Mengenang Petrus Voorhoeve, Penemu Awal Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah dan Penyusun Tambo Kerintji
Dr. Petrus Voorhoeve di usia senjanya masih semangat meneliti naskah-naskah Nusantara |
Sekelumit Latar Belakangnya
Petrus Voorhoeve lahir di sebuah kota kecil di Belanda, Vlissingen, pada 22 Desember 1899. Ayahnya adalah seorang pendeta terkemuka Gereja Protestan di wilayah itu. Sayangnya, tidak banyak catatan mengenai Piet atau Pieter --nama panggilannya-- ketika ia masih kecil. Setelah menamatkan pendidikan menengah atas di sekolah bahasa, pada 1918 Voorhoeve melanjutkan studinya di Universitas Leiden (University of Leiden). Ia mulanya mengambil program studi Teologi namun kemudian pindah haluan ke program studi Bahasa Indonesia.
Di Leiden, Voorhoeve menempuh pendidikan dengan sangat mulus. Ia menamatkan studi sarjananya di tahun 1921. Kemudian ia melanjutkan ke program magister dengan fokus penelitiannya pada orang Aceh dan Linguistik Umum dan tamat pada 1925. Ia meneruskan pendidikannya untuk program Ph.D dengan fokus studi Cerita Rakyat Batak dan menamatkannya pada 1927. Selama menempuh pendidikan, Voorhoeve menjadi mahasiswa dari tokoh-tokoh intektual terkemuka yang pernah berkiprah di Hindia Belanda yaitu Prof. Ph.S. van Ronkel dan Prof. Snouck Hurgronje.
Setelah menyelesaikan pendidikan doktoralnya, Voorhoeve segera mendapatkan pekerjaan di Balai Pustaka, Batavia. Pada akhir tahun 1927, segeralah ia bersama istrinya M.C. Johanna Bernelot Moens berangkat ke Hindia-Belanda. Ia mulai bekerja pada Januari 1928 sebagai kepala bagian (naskah) Melayu di Balai Pustaka. Di sini ia mulai mempelajari karya sastra klasik dan bahasa masyarakat Melayu terutama untuk bagian Sumatra bagian Selatan dan Minangkabau.
Dr. Petrus Voorhoeve, kemungkinan saat bekerja sebagai pegawai bahasa di Simalungun, Sumatra Utara |
Voorhoeve berhenti bekerja di Balai Pustaka pada tahun 1933, ia kemudian kembali ke Belanda. Namun setahun setelahnya ia kembali lagi ke Jawa dan bekerja sebagai pustakawan di the Royal Batavia Society of Arts and Science. Pada tahun 1937 ia berhenti dan mendapatkan pekerjaan baru sebagai pegawai di Distrik Simalungun, Sumatra Utara. Di sana ia banyak belajar tentang bahasa Batak bahkan ia menyusun kamus dialek Batak dan pada 1939 ia menulis karya yang berjudul "Catatan atas Studi Linguistik dan Antropologi di Provinsi Sumatra Utara". Atas karyanya itu, Voorhoeve dipindahtugaskan menjadi pegawai bahasa pemerintah untuk Sumatra (taalambteenar voor Sumatra) pada 1940.
Meneliti Naskah-Naskah Kuno dari Kerinci
Selama menjabat sebagai pegawai/ahli bahasa pemerintah Hindia-Belanda, ia kemudian meneruskan penelitiannya terhadap bahasa Melayu di Bagian Tengah dan Selatan yakni Minangkabau, Kerinci, Rejang dan Lampung. Tampaknya, Voorhoeve menaruh perhatian besar terhadap bahasa dan kesusatraan masyarakat Melayu di daerah ini.
Pada April 1941, Voorhoeve dan istrinya berangkat menuju Kerinci untuk meneliti naskah-naskah kuno yang disimpan sebagai pusaka oleh Orang Kerinci. Pekerjaannya ini dimuluskan atas bantuan dari Controuller Kerintji-Indrapoera saat itu yang bernama H. Veldkamp. Sang controuller telah mengatur janji pertemuan dengan para Depati--kepala suku-- dari masing-masing kampung di wilayah Kerinci.
