-akhir ini,wilayah adat Depati Rencong Telang Pulau Sangkar sedang berpolemik, akibat adanya anggapan bahwa wilayah adat Depati Rencong Telang sebagai bagian dari wilayah Kerajaan Pagaruyung. Hal ini diperkuat dengan dibuatnya sebuah slogan baru yang berbunyi "Pulau Sangkar, Ujung Tanah Kerajaan Pagaruyung". Namun apakah benar status Pulau Sangkar berada di bawah kekuasaan Pagaruyung? tentu hal ini perlu ditelisik secara mendalam melalui sudut pandang sejarah masa lalu disertai dengan bukti-bukti sejarah yang valid.

Sebelum kita berbicara lebih jauh tentang Pulau Sangkar dan Pagaruyung, ada baiknya dulu kita pahami betul bagaimana sistem negara/kerajaan dan pemerintahan orang-orang "Melayu" di masa lalu. Apakah sama dengan sistem kerajaan yang berlaku di Jawa dan di Eropa atau tidak?

Sebenarnya sistem kerajaan orang-orang Melayu telah dibahas banyak oleh Sejarawan Eropa. Locher-Scholten di dalam bukunya Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial, pernah membahas bagaimana model negara yang berlaku sebelum era kolonial di Asia Tenggara. Negara negara di Sumatra, Semenanjung Melayu dan Asia Tenggara pada umumnya, memanglah menganut sistem monarki atau sistem kerajaan tetapi sangat berbeda dengan sistem kerajaan di Eropa.

Stanley Tambiah, seorang antropolog Amerika, merumuskan model "negara galaktik"untuk menggambarkan sistem monarki ini. Layaknya sebuah galaksi yang terdiri dari tata surya, dan tata surya yang terdiri dari pusat tata surya dan planet-planet yang mengelilinginya. Planet-planet tersebut mengelilingi pusatnya sesuai dengan orbit mereka. Semakin jauh dari pusat tata surya tersebut, maka semakin kecil pula pengaruhnya terhadap planet tersebut. Begitulah ia menggambarkan negara-negara yang ada di Asia Tenggara.

Kerajaan adidaya yang memiliki pengaruh politik dan ekonomi yang kuat dan besar dianggap seperti pusat  tata surya. Sementara itu kerajaan-kerajaan kecil yang ada di sekelilingnya dianggap sebagai planet yang mengiringinya. Semakin dekat jaraknya dengan kerajaan adidaya tersebut semakin kuat pula pengaruhnya terhadap kerajaan kecil tersebut dan begitu pula sebaliknya, semakin jauh dari pusat maka semakin lemah pula pengaruhnya.

Di Sumatra, ada begitu banyak Kerajaan yang boleh dikatakan memiliki pengaruh politik dan ekonomi yang kuat pada periode tertentu. Seperti Jambi dan Minangkabau. Dua Kerajaan ini bisa diumpamakan sebagai pusat tata surya bagi banyak kerajaan-kerajaan kecil yang muncul di kawasan Sumatera Bagian Tengah.

Jambi muncul sebagai pusat kekuataan politik dan ekonomi sekitar awal abad ke-17 M, sewaktu kerajaan ini dipimpin seorang raja yang bergelar Sultan Agung Abdul Djalil. Kala itu, kekuatan Jambi cukup diperhitungkan oleh kerajaan lain yang ada di Sumatra, Semenanjung Melayu bahkan Jawa. Namun setelahnya, kekuataan kerajaan ini semakin lemah akibat berbagai faktor yang mempengaruhinya. 

Begitu pula Minangkabau, kerajaan ini pernah muncul sebagai negara hebat di Sumatra semasa diperintah oleh Sultan Ahmadsyah atau yang Dipertuan Sakti. Raja ini tercatat pernah memobilisasi raja-raja lain di Kepulauan Melayu untuk berperang melawan VOC. Namun setelahnya, kerajaan ini mengalami kemunduran karena krisis kepemimpinan dan berbagai faktor yang terjadi.

