Masyarakat Adat dalam Bingkai Keberagaman Bangsa dan Upaya Pengakuan atas Hak Mereka: Sebuah Harapan bila Menjadi Seorang Pemimpin

 

Potret Orang Rimba (Suku Anak Dalam) dengan hasil hutan yang menghidupi mereka
(sumber: tropis.co)

Sebuah Prakata

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang terbentuk dari beragam etnis. Etnis-etnis ini mendiami rangkaian kepulauan nan subur bak zamrud khatulistiwa, yang membentang dari ujung pulau Sumatra hingga ujung Papua. Kesadaran akan keberagaman inilah yang kemudian menjadi landasan bagi para pendiri bangsa  untuk mengambil frasa “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai semboyan bagi negara Indonesia.  Semboyan tersebut dikutip dari sebuah kitab kuno bernama Sutasoma karangan Mpu Prapanca dari abad ke-14 M. Frasa ini mengandung arti yang sangat dalam ”berbeda-beda namun tetap satu” . Sebuah frasa yang melambangkan kesatuan dalam bingkai keberagaman bangsa Indonesia.

Di tengah laju perubahan zaman,  banyak di antara etnis ini yang masih hidup dengan budaya dan ciri tradisional mereka. Mereka hidup di tanah ulayat yang diwarisi dari leluhur secara turun temurun. Mereka bertahan dengan segala hukum adat, pranata sosial, ekonomi dan budaya yang masih lestari. Mereka inilah yang kemudian disebut sebagai masyarakat adat atau masyarakat hukum adat. Menurut data dari laman aman.or.id, saat ini tercatat ada sekitar 2359 komunitas adat dengan jumlah individu sekitar 17 juta jiwa yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Kehidupan masyarakat adat sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dengan tanah dan lingkungan hidup di sekitar mereka. Bagi mereka, tanah dan hutan adalah sumber segala kehidupan.  Tanah sebagai lahan mereka bertani dan berladang. Hutan menyediakan berbagai sumber makanan, bahan kerajinan, bahan pengobatan dan komoditas bernilai jual. Dua sumber daya ini menjadi tumpuan mereka untuk tetap hidup dan bertahan di tengah arus globalisasi. Meski jauh dari kata mewah, kehidupan seperti ini sudah cukup dan layak dalam perspektif mereka.

Pada hakikatnya, negara mengakui  dan menghormati eksistensi masyarakat adat. Pengakuan ini secara jelas tertuang di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Seperti pada pasal 18B ayat 2 yang berbunyi,”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat berserta hak-hak tradisionalnya sepenjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur di dalam undang-undang”.  Pasal ini kemudian diperkuat lagi dengan pasal 28I ayat 3 yang berbunyi, “identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. Namun  tak dapat dipungkiri, bahwa dalam realitanya salah satu amanat dari UUD 1945 tidak sepenuhnya dijalankan.

Sebagai sebuah refleksi, selama 75 tahun kemerdekaan Indonesia banyak sekali kasus mengenai pelanggaran terhadap hak masyarakat adat. Pelanggaran tersebut umumnya terkait dengan pengalihan pengelolaan kawasan hutan milik masyarakat adat kepada pihak perusahaan tertentu. Di dalam bukunya yang berjudul  “Konflik Agraria Masyarakat Hukum Adat atas Wilayahnya di Kawasan Hutan”, Eko Cahyono dkk. (2016) menyebutkan bahwa pada tahun 2014-2015 saja, ada sekitar 40 kasus konflik agraria antara masyarakat adat dan perusahaan terkait pengelolaan kawasan hutan. Kasus serupa terus muncul tiap tahunnya, dikutip dari Mongabay.co.id bahwa pada tahun 2017 saja terdapat 269 kasus terkait konflik agraria yang diadukan ke Komnas HAM. Selanjutnya dalam kurun 2018-April 2019 tercatat 196 kasus konflik agraria yang tersebar di 29 provinsi di Indonesia.

Tentu bagi masyarakat adat, pengalihan kawasan hutan menjadi lahan perkebunan perusahaan berdampak buruk bagi kehidupan mereka. Ruang hidup mereka semakin menyempit dan sumber penghidupan semakin berkurang. Kenyataan yang lebih buruk pernah saya saksikan sendiri. Saya melihat bagaimana Orang Rimba yang hidup di kawasan hutan Jambi, harus terlantar di jalan karena hutan tempat tinggal semakin berkurang. Amat manusiawi rasa keprihatinan terhadap masyarakat adat mulai tumbuh di dalam hati kecil saya, ketika melihat kenyataan yang demikian.