Voorhoeve melaksanakan penelitiannya pada 5-12 April dan 1-17 Juli 1941. Ia berhasil mendata sekitar 240 naskah kuno yang ada di Kerinci. Bahkan hampir semuanya telah dialihaksarakan. Di dalam penelitian tersebut ia dibantu oleh sang Istri dan teman istrinya Nona N. Coster dalam proses penyalinan, H. Veldkamp sebagai fotografer, Abdul Hamid seorang guru di Kerinci yang membantunya mengalihaksarakan naskah-naskah Arab-Melayu (Jawi), serta Prof. Purbatjaraka di Batavia untuk mengalihaksarakan naskah-naskah yang diduganya beraksara Jawa Kuno.
Baca juga: Aksara Surat Incung, Riwayat dan Problematikanya
Pada tahun 1942, Voorhoeve menyusun katalog beserta alihaksara naskah-naskah yang ditelitinya di Kerinci. Katalog itu diberi judul sebagai Tambo Kerintji. Beberapa salinan dari katalog tersebut di kirim ke Kerinci dan ke Batavia.
Pada tahun 2006, Uli Kozok kemudian mempublikasikan hasil penelitian Voorhoeve tersebut secara online melalui situs: https://ipll.manoa.hawaii.edu/indonesian/research/tambo-kerinci/ (Lihat: Tambo Kerintji). Sehingga, hasil kerja keras Voorhoeve tersebut dapat dibaca oleh siapa saja yang berminat.
Menemukan Naskah Melayu Tertua di Dunia
Voorhoeve memulai penelitiannya pada tanggal 7 April 1941 di Mendapo--persekutuan dusun adat di bawah distrik-- Limo Dusun. Kemudian pada tanggal 8 April, ia bergerak ke arah utara Kerinci yakni ke Mendapo Rawang, Mendapo Depati Tujuh, Mendapo Kemantan dan Mendapo Semurup.
Selanjutnya, pada tanggal 09 April, Voorhoeve menuju Mendapo Hiang dan Mendapo Seleman. Di Mendapo Seleman proses pendokumentasian terbagi menjadi dua bagian. Sebagian masyarakat membawa benda pusakanya ke Kantor Mendapo. Sebagian yang lain diperlihatkan di dalam desa masing-masing.
Di Dusun Tanjung Tanah, Mendapo Seleman, masyarakat membawa barang pusaka mereka dengan arak-arakan adat ke sebuah jembatan di dekat masjid. Barang pusaka tersebut dibawah oleh seorang perempuan tua dengan digendong dan ditutup menggunakan selendang. Barang pusaka tersebut juga dipayungi dengan dua payung dan diiringi oleh seorang pria dengan membawa dua buah pedang di depannya.
Suasana arak-arakan peti pusaka di Dusun Tanjung Tanah, Kerinci pada tahun 1941 |
Salah satu naskah pusaka yang menarik perhatian Voorhoeve adalah naskah yang ditulis di atas daluang atau kulit kayu. Naskah tersebut terlihat sangat kuno dari naskah lain. Ia menduga tulisan pada naskah tersebut merupakan tulisan "Jawa Kuno". Voorhoeve sendiri tidak ahli membacanya. Ia mengirim gambar naskah tersebut kepada koleganya di Batavia yakni Prof. Purbatjaraka.
Lihat juga:
Baca juga: Menjawab Pertanyaan-Pertanyaan Mengenai Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah
Di dalam makalahnya tahun 1970, Voorhoeve mengatakan bahwa potret naskah yang diambilnya tidak terlalu bagus, Kondisi saat itu tidak memungkinan untuk mengambil foto yang layak karena kerumunan warga yang juga hendak melihat barang pusaka tersebut. Tetapi untunglah, potret yang diambil oleh Veldkamp memiliki kualitas yang lebih bagus. Hasil potret Veldkamp inilah yang dikirim ke Prof. Purbatjaraka di Batavia.
Dalam balasannya tertanggal 24 April 1941, Purbatjaraka menyertai hasil alihaksara dengan beberapa catatan. Di antaranya, ia mengatakan bahwa "naskah yang ditulis di atas daluang bisa bertahan lama apabila dijaga dengan baik". Purbatjaraka menambahkan bahwa aksara pada naskah tersebut memiliki kemiripan dengan naskah yang berasal dari Demak dan naskah Menak Kertasura yang ditulis sekitar 1699 M".