Lantas bagaimana hubungan Jambi dan Minangkabau dengan Kerinci?

Jikalau kita mengacu pada teori negara galaktik seperti yang diuraikan di atas, maka Kerinci berada pada orbit dan jangkauan yang sangat jauh dari dua kekuatan besar, yakni Jambi dan Minangkabau. Kerinci berada di perbatasan kedua negara, bahkan sangat sulit dijangkau karena dikunci oleh kondisi geografis yang terjal. 

Apalagi wilayah Kerinci, terdiri atas banyak kampung yang memiliki pemerintahan adat tersendiri. Tiap kampung memiliki pemimpinnya sendiri yang bergelar "Dipati". Seorang Dipati bisa menjalin persekutuan dengan dipati dari kampung lain atau bahkan bermusuhan dengan kampung tertentu. Dalam hubungan antarkampung ini, tidak ada pemimpin tertinggi dalam struktur pemerintahan mereka. Mereka hanya akan tunduk pada kesepakatan bersama. Kondisi semacam ini sudah pasti menyulitkan untuk mengontrol dan menguasai secara penuh Kerinci dan penduduknya.

Namun, sistem seperti ini terkadang punya dampak buruk, ketika terjadi konflik antar kampung. Konflik tersebut akan sangat sulit terselesaikan tanpa adanya sosok raja yang dianggap sebagai hakim tertinggi, yang keputusannya bisa dipatuhi bersama oleh mereka. Oleh sebab itu mereka juga membutuhkan seorang raja untuk  kasus-kasus tertentu. 

Untuk itulah, mereka menghadap raja yang secara geografis dekat dengan wilayah Kerinci, seperti Jambi dan Inderapura. Inderapura merupakan kerajaan di dalam Kerajaan Minangkabau, sehingga sering disebut sebagai "Ujung Pagaruyung".

Di dalam buku Tanah, Kuasa dan Niaga: Dinamika Relasi antara Orang Kerinci dan Kerajaan-kerajaan Islam di Sekitarnya, Sunliensyar memaparkan beberapa faktor yang memotivasi orang Kerinci menghadap raja di Jambi maupun Inderapura. Pertama, masalah tanah. Tanah merupakan masalah penting bagi orang Kerinci di masa lalu. Tanah dan Hutan dianggap sebagai sumber dari kehidupan perekonomian orang Kerinci, terkadang antarkampung saling klaim terhadap lahan dan sumber daya alam tertentu. Saling klaim ini terkadang memicu konflik dan peperangan tak berkesudahan sehingga mereka pada akhirnya meminta keputusan raja untuk menyelesaikan konflik. Selain itu, mereka juga meminta pengesahan raja atas tanah yang mereka klaim dan pengakuan kekuasaan mereka atas tanah tersebut. Dalam hal ini, Kesultanan Jambi paling banyak mengeluarkan surat pengesahan atas tanah dan kekuasaan dipati di atas lahan tersebut. Surat inilah yang disebut sebagai Celak/Slak dan Piagam.

Kedua, masalah kuasa, atau dalam istilah Kerinci "berebut gedang". Hal ini karena Kerinci dihuni oleh banyak kelompok masyarakat. Dan masing-masing kelompok tersebut tidak mau tersaingi dan dikuasai oleh kelompok lain. Jadi, ketika ada suatu anggota kelompok yang memperoleh "gelar kebangsawanan" dari raja, maka kelompok lain akan segera menghadap raja untuk memperoleh penghargaan serupa. Kisah-kisah semacam ini tertulis di dalam tembo Incung maupun legenda masyarakat.