Namun di sisi lain, pembangunan dan pengalihan fungsi hutan menjadi lahan perkebunan tak dapat dihindarkan. Toh, kita masih menjadi konsumen dari berbagai produk yang bahan bakunya berasal dari lahan perkebunan tersebut. Negara-pun juga memperoleh berbagai keuntungan dari keberadaan lahan perkebunan milik perusahaan di wilayah Indonesia. Kita bahkan juga menikmati infrastruktur yang dibangun negara dari pajak-pajak perusahaan yang mengelola lahan perkebunan tersebut.

Di titik ini saya menjadi sangat dilematis. Secara tidak langsung saya turut menikmati hasil dari pengalihan fungsi hutan milik masyarakat adat. Di sisi lain pula, sebagai manusia dan sebagai saudara sebangsa, saya sangat prihatin atas hilangnya hak masyarakat adat atas hutan mereka. Saya merasa turut bertanggung jawab atas apa yang menimpa mereka. Saya terus berpikir, seandainya saya menjadi pemimpin, apa yang dapat lakukan untuk Indonesia. Apa yang dapat saya perbuat untuk melindungi hak masyarakat adat dan apa yang saya dapat lakukan agar mereka tetap hidup sesuai dengan keinginan, adat-tradisi dan budaya mereka.

Seandainya Saya Pemimpin, Inilah yang Saya Lakukan Buat Masyarakat Adat

Pada akhirnya, perenungan tersebut melahirkan beberapa ide yang tertuang dalam formula 4-PE, yakni, pengakuan, perlindungan, pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan. Saya akan menjelaskan empat poin tersebut satu persatu. Pertama, pengakuan.  Sebagai seorang pemimpin, saya harus terlebih dulu membuat aturan yang jelas. Isinya, terkait pengakuan atas eksistensi dan hak-hak masyarakat adat. Isi aturan tersebut juga menyangkut bagaimana langkah-langkah dalam upaya melindungi hak, memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan mereka. Tentu saja dalam membuat aturan ini masyarakat adat akan dilibatkan. Nah, aturan inilah yang menjadi landasan hukum berjalannya program yang dicanangkan.

Kedua, perlindungan. Tidak cukup dengan pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat, semua hak-hak mereka juga harus dilindungi terutama hak  untuk hidup di atas tanah ulayat dan mengelola segala sumber daya alam yang ada di dalamnya sesuai dengan aturan adat yang mereka punya. Seandainya ada bagian kawasan hutan ulayat yang hendak dikelola oleh perusahaan, maka pengelolaan tersebut haruslah dengan seizin masyarakat adat dan diupayakan tidak akan merugikan mereka. Pihak perusahaan juga harus membayar kompensasi atau beberapa persen keuntungan kepada masyarakat adat atas tanah atau hutan yang dikelola. Hasil pembayaran tersebut digunakan untuk memberdayakan masyarakat adat yang hidup di sana.

Ketiga, pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan. Dua poin ini sebenarnya satu paket dan saling terkait satu sama lain. Pemberdayaan dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan. Kenyataannya, masyarakat adat masih  jauh dari kata sejahtera. Apa yang mereka hasilkan hanya untuk dikonsumsi dan digunakan oleh kalangan sendiri.  Beras hanya untuk dimakan sendiri dan berbagai hasil kerajinan seperti anyaman, tenun, hanya untuk dipakai sendiri. Adapula berbagai hasil hutan yang langsung dijual. Lantas, mengapa semua hasil produksi tersebut tidak diolah dulu untuk meningkatkan nilai jualnya?

Di sinilah pemberdayaan sangat penting untuk dilakukan. Melalui pemberdayaan, paling tidak masyarakat adat terbantu untuk meningkatkan taraf ekonomi dari apa yang mereka hasilkan. Beras yang tadinya hanya untuk dimakan sendiri, dapat diolah menjadi produk makanan lain yang punya nilai jual lebih tinggi. Atau misalnya, rotan dari hasil hutan bisa diolah menjadi berbagai produk barang bermanfaat sehingga nilai jualnya jauh lebih tinggi daripada harus menjual bahan bakunya secara langsung. Dengan demikian, hutan tak hanya sekedar menghidupi tetapi juga memberikan penghidupan yang layak bagi mereka.

