Ternyata Orang Kerinci Punya "Suku", Inilah Buktinya!

Tembo Incung Kerinci
(Kincai Tempo Doeloe Grup FB)


Tembo Ninek dan Tembo Tanah

Kaum millineal  sudah pasti banyak yang tidak mengenal mengenai istilah "tembo" ini. Jangankan para Millineal, generasi yang ada di atas merekapun banyak yang tidak mengenal istilah ini. 

Tembo atau Tambo bukanlah nama orang, tetapi istilah lain untuk  hikayat, babad atau cerita sejarah. Di Kerinci, dikenal dua jenis tembo yaitu tembo ninek dan tembo tanah. 

Tembo ninek adalah cerita mengenai asal usul suatu klan/kaum/suku atau kelompok masyarakat adat dalam suatu dusun. Biasanya, cerita di mulai dari perpindahan atau hijrahnya nenek moyang dari satu lokasi ke lokasi lain, kemudian mendirikan pemukiman baru, dan seterusnya beranak pinak. Terkadang disebutkan pula nama-nama keturunannya secara rinci. 

Tembo tanah, ceritanya lebih fokus tentang asal usul tanah yang dikuasai oleh suatu klan/suku/kaum atau kelompok masyarakat adat. Tembo tanah ini juga menyebutkan batas-batas tanah dengan tanah yang dikuasai oleh kelompok lain.

Dua jenis tembo ini ada yang telah ditulis oleh nenek moyang maupun disusun dalam bahasa kesusatraan agar mudah diingat. Tembo yang ditulis umumnya menggunakan dua tulisan yaitu tulisan Incung di atas tanduk maupun dengan tulisan Arab-Melayu pada kertas. 

Tembo yang disusun dalam bahasa kesusastraan tertuang dalam bentuk pepatah adat maupun mantra yang dinyanyikan dan diwariskan dari generasi ke generasi. Inilah yang disebut sebagai tradisi lisan. Tradisi lisan,  bahasanya bahasa sastra, susunannya seperti puisi, pembacaannya berirama dan ada aturan2 tertentu ketika diceritakan. Jadi, bukan sekedar perbincangan abal-abal di warung kopi

Hubungan Tembo dan Orang Kerinci

Kebanyakan orang Kerinci telah lupa bahwa mereka adalah masyarakat komunal. Artinya, mereka hidup secara berkelompok baik dalam kelompok kecil maupun kelompok yang lebih besar. Hal ini sama seperti masyarakat Batak yang punya Marga, atau masyarakat Minangkabau yang punya suku, dan seperti etnis-etnis lainnya baik yang ada di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi maupun Kepulauan Timur.

Orang Kerinci punya istilah sendiri untuk menyebut pengelompokan masyarakat ini yaitu Kelbu dan Luhah. Jadi, Kelbu ini sama seperti suku dalam istilah Minangkabau atau Marga dalam istilah Batak. Sedangkan Luhah adalah gabungan dari kalbu-kalbu yang bersekutu karena hubungan kekerabatan dan perjanjian nenek moyang di masa lalu.

Di Kerinci, ketua atau pemimpin kelbu disebut sebagai ninek mamak. Para ninek mamak ini menggunakan gelar adat sesuai dengan gelar para pemimpin kelbu pertama dalam kelompok tersebut seperti Rio, Ngebi, Datuk, Temenggung, Rajo, dan lain sebagainya. Ketika populasi kelbu semakin banyak karena perkawinan atau bersekutu dengan kelbu lain terbentuklah kelompok yang lebih besar yang disebut Luhah. Luhah ini dipimpin oleh Depati yang mengatur para ninek mamak yang ada di bawahnya.

Masyarakat komunal pada hakikatnya adalah masyarakat yang beriorientasi pada kelompok. Jadi, apapun yang dilakukan adalah demi kebaikan dan kesejahteraan kelompok. Oleh sebab itu, seseorang tidak bisa berlaku semena-mena, bersikap individual dan berlaku egois, karena ia diikat oleh aturan kelompok. 

Bila aturan kelompok dilanggar, ia akan dihukum oleh pemimpin kelompoknya. Hukuman terberatnya dibuang atau disisihkan darikelompok. 

Di sisi lain,  meski diatur oleh aturan yang yang ketat, tidak terjadi kesenjangan sosial dalam kehidupan mereka bahkan bisa dikatakan kesejahteraan para anggota kelbu lebih merata. Hal ini karena mereka punya harta milik bersama yang dapat digunakan oleh anggota kelbu yang sangat membutuhkan. 

