Pembangunan Rumah Gonjong Minangkabau di Kerinci: Potret Gagal Paham dan Hilangnya Identitas Budaya Orang Kerinci

Potret rumah bergonjong Minangkabau yang sedang dibangun di Pulau Sangkar (Sumber: Forum Masyarakat Peduli Kerinci Grup FB)

Beberapa hari yang lalu, admin menulis bahwa Pulau Sangkar bukanlah bagian dari wilayah Kerajaan Minangkabau. Akan tetapi, Pulau Sangkar memiliki sistem pemerintahan lokal tersendiri yang keberadaannya diakui oleh Minangkabau dan Jambi. 

Baca Juga: Benarkah Pulau Sangkar sebagai Ujung Kerajaan Pagaruyung?

Meskipun demikian, amatlah mustahil untuk mengatakan bahwa orang Kerinci tidak pernah melakukan hubungan politik dan diplomatik dengan dua Kerajaan tersebut di masa lalu. Sebagaimana yang diungkapkan pada artikel yang lalu, bahwa orang Kerinci membutuhkan raja dalam konteks tertentu. Dan raja besar juga membutuhkan banyak penguasa yang mau membaiat dirinya dan mengakui kedudukannya. Namun perlu digarisbawahi bahwa hubungan antara Orang Kerinci dengan Jambi dan Minangkabau adalah hubungan POLITIK TERBATAS dan ini terjadi dalam proses SEJARAH masa lalu. 

Tetapi ada satu hal yang sangat luput dari perhatian, padahal sangat penting di dalam kajian sejarah yaitu meletakkan peristiwa di dalam kerangka waktu atau kronologinya. Kapan Minangkabau berdiri? Kapan Jambi berdiri?kapan Depati Tencong Telang wujud? Kapan tiga wilayah ini berhubungan? Mana yang benar Kerajaan Pagaruyung atau Kerajaan Minangkabau?Semua pertanyaan-pertanyaan ini masih menjadi misteri dalam kajian sejarah yang ilmiah. Hal ini dikarenakan keengganan kita mempelajari sejarah dan miskinnya data sejarah yang kita punya. 

Malangnya, orang Kerinci sebagian besar membuat tafsiran sejarah sendiri di tengah miskinnya data tersebut. Penafsiran melenceng ini dibarengi pula dengan gagal paham tentang budaya dan identitas budaya. Kasus semacam ini bisa dilihat dari masalah yang terjadi dan menghangat di Pulau Sangkar saat ini.

Setelah membentuk lembaga adat Depati Rencong Telang-Ujung Kerajaan Pagaruyung dengan landasan sejarah yang sangat lemah. Lembaga ini tampaknya juga sedang membangun rumah gadang minangkabau atau rumah bergonjong lengkap dengan lumbungnya di wilayah adat Depati Rencong Telang, Kerinci, Jambi.

Padahal sebagaimana diketahui. Rumah bergonjong adalah identitas budaya orang Minangkabau. Artinya, rumah bagonjong adalah karakteristik atau ciri khas dari sekian banyak budaya yang dimiliki oleh orang Minang. Ketika orang diluar budaya Minangkabau melihat ciri khas tersebut, maka yang terlintas di pikiran mereka adalah masyarakat yang membangunnya juga orang Minangkabau.

Kalaupun misalnya dalam sejarah masa lalu, Pulau Sangkar pernah menjadi bagian dari Kerajaan Minangkabau. Atau misalnya, Depati Rencong Telang yang berkuasa di sana pernah mengaku beraja ke Minangkabau di masa lalu? Apakah ia harus menjadi orang Minangkabau dan berbudaya Minangkabau? 

Admin beri pemisalan lain yang mudah dipahami, Kerinci pernah menjadi bagian Pemerintahan Hindia-Belanda sejak tahun 1903-1943, apakah dengan demikian orang Kerinci otamatis menjadi orang Belanda dan berbudaya Belanda?

Kembali kesoalan di atas, jauh sebelum berhubungan dengan Minangkabau yang dijangkakan paling awal terjadi sekitar abad ke-16 (sekitar 400 tahun yang lalu). Orang Kerinci telah memiliki sejarah kebudayaan yang cukup panjang. Hal ini bisa dibuktikan dengan kayanya tinggalan purbakalaan yang ditemukan di Kerinci. 

