Mau Diusulkan Ke UNESCO, Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah Seharusnya Tidak Dibawa ke Jakarta
Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah seharusnya tidak dibawa ke Jakarta (boedayakerinci.blogspot.com) |
Majelis Pasak (Peduli Adat Sakti Alam Kerinci) bekerja sama dengan HIMSAK (Himpunan Mahasiswa Sakti Alam Kerinci) pada 18 Desember 2020, menggelar webinar yang berjudul Nitisarasamuscaya Kerinci: Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah menuju Memory of The World. Webinar ini menghadirkan beberapa pembicara yaitu: (1) Prof. Uli Kozok, peneliti naskah Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah; (2) Prof. Ing. Wardiman Djojonegoro, Mantan Mendikbud. Beliau turut berperan aktif dalam pengusulan naskah nusantara sebagai Memory of the World (Ingatan dunia):(3) Hafiful Hadi Sunliensyar, M.A., arkeolog dari Kerinci.
Lihat juga: [Video] Surat Incung Tulisan Kuno Orang Kerinci
Webinar ini dimulai dari presentasi yang dilakukan oleh Prof. Uli Kozok. Beliau memaparkan tentang latarbelakang sejarah serta isi dari Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah. Beliau menyebutkan bahwa kitab ini sezaman dengan Kerajaan Dharmasraya dibuktikan dari isi, aksara, dan bahasa yang digunakan. Hasil penanggalan karbon juga menunjukkan bahwa kitab ini berasal dari abad ke-14 M.
Baca juga: Menjawab Pertanyaan-Pertanyaan Mengenai Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah
Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah, mempunyai nama asli Nitisarasamuscaya yang berisi aturan/hukum resmi yang diterapkan pada Orang Kerinci pada masa Hindu-Buddha. Menurutnya, sampai saat ini Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah masih menduduki posisi sebagai naskah Melayu tertua di dunia. Karena memang naskah ini menggunakan bahasa Melayu yang dominan meskipun ada mantra-mantra Sansekerta di bagian pembuka dan penutup.
Pemaparan dilanjutkan oleh Prof. Wardiman. Beliau menyatakan kitab ini sangat luar biasa. "Kitab ini menjadi bukti bahwa Melayu memiliki peradaban yang cukup tua, di abad ke-14 mereka sudah punya undang-undang sendiri. Tidak seperti yang disangkakan orang", kata beliau. "Saya mengusulkan nanti namanya diubah menjadi Undang-Undang Tanah Tinggi kalau mau diusulkan ke UNESCO, tapi ini juga terserah para ahli nantinya", lanjut beliau.
Prof. Wardiman melanjutkan pemaparan beliau bahwa untuk diusulkan ke UNESCO ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Pertama, harus terjamin dulu penyimpanannya sesuai standar internasional agar naskah ini dapat bertahan dan awet lebih lama. Kedua, naskah tersebut dapat diakses oleh umum . Ketiga, naskah tersebut dapat diakses oleh para peneliti dan akademisi. Jadi, menurut beliau, sebaiknya naskah ini dibawa dan disimpan di Jakarta, entah itu di Museum ataupun di Perpustakaan Nasional.
Baca juga: Empat Prasasti Tanduk dari Mendapo Rawang Berhasil Dibaca Ulang, Ini Isinya!
Presentasi yang dipaparkan oleh Sunliensyar juga sangat menarik. Beliau mengatakan bahwa naskah kuno Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah juga merupakan bagian dari tinggalan arkeologi dan sumber daya budaya. Oleh sebab itu, sangat perlu manajemen atau pengelolaan yang baik terhadap naskah tersebut.
Beliau mengusulkan bahwa sebelum diusulkan sebagai memory of the world ke UNESCO ada proses dan tahapan yang harus dilalui. "pertama-tama harus ada uji kelayakan dan kajian nilai penting terhadap kitab tersebut", ujarnya.
Dalam presentasinya beliau mengatakan bahwa, nilai penting naskah Tanjung Tanah atau Kitab Nitisarasamuscaya tidak hanya dari fisiknya yang telah berusia 700 tahun. Tapi juga bagaimana hubungan antara masyarakat adat di Tanjung Tanah dengan benda tersebut. Mereka telah menjaga kitab tersebut dari generasi ke generasi meski kitab tersebut berasal dari masa Pra-islam dan bernuansa Hindu-Buddha. "Ini adalah cermin toleransi, bagaimana masyarakat adat Tanjung Tanah yang beragama Islam menjaga benda budaya dari masa Hindu-Buddha, narasi inilah yang perlu dikembangkan dan dibawa ke dunia Internasional", Imbuhnya.
