Melacak Asal-Usul Kelompok Masyarakat Kerinci Yang Menghuni Kawasan Koto Lolo - Koto Bento dan Sekitarnya: Kajian Naskah Tembo
Jihat Ninek Singarajo Gedang yang terletak di tengah permukiman Dusun Tengah-Koto Lolo, Dokumentasi: Alimin Depati |
Naskah-naskah tembo Kerinci yang telah dialihaksarakan oleh P. Voorhoeve pada tahun 1941, terutama yang ditulis pada media tanduk kerbau, umumnya menceritakan tentang riwayat dan silsilah para leluhur tokoh pendiri dusun, tempat di mana naskah kuna itu disimpan. Di antara naskah-naskah tembo tersebut dimiliki oleh kelompok masyarakat adat Kerinci yang menghuni kawasan Koto Lolo dan Koto Bento. Kawasan ini berada di sebelah Utara Kota Sungai Penuh, termasuk ke dalam kecamatan Pesisir Bukit. Secara adat, kawasan ini mungkin berbatas dengan wilayah adat masyarakat Koto Keras di Sebelah Selatan dan wilayah adat Sungai Liuk di sebelah Utaranya.
Hasil alihaksara naskah-naskah Te(a) mbo Kerinci (TK) yang disimpan di dalam kawasan adat ini diberi nomor TK 25 hingga 28 , TK 30-32 dan TK 34-35 dalam bagian Mendapo Rawang oleh Voorhoeve (lihat disini). Naskah-naskah ini umumnya berisi tentang asal-usul dan silsilah nenek moyang masyarakat yang ada di sana. Dalam tulisan ini, penulis hanya mengambil beberapa contoh alihaksara tembo tersebut,sebagai berikut:
Pertama, tembo Kerinci (TK) 26 dan 27, merupakan naskah surat incung yang ditulis pada media tanduk kerbau. Teks pada naskah TK 26 terdiri atas 33 baris,sementara naskah TK 27 terdiri atas 17 baris. ke dua naskah ini merupakan naskah pusaka yang disimpan oleh Bujang Pandiang Alam Lapang dusun Kuto Bento. Berikut hasil alihaksara yang dilakukan oleh Voorhoeve terhadap naskah ini:
TK 26 berbunyi,
"(1) Hini surat tutur takala masa dahulu (tu) run di kuta baringin hadapun (2) handir pangkat sapa laki handir pangkat sanginda panjang sapa hanak bagalar sapangkat (3) sapangkat tadi mangada hanak hurang tujuh sapa hanak dingan tuwa bagalar handir hunut (4) sudah handir hunut handir mulan (5) sapa hadik handir mulan handir gadang sapa (6) hadik handir gadang salih mandayu sapa handik salih manda (7) yu mangku garang sapa hadik mangku garang manti manih hadik manti manih ma (8) ………..saka hitu halah galar hanak sapangkat hurang tujuh hanak dingan tuwa tadi bagalar (9) handir hunut ngadakan buyang pandi (10) yan batampat kuta baringin sudah hitu mangadakan dipati singalaga hada….i…….bujang pandiyan (11) mamagang hutan tanah mengana’u hutih batih si (12) ngan mana hutih batih hiyang di (13) …..pa ga silan (:singan?) batu balarik tangah laman riya lamalan lalu mara (14) sakungkung mati man (u)ju bat(u) bahakuk singan situ hutan bujang pandi (15) …….jan di mudik sapa kanti babidi hijalah riya gamalaw riya lurah (16) sapa pula dingan di dilin (:hilir?)…. (17) caya dipati singarapi kanti bahutih babatih sama tangah……. (18) singa raja hilah ......................................"
TK 27 berbunyi,
" (1) hini surat hurang manunggu kuta baringin sapa manunggu nd pangkat (2) sapa laki sanginda panjang sapa hanak sapangkat sapangkat ngada hanak hurang (3) tujuh sapa bilang hanak salima dayu mangku garang manti manis malin suka sada hitu (4) hanak jantan hini bilang hanak batina batiga sapa nama samulan (5) sudah handi gada sudah handir hunuk handir hunuk ngada (6) kan hanak bujang pandiyan batampat di kuta bari (7) ngin bujang pandiyan hitu (8) halah butas babartas dingan (9) hiya luhah singan pinang balarik lalu ka jambu saka lalu ka ba (10) tu balarat tangah huma riya gamalar (11) lalu mara sakungkung (ma)ti lalu ka batang dikuk situ huta (12) s batas bujang pa(ndi)jan dingan … caya dipati (13) singa ka(?)………………h (14) sapa di ngan sanak bujang pa(ndi)yan batampat di kuta ba (15) ringin hiyalah ha………ha(?)nduh (hanak) (16) ngada hanak bujang panda…….(17) di laman di kuta ba(ringin)"
Ke dua naskah ini isinya paralel, yaitu menceritakan tentang asal usul tokoh Bujang Pandiyang sebagai nenek moyang masyarat adat di Koto Bento serta wilayah adat yang dikuasai oleh Bujang Pandiyang sebagai leluhur mereka. Menurut naskah ini Bujang Pandiang berasal dari permukiman kuno yang dulu disebut sebagai Kuto Baringin (Kuto Bingin, berada di perbukitan desa Sungai Liuk, sekarang). Dalam naskah 26 maupun 27 dikatakan bahwa Kuto Baringin dihuni oleh sepasang leluhur yang bernama Sanginda Panjang dan Andir Pangkat atau disebut juga dengan nama Sapangkat. Mereka mempunyai tujuh orang anak, tiga orang perempuan yaitu: (1) Andir Unut; (2) Andir Mulan; (3) Andir Gedang, dan empat orang laki-laki yaitu (1) Salih Mandayu; (2) Mangku Garang; (3) Manti Manis dan (4) Malin Suka. Anak Sanginda Panjang yang tertua yaitu Andir Unut memiliki seorang anak laki-laki bernama Bujang Pandiang bertempat di Kuto Baringin kemudian turun ke Koto Bento.