Ketiga, masalah niaga.Tidak semua kebutuhan orang Kerinci tersedia di wilayah Kerinci. Besi, Garam dan Kain Katun merupakan contoh barang yang tidak tersedia di Kerinci zaman dulunya. Oleh sebab itu, mau tidak mau orang Kerinci harus menjalin hubungan dengan penguasa Kerajaan yang mampu menyediakan barang kebutuhan mereka.Inderapura adalah kerajaan yangmenguasai bandar di pesisir Barat Sumatra. Sementara itu, Jambi berkuasa atas jalur transportasi Sungai Batang Hari sekaligus pelabuhan di Pantai Timur Jambi. Jalur dan pelabuhan itu merupakan akses bagi orang Kerinci untuk mendapatkan barang kebutuhan mereka sekaligus menukarkan barang yang mereka punya.

Di sisi lain, pihak Jambi dan Minangkabau (diwakili Inderapura) memberikan hak istimewa kepada orang Kerinci atas pertimbangan sosial dan kondisi geografis  tersebut. Para kepala kampung di Kerinci dibebaskan secara politik untuk memilih menghadap Jambi atau Inderapura dalam menyelesaikan perkara yang tak mampu diselesaikan dalam peradilan lokal di Kerinci. 

Penguasa Jambi dan Inderapura juga menghormati  otonomi dan kekuasan peradilan mutlak para kepala kampung di tanah ulayat mereka. Namun di sisi lain, Penguasa Jambi dan Inderapura memerlukan imbalan atas hak istimewa tersebut, yakni serah-jajah  yang dibayarkan secara periodik, hak atas sumber alam tertentu (seperti gading, emas, mustika), dan undang-undang Kerajaan khusus yang harus diberlakukan di wilayah para Dipati. Undang-undang ini menyangkut masalah pelanggaran asusila dan kriminal berat seperti hubungan inses, hubungan tanpa ikatan perkawinan, para kriminal yang lari dari hukuman, para penghasut dan penunggak pajak.

Pulau Sangkar hanyalah satu dari sekian banyak permukiman di Kerinci yang  memiliki pola hubungan ipolitik rumit ini dengan penguasa Jambi dengan Inderapura. 

Pulau Sangkar dan Minangkabau

Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa sepanjang sejarahnya, orang Kerinci telah banyak mengadakan hubungan POLITIK dengan kerajaan di sekitarnya baik dengan Jambi maupun Minangkabau, termasuk pula penduduk Pulau Sangkar di masa lalu. 

Pulau Sangkar sebenarnya dihuni oleh banyak kelompok yang masing-masing dikepalai oleh depati sendiri. Sebagaimana yang ditulis oleh Tago (2015) di Pulau Sangkar ada tujuh orang Depati yaitu Depati Rencong Telang, Depati Kerinci, Depati Talago, Depati Agung, Depati Anggo, dan Depati Balinggo. Satu lagi Depati bernama Depati Sangkar yang kemudian hijrah ke kampung lain bernama Lubuk Paku. Selain tujuh depati tersebut adalagi depati lain yang bergelar Depati Permai, Depati Nanggalo, Depati Cahayo Negaro, Depati Sentil, Depati Anum, Depati Suko Berajo dan Depati Mudo. Empat Belas Depati ini dibantu oleh  orang nenek mamak yang bergelar Rajo Depati, Rajo Batuah, Rajo Kecik, Rajo Magek, Rajo Alam, Bagindo Rajo Mudo, Kaeng Ngabi, Mentiko Alam, Sutan Marajolelo, Mahkoto Dipati, Kaluhah Depati dan Mandaro Depati. Jikalau membandingkan dengan struktur sosial masyarakat Kerinci di dusun lain secara umum, maka depati ini bisa dikatakan pemimpin kelompok (kelbu/luhah) yang mendiami Dusun Pulau Sangkar. Jikalau mengacu di dalam tulisan Tago, maka di Dusun Pulau Sangkar diperintah oleh Depati Berenam beserta kembar rekannya. Jadi ada kemungkinan, bahwa ada Dusun Pulau Sangkar terdiri dari enam Luhah dan masing-masing luhah bisa terdiri dari dua atau tiga depati di dalamnya. 