Generasi Muda Ujung Tombak dalam Pemberdayaan Masyarakat Adat

Dalam upaya pemberdayaan masyarakat adat, peran generasi muda amat dibutuhkan. Bahkan, dapat dikatakan sebagai ujung tombak dalam pemberdayaan. Bagaimana tidak? Para generasi muda punya kreavitas yang tinggi, semangat yang membara serta akses terhadap teknologi dan informasi yang luas. Tentu, mereka inilah yang sangat dibutuhkan di dalam upaya pemberdayaan.

Para generasi muda bisa belajar berbagai kreativitas melalui berbagai sumber seperti internet. Dari pengetahuan tersebut, mereka bisa mengajarkannya kepada masyarakat adat. Seperti tentang cara mengolah bahan-bahan alam menjadi makanan dan kerajinan yang bernilai jual tinggi. Apalagi di tengah industri kreatif yang berkembang, barang produksi masyarakat adat ini menjadi hal yang sangat menarik dan paling banyak dicari.

Melalui kecanggihan teknologi yang ada dan media sosial yang dimiliki, para generasi muda bisa menjadi “agen” dalam upaya mengiklankan dan memasarkan produk-produk yang dihasilkan oleh masyarakat adat dari berbagai daerah.  Upaya seperti ini sebenarnya sudah berjalan, di media sosial terdapat banyak hasil kerajinan etnik dari masyarakat adat yang dijual dan kebanyakan usaha penjualan tersebut dijalankan oleh generasi muda. Salut buat mereka, yang membangun industri kreatif berbasis kebudayaan semacam itu.

Potret perempuan Dayak Iban dengan berbagai kerajinan yang mereka hasilkan
(sumber:www.hrw.org)

Di sisi lain dengan memanfaatkan teknologi, para generasi muda juga bisa melakukan kampanye sosial untuk membantu masyarakat adat melindungi dan memperjuangkan hak mereka. Kreativitas para generasi membuat video maupun poster kampanye sosial, sangat berguna dalam memberikan pemahaman dan menggugah kesadaran masyarakat secara luas terkait isu hak masyarakat adat.

Sekecil-kecilnya usaha yang dapat dilakukan oleh para generasi muda adalah mencintai produk budaya sendiri. Kita harus mulai menyukai dan menggunakan barang-barang yang diproduksi oleh tangan-tangan masyarakat adat dari berbagai daerah. Bicara kualitas dan nilai estetika, tentu barang-barang etnis tak akan kalah dengan produk dari luar negeri. Menjadi konsumen dari barang produksi masyarakat adat, sudah sangat membantu masyarakar adat dalam bertahan memperjuangkan hak, cara hidup dan budaya mereka.

Sebagai penutup tulisan, masyarakat adat adalah bagian yang tak terpisahkan dari bangsa Indonesia. Sudah selayaknya para generasi muda untuk peduli atas hak mereka dan ambil bagian dalam upaya pemberdayaan. Dengan demikian, rasa nasionalisme, rasa senasib-sepenanggungan antar anak bangsa makin tumbuh dan berkembang.

Referensi:

1. Cahyono, Eko dkk. (2016). Konflik Agraria Masyarakat Hukum Adat atas Wilayahnya di Kawasan Hutan. Jakarta: Komnas HAM Republik Indonesia

2. Arumingtyas, Lusia. "Catatan Akhir Tahun: Reformasi Agraria Masih Jauh dari Harapan" dalam mongabay.co.id diterbitkan pada 31 Desember 2019

3. Aliansi Masyarakan Adat Nusantara, dalam aman.or.id diakses 16 November 2020


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Sapaan dan Istilah Kekerabatan dalam Masyarakat Kerinci

Mengenang Petrus Voorhoeve, Penemu Awal Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah dan Penyusun Tambo Kerintji

Dari manakah Asal Usul Penduduk Dusun Siulak Mukai? Menelusuri Sejarah dan Struktur Pemerintah Adat Masyarakat Siulak Mukai

Sejarah Wilayah Tigo Luhah Tanah Sekudung, Siulak di Kerinci

Asal Usul Penduduk Dusun Siulak Gedang, Ibu Negeri Wilayah Adat Tanah Sekudung

Sejarah Siulak Dari Mendapo Semurup menjadi Mendapo Siulak, Berikut Daftar Nama Kepala Mendapo

Legenda Batu Patah: Cerita Rakyat dari Danau Kerinci

Apakah Kerinci Termasuk Wilayah Minangkabau?