Bujang Pandiang inilah yang dianggap sebagai tokoh leluhur masyarakat Koto Bento. dengan batas-batas wilayah kekuasaannya masing-masing: batas di sebelah Mudik dengan Rio Luhah sehingga Pinang Balarik hingga ke Jambu Sako lalu ke Batu Balarat Tengah Umo (laman) Rio Gamalar, lalu Maro Sekungkung Mati lalu ke Batang Dikuk. Batas di sebelah Hilir dengan Datuk Caya Depati (dusun Baru Sungai Penuh), sementara batas sebelah Barat (samo tengah) dengan Singaraja.
Pemangku Adat di dusun Koto Bento. Sumber: Haris Bento FB |
Naskah selanjutnya TK 30, menceritakan mengenai anak keturunan Bujang Pandiang di kawasan Koto Bento-Koto Lolo. Naskah TK.30 ditulis menggunakan aksara surat Incung dengan teks terdiri dari 11 baris ditulis pada tanduk kerbau dan disimpan sebagai pusaka Tamai Nyato Negeri di dusun Koto Lolo, berikut bunyi naskah menurut Voorhoeve:
"(1) Hini surat tutur bujang paniyam sarata jadi dingan dapati sarata pamangku sarata da (2) tuk caya dapati tah(?) bujang paniyam mangadakan hanak hurang hampat surang laki-laki batiga (3) batina surang bini tandang juwara surang bini patih suka nagara diyam di kuta lima sarin (4) surang bagalar canti bami’in samat diyam dim sarata ca(ya) dapati tanah kamun (5) mangada hanak surang muka mati tini (:bini?) di kamun (6) surang bini patih muda diyam kuta ranah (7) muka d(i) bawanya mudik jadi singa raja madapat hanak hurang mpat (8) surang jara bangsu duwa dingan patih katakan hanak sadayang bunga padi baduwa dingan ninik ngkak (9) berapa hanak jadi singaraja duwa hurang surang ninik hitam (10) surang ninik ngsu sada hitu tutu (11) rnya"
Naskah TK 30 menceritakan kelanjutan silsilah dari Bujang Pandiang, di mana disebutkan bahwa Bujang Pandiyang (Bujang Paniyam) memiliki empat orang anak yang terdiri dari seorang laki-laki dan tiga orang perempuan. Adapun anaknya yang perempuan masing-masing, (1) istrinya (bini) Tandang Juara; (2) istrinya Patih Suka Negara bertempat tinggal di Kuto Limau Sering,(3) istrinya Patih Muda bertempat tinggal di Kuto Renah. Seorang laki-laki bernama Canti Bami'in Samat menikah di Kumun dan memiliki seorang anak, setelah istrinya di Kumun meninggal, Canti Bamiin pulang ke dusun asalnya (Koto bento-Koto Lolo) dan mendapat gelar sebagai Singaraja. Singaraja kemudian memiliki empat orang anak lagi yaitu Jara Bungsu, Patih, Ninek Hitam dan Ninek Bungsu. Patih memiliki dua orang anak yang bernama Sidayang Bunga Padi dan Ninik Angkak. Tetapi isi naskah TK. 30 ini agak berlainan dengan naskah TK 34 yang juga menceritakan tentang silsilah Singaraja sebagai nenek moyang orang Koto Lolo.