Baca Juga: Ternyata Orang Kerinci Punya Suku, Inilah Buktinya

Terkait dengan hubungan kekerabatan dari ke seluruh Depati ini, sangat sulit untuk mencari sumber sejarah yang valid. Apalagi menyangkut silsilah dari masa ratusan tahun lalu. Sumber utama untuk merujuk hal ini adalah legenda masyarakat adat yang hidup saat ini sebagaimana yang dirujuk oleh Tago dalam tulisannya. Diceritakan bahwa Depati yang wujud pertama kali di Dusun Pulau Sangkar adalah Depati Rencong Telang yang disebut sebagai "Hang Tuo Mahligei". 

Hang Tuo Mahligei ini punya tiga orang anak, yaitu Sultan Maharajo Gerah, Sutan Maharajo Aro dan Lelo Baruji. Sutan Maharajo Gerah memiliki lima anak yang terdiri dari tiga perempuan dan dua laki-laki. Dua anaknya yang laki-laki bergelar Depati Kerinci dan Depati Belinggo (anak jantan). Sedangkan tiga anak perempuanya menikah dengan tiga orang depati dari daerah lain, masing-masing bergelar Depati Agung, Depati Talago dan Depati Anggo (Anak Batino). Kemudian dari waris Sutan Maharajo Aro, muncul gelar Depati Sangkar yang bermukim di Lubuk Paku. Sementara itu, sejarah dari tujuh orang depati yang lain tidak diceritakan.

Depati Rencong Telang memiliki posisi penting dalam kerapatan depati yang disebut Depati Empat di Kerinci Tinggi atau maupun di dalam kerapatan Depati Tujuh Orang (Empat di atas-tiga dibaruh) Kerinci Rendah-Kerinci Tinggi. Posisi penting Depati Rencong Telang ini sangat erat kaitannya dengan peristiwa sejarah yang terjadi di masa lalu. Jikalau merujuk pada naskah kuno TK 144. maka Dusun Pulau Sangkar termasuk dari empat permukiman terawal di sepanjang Sungai Batang Merangin yang menjadi bagian dari perluasan wilayah Kesultanan Jambi. 

Kesultanan Jambi berusaha memperluas wilayahnya di sepanjang Sungai Batang Merangin dengan mengutus wakilnya yang bernama Pangeran Temenggung Kebul di Bukit. Tujuh orang Depati yang bermukim di sepanjang Sungai Batang Merangin menjadi bagian dari "pegangan" Pangeran Temenggung Kebul di Bukit, termasuklah Pulau Sangkar yang dikepalai oleh Depati Rencong/IncungTelang. 

Keturunan Pangeran Temenggung Kebul di Bukit ini kemudian membentuk Suku Raja Kedipan yang berpusat di Muaro Masumai. Permukiman di sepanjang Sungai Merangin menjadi bagian dari "kekuasaan terbatas" Kesultanan Jambi melalui suku Raja Kadipan. Oleh sebab itu, permukiman terujung yang dilalui oleh Pangeran Temenggung Kebul di Bukit yakni Sanggaran Agung disebut sebagai "Ujung Tanah Kadipan Jambi".

Terkait dengan hubungan Pulau Sangkar dengan Minangkabau, sebenarnya tidak ada bukti sejarah yang cukup valid yang bisa dijumpai di Dusun Pulau Sangkar. Cerita ini hanya bersumber dari legenda yang ditulis oleh Rasyid Yakin pada tahun 1986 dalam bukunya yang berjudul "Menggali Adat Lama Pusaka Usang di Sakti Alam Kerinci"

Rasyid Yakin tidak menulis dari mana ia mendapatkan sumber legenda tersebut. Ia menyebutkan bahwa ada leluhur Orang Pulau Sangkar yang namanya Bujang Palembang. Bujang Palembang ini adalah anak dari Puti Serunduk Pinang Masak dengan suaminya Sigindo Gerinting. Puti Serunduk Pinang Masak disebut seorang keturunan raja dari Pagaruyung. Suatu ketika Bujang Palembang berkunjung ke tempat asal ibunya di Pagaruyung dan kemudian diberi gelar Tuanku Magek Bagonjong.