Dari "sejarah budaya" yang cukup panjang, dimulai dari masa neolitik hingga masa Islam, terbentuklah ragam budaya yang menjadi identitas orang Kerinci. Identitas budaya inilah yang  membedakan antara orang Kerinci dan orang Minangkabau. Jika berpedoman pada tujuh unsur budaya, maka perbedaan budaya itu akan jelas terlihat kentara, terutama sekali unsur bahasa, sistem sosial dan  teknologi. 

Rumah adat merupakan salah satu contoh unsur budaya materi yang membedakan antara dua etnis (suku ini). Rumah orang Minangkabau memiliki atap gonjong, tiang yang mengerucut ke bawah, tinggi rumah, jendela vertikal, dinding rumah yang tinggi serta ragam hias ukiran yang menghiasinya. 

Sementara itu, rumah tradisional orang Kerinci disebut rumah larik. Rumah panjang yang dibangun secara menyambung. Atap yang terbuat dari sirap/kepiing (potongan kayu), tetapi tidak bergonjong namun diberi simbol tanduk kambing di bagian kasau atap. Tiang rumah segi delapan, jendela yang horizontal/memanjang, tinggi dinding yang lebih pendek dari bubungan atap, ragam hias yang cukup unik serta berbagai ciri khas lainnya. 

Arsitektur khas rumah larik ini dan perbedaannya dengan rumah tradisional Minangkabau dapat dilihat dari tulisan Gaudenz Domening yang berjudul "The Kerinci Longhouse: Ethnograpic Materials and comparative observations". Artikel ini ditulis dalam buku Indonesian House diedit oleh Reimar Schefold tahun 2008.  

Seperti dusun lainnya di Kerinci, rumah dengan ciri khas semacam ini juga terdapat di Dusun Pulau Sangkar, seperti yang terlihat dalam potret di bawah ini. Gambar tersebut diambil saat pembukaan dusun Baru Pulau Sangkar sekifar tahun 1922.  Judul Belandanya"Maleische hoofden in Koerintji bij de opening van het nieuwe dorp Poelau Sangkar" atau bila diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi "Kepala suku orang-orang Melayu di Kerinci saat pembukaan dusun baru Pulau Sangkar".

Potret Rumah Larik di Dusun Pulau Sangkar Tahun 1922 (Sumber KITLV-Pictura)

Jika kita perhatikan latar dari potret sekelompok masyarakat ini. Tampak rumah larik, atau rumah tradisional Kerinci yang berdiri kokoh dan beberapa rumah yang sedang dibangun di depannya. Apakah rumah tersebut punya gonjong sama seperti rumah orang Minangkabau?

Meskipun demikian, orang Kerinci dan orang Minangkabau masih satu rumpun budaya besar yaitu budaya Austronesia. Sama-sama punya rumah panggung tapi punya ciri khas budaya masing-masing. Begitu pula, dengan kosakata ada yang sama, namun ada pula yang beda. 

Apalagi dalam empat abad terakhir, dua etnis ini saling menjalin hubungan politik. Tentu terjadi silang budaya antar keduanya. Ada budaya Minangkabau yang mempengaruhi budaya Kerinci pun begitu sebaliknya, karena tukar budaya ini terjadi dalam dua arah. 

Baca juga: Surat Sultan Inderapura Tahun 1831, Buktikan Pulau Sangkar Bukan Ujung Tanah Pagaruyung!

Contoh lain, bisa dilihat dari hubungan etnis pribumi dengan orang Eropa  di Hindia-Belanda. Sedikit banyak, budaya Eropa mempengaruhi budaya etnis pribumi, seperti penggunaan jas dalam berpakaian, penggunaan sepatu, adanya unsur eropa yang dipakai dalam arsitektur rumah, kosakata belanda yang diserap dan lain sebagainya. 

Budaya pribumi juga berpengaruh pada orang Eropa yang tinggal di Hindia-Belanda. Mulai dari kebiasaan makan, dialek bahasa yang jauh berbeda dengan dialek Belanda "Totok", bahkan kebiasaan makan sirihpun pada suatu waktu pernah digemari oleh orang Belanda sebelum dilarang oleh pemerintah kolonial. 