Harta milik bersama itu bisa berupa sawah, ladang, kebun, hutan, tanah dan segala sumber daya alam yang ada di dalamnya. Bahkan Morison mengatakan tidak ada sejengkal tanahpun di Kerinci yang tidak berpunya. Semuanya telah diklaim oleh luhah dan kelbu  yang menghuni Kerinci. Cuma masing-masing jenis lahan itu ada aturan adat yang mengatur pengelolaannya. Misalnya dalam pengelolaan lahan hutan, ada jenis kayu yang tidak boleh ditebang, ada jenis tanaman yang boleh diambil dan ada yang tidak boleh, ada hasil hutan yang boleh diambil dengan syarat tertentu dan lain sebagainya.

Paling tidak para millineal Kerinci pernah dengar tentang sawah gilir?

Sawah gilir merupakan contoh harta milik bersama anggota kelbu. Dulu ketika populasi kelbu masih sedikit, pengelolaan sawah akan digilir oleh tiap anggota keluarga setiap sekali panen. Namun karena saat ini anggota kelbu sudah semakin banyak, maka tiap anggota keluarga dalam kelbu bisa menunggu giliran hingga lima tahun lamanya. 

Atau milineal pernah dengar tentang umah gedang milik kelbu? Umah gedang juga merupakan harta milik bersama. Setiap anggota kelbu terutama yang perempuan berhak menghuninya. Di masa lalu, para keluarga baru (pengantin baru) yang belum punya ekonomi mapan akan disokong oleh anggota kelbu lain selama setahun. Mereka diizinkan menghuni rumah2 milik kelbu yang tidak dihuni, peralatan rumah tangga juga ditanggung bersama bahkan keluarga baru ini diberikan sawah khusus untuk dikelola selama setahun. 

Begitulah solidaritas kelbu di masa lalu. Pepatah-petitih adat banyak yang menggambarkan rasa kesolidan, persatuan dan gotong royong orang Kerinci. Misalnya "ke mudik serengkuh dayung, ke hilir serentak satang" atau adagium "terendam samo basah, terampai samo kering, hutang mas samo dibayei, hutang kato samo dijuwab" (jikalau terendam air sama-sama basah, jikalau terjemur sama-sama kering, hutang emas sama-sama dibayar, hutang kata sama-sama dijawab). 

Menjadi anggota kelbu  tidak seperti masuk organisasi sekarang, tinggal isi formulir dan bayar administrasi. Seseorang hanya bisa menjadi anggota kelbu dikarenakan dua hal, pertama, karena keturunan dan silsilah mengikuti jalur matrilineal atau garis keturunan ibu. Jika ibu, ibu nenekmu, ibu dari ibunya nenekmu dan seterusnya ke atas adalah anggota kelbu A. Maka otomatis, kamu adalah anggota kelbu A.

Kedua karena perjanjian adat nenek moyangmu di masa lalu. Misalnya ibu dari ibunya ibu nenekmu, pernah melakukan upacara adat seperti memotong kerbau atau memotong kambing untuk menjadi anggota suatu kelbu, maka otomatis kamu juga menjadi anggota kelbu tersebut. 

Dikarenakan silsilah dan cerita sejarah nenek moyang atau tembo ninek adalah syarat utama untuk menjadi anggota kelbu, maka nilainya sangat penting dan berharga bahkan dianggap sebagai sesuatu yang sakral dan suci. Tembo yang ditulis pada tanduk kerbau atau pada kertas dianggap dokumen sakral/suci sekaligus rahasia.

Sama halnya dengan tembo tanah, yang menjelaskan lokasi dan batas-batas tanah ajun arah. Tanah ajun arah sejatinya adalah harta milik bersama suatu kelbu. Tembo tanah adalah dokumen resmi  yang mengesahkan kepemilikan suatu kelbu secara adat. Maka dari itu sifatnya juga rahasia dan sakral bagi kelbu tersebut. Jika tembo hilang otomatis akses terhadap lahan milik bersama itu akan hilang. Hal ini dipertegas dengan pepatah adat yang berbunyi, "hilang tembo hilang tanah", hilangnya tembo (baik bersifat lisan maupun tulisan) akan berakibat hilangnya tanah.  

Apa yang dilakukan oleh nenek moyang tidak jauh beda dengan kita sekarang, "kita nggak mungkin mau nunjukin dokumen privasi kita ke orang lain" 

Begitu juga nenek moyang kita di masa lalu. Mereka tidak mungkin memberikan akses yang sangat mudah kepada orang di luar kelbu  untuk membaca tembo. Takut nanti rantai silsilah dan harta milik kelbu diganggu orang.

Tapi masalah lebih rumit justru dihadapi saat ini, di kala yang merusak sistem adat ini adalah anggota kelbu atau orang Kerinci sendiri. 

Akankah Adat Kerinci  bertahan di masa Mendatang?

