Aksara Surat Incung, Riwayat dan Problematikanya
Gambar 1. Naskah Surat Incung dari Hiang Tinggi, Sumber: EAP117/Britishlibrary |
Kontak Dagang dan Awal Mula Mengenal Tulisan
Surat Incung: Riwayat dan Problemnya
Sebuah Saran dan Harapan
Referensi :
Link
lihat: Kerinci
Lihat Tambo Kerinci
Note: Dimuat di Kompasiana 27 April 2017 dengan URL: https://www.kompasiana.com/hafifulhadi/aksara-surat-incung-riwayat-dan-problematikanya_590072eb509773ad01e70eb5
Menjadi
hal yang patut dibanggakan bahwa bangsa Indonesia memiliki ragam
kebudayaan termasuk dalam hal tulis menulis. Ada berbagai aksara
tradisional yang berkembang dan digunakan oleh suku-suku asli yang
berdiam di pulau-pulau nusantara sebut saja surat Batak yang digunakan
oleh suku bangsa Batak di Sumatera, aksara Sunda, Aksara Jawa, aksara
Bali, dan aksara Lontara yang digunakan oleh suku Bugis.
Lahirnya
sebuah aksara tidak lain karena kebutuhan manusia untuk berkomunikasi
secara tidak langsung, aksara merupakan simbol-simbol bunyi sebagai
ciptaan manusia sebagai media untuk menyampaikan pesan kepada orang
lain. Agar simbol-simbol bunyi itu dapat dimengerti diperlukan adanya
kesepakatan suatu kelompok manusia dalam menggunakan simbol-simbol
(aksara) itu.
Sepanjang riwayatnya, leluhur bangsa Indonesia
sejak zaman prasejarah telah melakukan komunikasi secara tidak langsung
melalui lukisan-lukisan pada gambar cadas seperti yang ditemukan di
situs perbukitan karst Maros-Pangkep Sulawesi, situs perbukitan Karst
Sangkulirang-Mangkalihat Kalimantan, Gambar Cadas Gua Harimau, Sumatera
dan berbagai tempat lainnya di Kepulauan Timur Indonesia.
Lukisan-lukisan
ini menjadi objek kajian menarik bagi para arkeolog masa kini untuk
ditafsirkan maknanya, dicari informasi rahasia yang ada di dalamnya,
walaupun terpaut waktu yang sangat jauh dengan si pelukisnya.
Perkenalan
dengan tulisan bagi leluhur bangsa Indonesia tidak lepas dari pengaruh
bangsa India. Sejak dikuasainya teknologi pelayaran, kontak dengan
bangsa India yang ada di Asia Selatan semakin intens sehingga terbentuk
sebuah jaringan perdagangan (Bellwood, 2000). Bukti-bukti arkeologis
berupa manik-manik dan gerabah bergaya India yang ditemukan di situs
Sembiran dan Pacungan Pantai Utara Bali, serta temuan-temuan di pesisir
Timur sumatera menunjukkan adanya sebuah jaringan perdagangan
antar-bangsa yang di mulai sejak awal milenium Masehi (lihat Calo,
2016).
Aksara Pallawa yang berkembang di India Selatan kemudian
diperkenalkan oleh Bangsa India kepada leluhur bangsa Indonesia, tentu
hal ini bertujuan untuk kelancaran komunikasi dalam perdagangan yang
melibatkan antar bangsa.
Pada akhirnya pengaruh India makin kuat
bahkan sistem pemerintahan dan agama yang ada di India digunakan oleh
penguasa lokal Nusantara, dari sinilah mulai muncul kerajaan bercorak
Hindu-Budha di Indonesia. Aksara-aksara Pallawa ini digunakan untuk
menulis prasasti-prasasti oleh kerajaan-kerajaan Hindu-Budha terawal di
Indonesia seperti yang terdapat pada prasasti Yupa Kalimantan,
Prasasti-prasasti peninggalan kerajaan Tarumanegara, Jawa Barat, dan
Prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya di Sumatera.
Pada
masa berikutnya, aksara pallawa berserta sistem penulisannya yang murni
India berkembang dengan gaya lokal Nusantara. Dari aksara Induk yaitu
aksara Pallawa muncullah aksara Jawa Kuno (Kawi), Aksara Sumatra Kuno
(Seperti yang ada pada Naskah Undang-Undang Tanjung Tanah Kerinci,
Prasasti Minye Tujoh Aceh, dan Prasasti peninggalan Adityawarman di
Sumatera Barat) dan aksara Bali Kuno. aksara-aksara ini merupakan aksara
serumpun yang oleh Kozok (2006) disebut sebagai aksara pasca-Pallawa.
Sayangnya, aksara-aksara pasca-pallawa ini hampir lenyap di Sumatera
setelah kedatangan aksara Arab-melayu (Jawi), namun di Jawa dan Bali
aksara-akasara ini terus berkembang dan mengalami beberapa perubahan.