Naskah TK 34 ditulis menggunakan aksara surat incung pada tanduk kerbau. Teksnya terdiri dari 19 baris dan disimpan sebagai pusaka Singaraja Pait Dusun Tengah Koto Lolo. Berikut bunyi teks naskah menurut Voorhoeve:
"(1) hini surat tutur hinik singaraja (2) mada hanak hurang hanat tatkala masa hitu (3) sapa galarna hiya juga ninik dayang dawa di (4) ngan ninik ha (ci?) ‘uk tiga dingan (5) ninik hitang hampat dingan ninik (6) tandak jura lima dingan ninik (7) pajinak hanak dingan ninik patih (8) mudata janji ninik nasanitjar hasan singara (9) ja dilir halah sambuwang hanak hanya hurang ha 10) nam hitu halah pasak singaraja ninik (11) dayang mangada hanak singaraja gada ninik (12) hangku mangada hanak datuh saka raja ntandan ju (13) hara mangada hanik cucung raja mungga nanang nanang (14) ninik hitang mangada hanik cucung singa (15) raja diyam di kutabakarak hada (16) mada hanak cucung singaraja diyat (17) kuta karak sudah tamat (18) surat tutur singaraja datung (19) saka raja"
Berbeda dengan naskah TK 30, TK 34 menyebutkan bahwa Singaraja memiliki enam orang anak yaitu: (1) Ninek Dayang; (2) Ninek ha(ci)'uk (teksnya salah, kemungkinan maksudnya Ninek Angku) ; (3) Ninik Itam; (4) Tandak Jura/Tandang Juara; (5) Pajinak; (6) Patih Muda. Ninek Dayang kemudian memiliki anak yang bergelar Singaraja Gedang, Ninek Angku memiliki anak bergelar Datuk Suka Raja, Tandang Juara memiliki anak cucu bergelar Raja Mungga, Ninek Itam memiliki anak cucu bergelar Singaraja yang bertempat tinggal di Kuto Bakarak (Kuto Karak). Naskah lain yang menceritakan tentang keturunan Singaraja adalah TK. 50 bertulis Arab-Melayu (pada kertas) yang disimpan sebagai pusaka Depati Setio Nyato dusun Kuto Keras yang menyebutkan bahwa:
"..........Singaraja mengadakan anak berempat bedua
betina, bedua jantan, Juho Bungsu Putih, Mengiba, Nenek Angkok, Nenek Dayang Putih Alim Dungek. Nenek Angkat (Angkok) mengadakan anak orang lima,
Singaraja tua, Singaraja Gedang, Muda Hijo, iya musuh tiba, Dari Idat,
itulah bini panglima, mengadakan orang lima. Siapa galarnya? iya juga
Singahama, Datuk Suka Raja, Belang Putih, Siadah, Setawa, enam dengan Sutan
Dibila, itulah anak Panglima. Dara Nohan mengadakan anak seorang. Siapa
gelarnya? iya juga Perang mengadakan anak betiga. Siapa
galarnya? iya juga Teras Bintang, Tamilang Manis, Pangku Muda itulah.
Dari Cayonu mengadakan anak orang lima. Siapa gelarnya? Lilo dirajo, Datuk Sari Nyato. Pemangku Tanang Juro, Dari Imbang Idak, Singa Lunak. Lilo Derajo mengadakan anak bertiga, berdua jantan seorang betina. Siapa
galarnya? iya juga Mamegah, Induk Iman, Sutan Simagak berempat dengan
anak bini mudanya. Siapa gelarnya iya juga Capamuk Dusut. Itulah tutur
nenek Singarajo pada bulah Zulhijjah pada hari tarawih hari ‘Arafah
sudah menyurat......"
Jikalau kita runut kembali isi naskah-naskah di atas, dapatlah disimpulkan bahwa nenek moyang orang Koto Bento dan Koto Lolo berasal dari sebuah permukiman tua di atas bukit yang dinamakan Kuto Bingin (Kuto Baringin). Mereka menarik silsilah dari Bujang Pandiang dan secara khusus melalui terah Singaraja, anak keturunan Bujang Pandiang berkembang di Koto Lolo. lalu siapakah Andir Pangkat dan Sangindo Panjang yang juga disebut sebagai orangtua dari Bujang Pandiang ini? asal usul mereka dijelaskan dari naskah tembo yang berasal dari dusun adat lain, naskah-naskah ini tentunya saling terkait sehingga dapat menjelaskan bagaimana hubungan geneologis masyarakat Koto Lolo-Koto Bento dengan masyarakat adat lain di sekitarnya, perihal ini akan dibahas di lain kesempatan.
Lebih lanjut Alimin Depati memaparkan bahwa sistem duduk adat yang berlaku di wilayah adat Koto Lolo disebut dengan Depati Duo Nenek, Duo Luhah Limo Badan Perahu.
Lebih lanjut Alimin Depati memaparkan bahwa sistem duduk adat yang berlaku di wilayah adat Koto Lolo disebut dengan Depati Duo Nenek, Duo Luhah Limo Badan Perahu.
Depati Duo Nenek yang dimaksud adalah:
- Depati Mudo yang turun dari Koto Pandan dan
- Depati Sungailago yang turun dari Koto Bingin
Sementara itu, yang dimaksud Duo Luhah terdiri dari
- Luhah Bujang Pandiyang 4 di Bawah dan Rio Tamahak
- Luhah Singarajo dan Rio Manganum
Adapun yang dimaksud Limo Badan Perahu yaitu:
- Bujang Pandiyang 4 di Atas
- Rio Gilang
- Rio Suko Dano;
- Tamai
- Datuk Najo
Sumber:
1. Salinan Tambo Kerinci oleh Petrus Voorhoeve, dipublis oleh Uli Kozok melalui http://ipll.manoa.hawaii.edu/tambo/b.html, diakses 23 Januari 2018
2. Alimin Depati, melalui postingan di https://www.facebook.com/alimin.dpt
Komentar