Legenda ini kemudian dijadikan oleh kelompok tertentu untuk menyatakan Dusun Pulau Sangkar sebagai Ujung Kerajaan Pagaruyung. Padahal sebetulnya legenda ini haruslah dikritisi karena tidak jelas asal usul dan keabsahannya.

Tokoh Puti Unduk Pinang Masak sebenarnya, juga diceritakan di dalam tembo Incung yang disimpan di Sungai Penuh dan Rawang.Di dalam tembo tersebut diceritakan bahwa Puti Unduk Pinang Masak berasal dari Tanah Pariang Padang Panjang yakni negeri yang jaraknya sekitar 20 Km dari Istana Pagaruyung sekarang. Ia adalah anak dari Dayang Bulan dari suami yang tidak diketahui. Karena perseteruan keluarga, Puti Unduk Pinang Masak ditemani sepupunya Dayang Berani bermigrasi ke Kerinci. Dayang Berani kemudian menikahi Siak Lengih dan mempunyai keturunan di Sungai Penuh dan Rawang. Sementara itu, Puti Unduk Pinang Masak tidak diceritakan lagi riwayatnya. Dan sangat kebetulan sekali, dalam legenda Rasyid Yakin, Puti Unduk Pinang Masak dikatakan menikahi Sigindo Gerinting. 

Baca juga: Tanah Hiang, Jejak-jejak Permukiman Kuno di Kerinci dan Penghuninya

Akan tetapi, di dalam tembo maupun legenda tidak dijelaskan secara spesifik bagaimana hubungan langsung mereka dengan penguasa Minangkabau. Sehingga cerita ini sebenarnya sangatlah samar dan tidak valid. Cerita yang muncul sekarang hanyalah tafsiran cocoklogi orang-orang yang mendadak sejarawan untuk mengait-ngaitkannya dengan para bangsawan keturunan raja, kira-kira apa motivasinya? Padahal, semestinya sumber-sumber yang dijadikan rujukan perlu dikritisi tidak bisa ditelan bulat-bulat, apalagi mereka berpijak pada sumber samar. Toh, dengan sumber yang jauh lebih otentik saja menimbulkan perdebatan panjang para sejarawan.

Sebenarnya, hampir semua dusun di Kerinci memiliki legenda atau cerita rakyat tentang hubungan kekerabatan leluhur mereka dengan pihak penguasa baik Jambi, Inderapura maupun Pagaruyung. Entah cerita ini memang benar adanya atau hanya dibuat-buat untuk mesyahkan atau melegitimasi bahwa merekalah yang berhak berkuasa atas kelompok karena punya hubungan darah dengan pusat kerajaan. Sebagaimana narasi tembo,  biasanya menceritakan para Dipati yang berkuasalah yang mempunyai hubungan kekerabatan tersebut.

Jikalaupun benar adanya hubungan kekerabatan di masa lalu, maka hal tersebut sangat lazim adanya. Bentuk hubungan politis antara pusat kerajaan dan penguasa kecil yang dibawahinya diwarnai dengan hubungan kekerabatan melalui perkawinan. Andaya, menyebutkan bahwa sangat lazim para Pangeran Jambi mengambil istri dan selir dari perempuan-perempuan di hulu (termasuklah Kerinci) guna memperkuat hubungan politik dengan penguasa di hulu dan menjamin kesetiaan penguasa kampung di hulu terhadap penguasa Jambi.