Surat Incung: Riwayat dan Problemnya
Di
Sumatera, selain dijumpai adanya turunan aksara Pallawa juga dijumpai
aksara-aksara unik dan khas yang digunakan oleh suku-suku tertentu di
sana seperti aksara surat Batak yang digunakan oleh Suku Batak di
Sumatera bagian Utara, Surat Ulu yang digunakan di Pasemah dan Rejang di
Sumatera Selatan-Bengkulu, Aksara Lampung yang digunakan di wilayah
Lampung, dan surat Incung yang digunakan oleh suku Kerinci di Jambi.
Sampai
saat ini belum diketahui secara pasti sejarah permulaan penggunaan
aksara ini oleh suku-suku di Sumatera, apakah aksara tersebut merupakan
turunan Pallawa atau murni ciptaan komunitas tersebut? keterbatasan data
untuk merunut periodenya disebabkan sebagian besar aksara-aksara ini
ditulis pada media yang mudah lapuk termakan waktu seperti pada bambu,
tanduk kerbau dan Tulang Binatang.
Begitu pula dengan Surat Incung
yang digunakan oleh Suku Kerinci di wilayah Jambi. Keberadaan naskah
surat Incung yang disimpan sebagai pusaka oleh penduduk setempat pertama
kali dilaporkan oleh Marsden di Tahun 1834 (Voorhoeve, 1970). Marsden
saat ini menulis mengenai alpabet surat Incung meskipun tidak jelas
surat Incung mana yang dijadikannya sebagai rujukan. Pada tahun 1904
saat Kerinci menjadi wilayah jajahan Kolonial di Sumatera, Controuller
Kerinci saat itu yang bernama H.K Manupassa mengirim beberapa naskah
Kuna Kerinci ke Batavia termasuk di antaranya naskah beraksara Surat
Incung.
Penelitian tentang surat Incung berlanjut pada tahun 1916
saat Edward Jacobson berkunjung ke Kerinci. Karena ketidakmampuannya
membaca surat Incung, Jacobson menyalin surat Incung dari dari dua
naskah tanduk kerbau kemudian hasil salinan tersebut dikirim kepada L.C.
Westenenk pejabat Belanda di Bengkulu.
Oleh Westenenk salinan
tersebut ditelitinya, dan pada tahun 1922 dia menerbitkan makalah yang
berjudul "Rentjong Shcrift" dalam bahasa Belanda. Makalah yang dibuat
oleh Westenenk memuat transliterasi, terjemahan, dan alpabet surat
Incung yang belakangan diketahui bersumber dari dua naskah tanduk milik
Datuk Singarapi Putih, Dusun Sungai Penuh.
Pada tahun 1941 atas
bantuan Controuller Kerinci-Indrapura saat itu H. Veldkamp, Petrus
Voorhoeve seorang pegawai kebahasaaan Belanda melakukan penelitian
terhadap naskah-naskah kuna yang ada di Kerinci. Voorhoeve berhasil
melakukan transliterasi terhadap naskah-naskah kuno tersebut di mana 90
naskah diantaranya beraksara surat Incung. Hasil penelitian tersebut
dimuat dalam makalahnya yang berjudul "Tambo Kerintji".
Naskah
hasil penelitian Voorhoeve ini sempat tidak diketahui keberadaannya
pasca-pendudukan Jepang hingga ditemukan kembali oleh C.W Watson di
tahun 1970 an. Kemudian pada tahun 2006, oleh Uli Kozok naskah makalah
Voorhoeve ini diperbaiki ejaannya dan dipublikasikan secara on-line
(lihat situs ini).
Surat
Incung adalah sebuah aksara yang hampir saja punah keberadaannya. Hal
ini karena kemunculan aksara Arab Melayu sebagai aksara resmi yang
digunakan oleh kesultanan Islam dan aksara latin yang dibawa oleh bangsa
Barat yang menggeser penggunaan aksara surat Incung oleh komunitas
pemiliknya.
Bahkan Generasi suku Kerinci di awal abad ke 20 M
tidak ada lagi yang bisa baca tulis surat Incung, hal ini dibuktikan
oleh Jacobson di mana ia terpaksa menyalin naskah surat Incung dan
mengirim salinanya kepada Westenenk karena tidak ada lagi orang Kerinci
yang mampu membacanya. kemungkinan Westenenk mempelajari aksara surat
Incung dari tulisan-tulisan Marsden sebelumnya. Marsden sendiri
diketahui pernah menduduki jabatan pemerintahan pada masa kolonial di
Bengkulu.