Meskipun saling bertukar budaya, budaya asli masyarakat setempat tidak akan hilang karena masing-masing kebudayaan punya filter atau saringan yang bisa mencegah terjadinya hal tersebut. 

Salah satu filter yang dimiliki oleh Orang Kerinci adalah pengaturan sistem perkawinan yang ketat. Seperti dalam adat "duduk seko semendo menyemendo", mereka menyaring setiap laki-laki yang mau menikahi anggota suku yang perempuan. Di masa lalu, asal usul si laki-laki ditelisik secara ketat. Kebanyakan orang Kerinci menolak perkawinan dengan suku/kelbu yang punya sejarah permusuhan dengan mereka, tetapi mendukung perkawinan dengan kelbu-kelbu sekutu. Makanya dahulu kala, jarang sekali kita mendengar adanya pernikahan antar dusun yang  jauh dilangsungkan. Apalagi pernikahan antara perempuan Kerinci dengan laki-laki non Kerinci. Pernikahan semacam ini dilarang tegas oleh pemimpin kelbu. Mereka akan mencari jodoh yang tepat, kalau bisa dengan "samo awak lah" (masih kerabat sendiri). Fenomena ini berbeda dengan apa yang terjadi sekarang. 

Baca Juga:

Mengenal Sapaan dan Istilah Hubungan kekerabatan Orang Kerinci

Tenyata orang Kerinci Punya "Suku", Inilah Buktinya!

Hal itu semua dilakukan untuk menjaga eksitensi budaya asli orang Kerinci. Mereka takut sekali kalau-kalau laki-laki semendo ketika masuk kedalam kelbu mereka merusak tatanan sosial dan budaya yang mereka warisi. Seperti istilah adat menyebut "tunggul jangan diansak orang peladang, jalan jangan dialih dagang lalu".

---

Orang Kerinci saat ini sebenarnya sedang dilanda krisis identitas budaya. Sebagian di antara mereka tidak mengetahui mana ciri khas budaya yang mereka punya, bahkan krisis ini melanda \para pemangku adat sendiri. Krisis identitas ini disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satunya mungkin pengrusakan berbagai macam budaya materi orang Kerinci seperti rumah larik, bilik padi, dan masjid yang berlangsung sejak puluhan tahun yang lalu.

Bukannya berusaha untuk membangkitkan kembali identitas budaya yang makin tenggelam. Beberapa oknum malah berupaya melestarikan identitas kebudayaan orang lain dengan membangun rumah bergonjong Minangkabau di Bumi Kerinci. Tentu potret yang sangat miris di tengah rumah larik yang diambang kepunahan. 

Namun yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah jika proyek pembangunan rumah bergonjong ini dilanjutkan. Takutnya di masa mendatang, identitas orang Kerinci semakin menghilang. Orang Kerinci dimata orang awam adalah sama dengan orang Minangkabau dan mengamalkan budaya Minangkabau karena simbol orang Minangkabau berdiri kokohnya di  Kerinci mengalahkan keberadaan rumah larik. Hingga akhirnya, suku atau etnis Kerinci terhapus dari daftar ratusan etnis minoritas yang menghuni Nusantara. Belum lagi, dampak lain yang tak diuraikan di sini.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Legenda Batu Patah: Cerita Rakyat dari Danau Kerinci

Dari manakah Asal Usul Penduduk Dusun Siulak Mukai? Menelusuri Sejarah dan Struktur Pemerintah Adat Masyarakat Siulak Mukai

Sejarah Wilayah Tigo Luhah Tanah Sekudung, Siulak di Kerinci

Asal Usul Penduduk Dusun Siulak Gedang, Ibu Negeri Wilayah Adat Tanah Sekudung

Traditional Architecture of Kerinci Ethnic

Mengenal Cabe Suhin, Kuliner Khas Tradisional Kerinci

Sekilas Tentang Wilayah Adat Mendapo Limo Dusun (Sungai Penuh), Tanah Pegawai Rajo-Pegawai Jenang

Mengenal SINAR BUDI: Dari Generasi ke Generasi Mempopulerkan Tale Kerinci

Muhammad Awal, Bupati Kerinci Ke-5 yang Dikenang dengan Aura "Kesaktian"-nya