Sistem adat sama halnya sebuah mesin, satu saja komponen yang tidak jalan. Maka lama kelamaan komponen yang lain juga akan rusak. 

Dulu orang Kerinci adalah masyarakat komunal tetapi sekarang karena modernisasi digiring menjadi masyarakat individualis. Dulu orang Kerinci bekerja tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga sendiri tapi juga memikirkan kesejahteraan anggota kelbu lain yang membutuhkan. 

Tapi sekarang, banyak orang kerinci yang tidak mengenal kelbunya sendiri karena sibuk bekerja untuk diri/keluarga sendiri. Tidak saling kenal dengan keluarga lain padahal satu kelbu/suku. Apalagi mengenal para pemimpin kelbu  dan harta-harta milik kelbu. 

Di saat kita lengah maka orang lainlah yang akan mengambil keuntungan. Lihatlah kasus masyarakat adat Dayak. Di kala sistem adat mereka makin lama makin lemah, mereka tidak sadar ada "cukong" asing yang mengambil alih lahan adat mereka untuk perkebunan sawit. 

Para cukong adalah kaum kapitalis, mereka mengumpulkan keuntungan sebanyak mungkin untuk kantong pribadi mereka dari pengelolaan lahan milik masyarakat adat. Jelas sekali masyarakat adat yang menderita, karena menyempitnya   lahan yang dapat mereka kelola.

Jika orang Kerinci sistem adatnya makin lemah, bukan tidak mungkin akan bernasib sama dengan orang Dayak. Saya sudah melihat gejala ini terjadi di Kerinci, dan bahkan dilakukan oleh orang Kerinci sendiri. 

Ketika orang Kerinci sudah individualistis dan berpikiran kapitalis maka yang ada di otak mereka adalah mencari untung sendiri tanpa memikirkan nasib orang lain. Contohnya ketika tambang atau galian c dibuka di hulu sungai, maka yang untung adalah hanya satu orang yaitu pemilik tambang sendiri sedangkan yang dirugikan adalah banyak orang. 

Kasus di atas hanya satu contoh, masih banyak contoh-contoh lain yang tidak terlacak, seperti perambahan hutan, penebangan kayu dan penambangan emas.

Lestari atau tidaknya sistem adat Kerinci ada di tangan orang Kerinci sendiri. Tidak mungkin orang Jawa, Orang Batak atau orang Minang yang melestarikannya.

Orang Kerinci hanya tinggal memilih mau mempertahankan sistem adat yang telah disusun oleh nenek moyang di masa lalu. Atau mau menggantinya  dengan sistem "adat" orang Eropa. 

Jangan tanggung-tanggung, orang Eropa ketika telah beranjak remaja sudah hidup mandiri, berpisah dengan orangtua, berusaha menafkahi dirinya sendiri. Mereka tidak mengenal kelbu apalagi suku. Pokoknya mereka memikirkan diri sendiri. Pantang bagi mereka mengusik orangtua apalagi keluarga besar ketika dalam keadaan yang sulit. 

Tapi kebanyakan orang Kerinci serba tanggung, "ingat kelbu  keadaan sulit", "lupa kelbu  atau berlagak menjadi orang Bule ketika lapang".

Referensi:

1. Sunliensyar, H.H, 2018. Lanskap Budaya Masyarakat Kerinci di Pusat Wilayah Adat Tanah Sekudung. Tesis: UGM

2. Sunliensyar, H.H. 2019. Tanah, Kuasa dan Niaga: Dinamika Relasi antara Orang Kerinci dan Kerajaan Kerajaan Islam di Sekitarnya dari abad XVII hingga abad XIX. Jakarta: Perpusnas Press


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Legenda Batu Patah: Cerita Rakyat dari Danau Kerinci

Dari manakah Asal Usul Penduduk Dusun Siulak Mukai? Menelusuri Sejarah dan Struktur Pemerintah Adat Masyarakat Siulak Mukai

Sejarah Wilayah Tigo Luhah Tanah Sekudung, Siulak di Kerinci

Asal Usul Penduduk Dusun Siulak Gedang, Ibu Negeri Wilayah Adat Tanah Sekudung

Traditional Architecture of Kerinci Ethnic

Mengenal Cabe Suhin, Kuliner Khas Tradisional Kerinci

Sekilas Tentang Wilayah Adat Mendapo Limo Dusun (Sungai Penuh), Tanah Pegawai Rajo-Pegawai Jenang

Mengenal SINAR BUDI: Dari Generasi ke Generasi Mempopulerkan Tale Kerinci

Muhammad Awal, Bupati Kerinci Ke-5 yang Dikenang dengan Aura "Kesaktian"-nya