Tampaknya, keterangan dari Purbatjaraka ini membuat naskah daluang Tanjung Tanah belum memberikan informasi yang mengejutkan bagi Voorhoeve dan dunia pernaskahan di Hindia Belanda saat itu. Namun dalam ingatan Voorhoeve, naskah tersebut menyebutkan kata "Dharmasraya", sebuah tempat di mana arca Amoghapasa pernah ditemukan.
Barulah beberapa puluh tahun kemudian, naskah yang pertamakali ditemukan oleh Voorhoeve ini diketahui sebagai naskah berbahasa Melayu tertua di dunia. Hal ini terungkap setelah Uli Kozok meneliti objek naskah yang sama pada sekitar tahun 2002. Uji karbon yang dilakukan oleh Kozok, menunjukkan naskah itu benar-benar sangat tua yakni ditulis pada abad ke-14 M, atau 700 tahun yang lalu.
Pulang ke Belanda
Di akhir tahun 1941, Jepang menduduki Hindia-Belanda. Ia ditugaskan menyelamatkan arsip-arsip yang ada di kantornya. Pada Februari 1942, Voorhoeve ditahan oleh Tentara Jepang dan dikirim ke Burma dan Thailand. Sementara itu, anak dan istrinya ditahan di Sumatra. Setelah kemerdekaan, pada 1946 Voorhoeve kembali ke Indonesia dan membawa istri beserta anak-anaknya kembali ke Belanda.
Berkarya Hingga Akhir Hayat
Setibanya di Belanda, Voorhoeve bekerja sebagai kurator di perpustakaan Universitas Leiden antara 1946-1947. Setelah itu ia kembali lagi ke Indonesia dan bekerja di Institute for Linguistic and Culture Research (ITCO) yang merupakan bagian dari Universitas Indonesia. Namun karena gejolak politik antara Belanda dan Indonesia, pada tahun 1949 Voorhoeve berhenti dan meneruskan pekerjaannya sebagai kurator di Belanda.
Di Leiden, Voorhoeve menyusun katalog naskah Indonesia yang menjadi koleksi di sana seperti Handlist of Arabic manuscripts in the Library of the University of Leiden and other collections in the Netherlands (1957). Ia juga menyusun katalog naskah Indonesia terutama naskah Batak, Rejang dan Melayu yang tersebar di Eropa seperti di Inggris Raya, Jerman dan Irlandia. Ia juga bekerja sama dengan para peneliti naskah Indonesia lainnya dalam menerbitkan karya-karyanya seperti M.A. Jaspan, Liberty Manik, Th.G.Th. Pigeaud, T. Iskandar, dan M.C. Ricklefs. Voorhoeve juga membuat edisi teks dari naskah-naskah Melayu seperti karya Nuruddin Arraniri dan teks Adat Aceh.
Baca juga: Mau Diusulkan Ke UNESCO, Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah Seharusnya Tidak Dibawa ke Jakarta
Voorhoeve wafat pada 09 Februari 1996 dalam usia 97 tahun di desa Barchem, Belanda. Karya-karyanya akan terus dikenang dan dibaca oleh para peneliti naskah di Indonesia. Tentu bagi masyarakat Kerinci, Voorhoeve meninggalkan sebuah karya tulis yang sangat berharga. Hasil alihaksaranya menjadi acuan utama bagi para peneliti kebudayaan Kerinci di era kini.
-----
(Untuk mengenang Dr. P. Voorhoeve, yang pada 22 Desember ini adalah hari kelahirannya)
Ditulis oleh kontributor kami,
H.H. Sunliensyar
Referensi:
A. TEEUW and E.M. UHLENBECK. 1997. In Memoriam Dr. Petrus Voorhoeve 22 December 1899 - 9 February 1996. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 153, 3de Afl. , pp. 311-317
Voorhoeve, Petrus. 1970. Kerintji Documents.
Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 126 (1970), no: 4, Leiden, 369-399
Voorhoeve, Petrus. 1941-2. Tambo Kerintji. Re-typed by Uli Kozok in https://ipll.manoa.hawaii.edu/indonesian/research/tambo-kerinci/
Komentar