Jadi  jelas, bahwa landasan yang menyatakan Dusun Pulau Sangkar sebagai Ujung Kerajaan Pagaruyung sangat lemah. Dusun Pulau Sangkar sejatinya punya institusi pemerintahan adat tersendiri yang dihormati oleh Jambi dan Minangkabau. Jalinan hubungan politis yang dijalin sifatnya sangat lemah dan terbatas. Kontrol Jambi dan Minangkabau tidaklah begitu erat, karena kekuasaan tetap berada di tangan Depati. Para Depati berkuasa atas pengelolaan sumber daya alam di Tanah Ulayat mereka, serta memiliki kekuasaan peradilan baik kasus pidana maupun perdata. Mereka bisa memilih untuk menghadap Raja Jambi atau Minangkabau-Inderapura ketika terjadi sengketa yang tak terselesaikan pada peradilan antar-depati di tingkat lokal.

Status Ujung Pagaruyung sebenarnya dimiliki oleh Kesultanan Inderapura yang berada di sebelah barat alam Kerinci. Kesultanan ini merupakan vasal dari kerajaan Minangkabau. Kerajaan Minangkabau punya sistem yang unik karena dikuasai tiga Raja. Raja Adat bertahta di Buo, Raja Ibadat bertahta di Sumpur Kudus dan Raja Alam yang bertahta di Tanjung Emas Negeri Pagaruyung. Kesultanan Inderapura disebut  sebagai ujung kerajaan Pagaruyung karena kesultanan ini adalah kerajaan  paling jauh di selatan yang berada di bawah kontrol politik penuh pihak Pagaruyung.  Hubungan Pagaruyung-Inderapura ini dipererat dengan perkawinan antara keluarga kerajaan yang bisa ditelusuri catatan sejarahnya (Lihat Kathirthaby-Wells: 65-66).

Baca Juga: Surat Sultan Inderapura Tahun 1831, Buktikan Pulau Sangkar Bukan Ujung Tanah Pagaruyung!

----

Baca juga: Ini Alasan Mengapa Orang Kerinci Dilarang Menjual Tanah Kepada Orang Asing

Kasus semacam ini menjadi pelajaran buat masyarakat Kerinci untuk menaruh perhatian lebih pada sejarah dan budaya yang mereka punya. Jika tidak diteliti dan dipelajari maka identitas budaya kita akan hilang. Kita tidak akan tahu lagi dengan sejarah leluhur dan struktur pemerintahan adat turun temurun. Kelemahan ini akan dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk kepentingan pribadi seperti tujuan politis dan ekonomis. 

Referensi

1. Tago, Mahli Zainuddin, 2015. Rencong Telang, Komunitas Adat di Kerinci Sumatera Tengah. Yogyakarta: Samudra Biru

2. Yakin, Rasyid.1986. Menggali Adat Lama Pusaka Usang di Sakti Alam Kerinci. Cetakan Mandiri

3. Sunliensyar, Hafiful Hadi.2019. Tanah Kuasa dan Niaga: Dinamika Relasi antara Orang Kerinci dan Kerajaan Islam di Sekitarnya dari abad XVI hingga Abad XIX. Jakarta: Perpusnas Press

4. Voorhoeve, Petrus. 1941. Tambo Kerinci

5. Locher-Scholten, Elsbeth. 2008. Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial: Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda.Jakarta;KITLV

6. Andaya, Barbara Watson. 2016.Hidup Bersaudara: Sumatra Tenggara pada abad 16-18 M. Yogyakarta: Ombak


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Petrus Voorhoeve, Penemu Awal Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah dan Penyusun Tambo Kerintji

Mengenal Sapaan dan Istilah Kekerabatan dalam Masyarakat Kerinci

Dari manakah Asal Usul Penduduk Dusun Siulak Mukai? Menelusuri Sejarah dan Struktur Pemerintah Adat Masyarakat Siulak Mukai

Sejarah Wilayah Tigo Luhah Tanah Sekudung, Siulak di Kerinci

Legenda Batu Patah: Cerita Rakyat dari Danau Kerinci

Keramik Cina Tertua yang Ditemukan di Indonesia Berasal dari Kerinci

Tabuh: Beduk Kuno Raksasa dari Bumi Kerinci

Menelusuri Nenek Moyang Orang Semurup berdasarkan Tembo Incung