Kajian nilai penting Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah bila sudah dilakukan akan menjadi dasar untuk menetapkan kitab ini sebagai cagar budaya sesuai amanat UU no.11 tahun 2010, dan seterusnya menjadi dasar dalam rekomendasi pelestarian.
Baca juga: Bagaimana Kepercayaan Orang Kerinci Masa Lalu Terhadap Roh dan Dunia Gaib?
Jika kita menganggap nilai penting dari kitab Undang-Undang Tanjung Tanah tidak hanya pada fisiknya tetapi juga hubungannya dengan masyarakat adat, maka orientasi pelestarian selanjutnya tidak hanya untuk menjaga fisik naskahnya tetap awet dan terjaga, tetapi juga bagaimana tradisi-tradisi masyarakat adat dengan naskah tersebut tetap berlangsung. Dengan demikian, naskah ini tidak perlu dibawa atau disimpan di luar Desa Tanjung Tanah.
"Bila kitab undang-undang Tanjung Tanah ini, sudah ditetapkan sebagai cagar budaya serta telah jelas pula model pelestariannya, barulah nanti naskah ini diusulkan ke UNESCO sebagai Memory of the World", lanjutnya.
Perlu Tindakan Khusus untuk Naskah yang Khusus Pula
Pada prinsipnya, kita tidak bisa memperlakukan setiap naskah kuno itu sama. Akan tetapi, harus dilihat riwayat dan latarbelakang sejarahnya dulu. Naskah-naskah yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai memory of the world, punya riwayat yang berbeda dengan kitab naskah Undang-undang Tanjung Tanah. Misalnya, Kitab Negarakertagama dan Babad Diponegoro.
Kitab Negarakertagama adalah kitab yang isinya ditulis pada tahun 1365 (abad 14), pada masa Majapahit, oleh Mpu Prapanca. Boleh dikatakan naskah ini sezaman dengan Kitab Undang-undang Tanjung Tanah. Namun demikian, naskah yang diketemukan bukanlan naskah yang secara fisik berasal dari abad ke-14. Tetapi naskah salinannya yang disalin oleh Artamapasah pada abad ke-18 M di Lombok. Naskah ini dijarah dari perpustakaan pribadi Raja Lombok pada tahun 1894 saat diduduki Belanda. Naskah ini kemudian dibawa ke Belanda dan disimpan di Leiden. Naskah ini baru dikembalikan ke Indonesia pada tahun 1973 dan disimpan di Perpustakaan Nasional RI. Barulah pada tahun 2008, Kitab Negarkertagama ditetapkan sebagai Memory of The World.
Baca juga: Aksara Surat Incung, Riwayat dan Problematikanya
Riwayat serupa juga terjadi pada Babad Diponegoro, bahwa naskah ini ditemukan tersimpan di Belanda dan kemudian dibawa kembali ke Indonesia. Saat ini, naskah tersebut juga disimpan di Perpustakaan Nasional RI.
Akan tetapi, naskah kitab Undang-undang Tanjung Tanah punya riwayat yang berbeda. Kitab ini sejak 700 tahun yang lalu masih dalam konteks aslinya yaitu disimpan oleh masyarakat adat Kerinci. Sangat luar biasa, naskah ini masih utuh dan awet hingga sekarang. Di dunia ini tidak akan ditemukan komunitas adat atau keagamaan yang mampu menjaga naskah selama itu.
Masyarakat dunia harus tahu bahwa naskah ini masih dalam konteks aslinya, bukan hasil jarahan para kolonialis di masa lalu. Tentu harus ada perilaku atau tindakan khusus untuk naskah yang istimewa seperti Kitab Naskah Undang-Undang Tanjung Tanah. Tidak sekonyong-konyong dipindahkan atau dibawa untuk disimpan di Jakarta. Kalau seandainya pemerintah pusat memaksa, lantas apa bedanya mereka dengan para kolonial di masa lalu?
Komentar