Namun, biang kemusnahan aksara surat Incung berhasil
disingkirkan oleh para budayawan Kerinci. Berbekal dari makalah
"Rentjong Shcrift' yang dibuat oleh Westenenk mereka mempelajari kembali
aksara leluhurnya. Hingga pada tahun 1992 Amirudin Gusti dkk
menyelenggarakan sebuah seminar tentang aksara Incung. Hasil seminar
tersebut menghasilkan sebuah makalah yang berjudul "Aksara Incung Jambi"
berisi tentang alpabet aksara Incung versi Westenenk dan tata cara
penulisan surat Incung. Selain itu, dalam makalah ini juga disebutkan
kekurangan aksara Incung karena tidak adanya tanda yang digunakan untuk
merubah vokal 'a' menjadi vokal 'e' dan 'o'.
Pada tahun yang sama,
Amir Hakim Usman juga membuat tulisan yang berjudul "Nasionalisasi
Aksara Kerinci" isinya kurang lebih sama dengan makalah Amirudin Gusti
dkk, namun Amir Hakim Usman melakukan 'penambahan' beberapa tanda
seperti tanda baca untuk vokal 'o' dan 'e' serta beberapa karakter huruf
khusus untuk penyesuaian dengan abjad latin dan melayu. Kemudian pada
tahun 2014 dengan merujuk pada dua makalah ini, aksara Surat Incung
Kerinci ditetapkan oleh pemerintah sebagai warisan budaya takbenda yang
berasal dari provinsi Jambi. Bahkan pada tahun 2016, Anshuman Pandey
mengajukan proposal pendahuluan aksara surat Incung pada konsorsium
Unicode International (lihat).
Penulis
sangat mengapresiasi tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam
upaya melestarikan keberadaan aksara surat Incung. Namun di sisi lain,
pemerintah terkesan mengabaikan kajian akademis terhadap naskah-naskah
asli surat Incung. Apakah yang 'Surat Incung' yang disebut dan
dilestarikan saat ini adalah benar-benar berdasar dan sesuai dengan
kaedah-kaedah pada naskah-naskah aslinya? ataukah hanya melestarikan
satu varian 'Surat Incung' saja di mana varian yang lain diabaikan?
ataukah melestarikan surat Incung versi terbaru dengan penambahan yang
ada?
Padahal setelah melakukan perbandingan antara naskah asli
surat Incung pada media tanduk, kertas, bambu, dan daluang ternyata
ditemukan adanya perbedaan karakter huruf dan karakter tanda baca yang
digunakan pada naskah-naskah itu. Namun, apa yang dilestarikan saat ini
dan dianggap sebagai surat Incung justru berasal dari tulisan-tulisan
yang dibuat kemudian dengan merujuk pada makalah Rentjong Schrift karya
Westenenk. Inilah yang menimbulkan pertanyaan mengenai Surat Incung
mana yang kita lestarikan saat ini? apalagi surat Incung sudah terlanjur
diajarkan pada sekolah-sekolah dasar di Sungai Penuh dan aksara Incung
digunakan pula pada reklame nama jalan dan Instansi pemerintahan yang
menunjukkan identitas kebudayaan orang Kerinci.
Sebuah Saran dan Harapan
Dengan
merunut riwayat penelitian surat Incung yang telah dilakukan, terlihat
jelas bahwa abjad surat Incung yang digunakan hingga kini hanya
bersumber dari dua naskah tanduk saja. di mana hal tersebut belum
mewakili keseluruhan karakter surat Incung yang ada. Oleh sebab itu
melalui tulisan ini, penulis berharap para ilmuwan, cendekia dan
pemerintah berwenang menaruh perhatian sedikit untuk mengatasi problem
ini.
Sebagai sebuah saran, agar dilakukannya kajian-kajian
terhadap surat Incung dalam perspektif ilmu Filologi, Paleografi dan
Arkeologi. Selain itu, pelestarian dan penetapan sebagai warisan budaya
tidak hanya dilakukan pada aksaranya saja tetapi juga pada naskah-naskah
asli yang disimpan sebagai pusaka oleh penduduk Kerinci.
Referensi :
Bellwood, Peter, 2000. “Prasejarah Kepulauan Indo Malaysia Edisi Revisi”, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama
Gusti, Amiruddin dkk, 1992. Aksara Incung Jambi: Membaca dan Menulis". makalah cetakan mandiri, Kerinci
Kozok, Uli, 2006, Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang tertua, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Usman, Amir Hakim, 1992. Nasionalisasi Aksara Kerinci. Makalah cetakan mandiri, Jambi
Westenenk,
L.C. 1922. “Rèntjong-schrift”. Tijdschrift voor Taal-, Land- en
Volkenkunde, vol. 61. Batavia: Albrecht en Co./’s-Gravenhage: M.
Nijhoff.
Voorhoeve, P. 1970. “Kerintji documents”. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 126, n. 4, pp. 369-399. Leiden.
Link
lihat: Kerinci
Lihat Tambo Kerinci
Note: Dimuat di Kompasiana 27 April 2017 dengan URL: https://www.kompasiana.com/hafifulhadi/aksara-surat-incung-riwayat-dan-problematikanya_590072eb509773ad01e70eb5
Komentar