Dari Baselang Hingga Berinduk Semang: Melihat Konsep Perburuhan dalam Masyarakat Kerinci

Ilustrasi para pekerja lahan persawahan di Kerinci


Hari ini Pentjari Djedjak melihat berita mengenai demo besar-besaran di TV yang berakhir ricuh, di antaranya ada mahasiswa yang luka-luka. Sungguh kasihan! Demo itu tak lain dan tak bukan untuk menentang UU Cipta Kerja yang baru saja diketok palunya. 

Masalah perburuhan memang sangat sensitif di masa sekarang, hal ini karena bersangkut paut dengan masalah ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang sebagian besar berprofesi sebagai buruh. Buruh adalah orang yang bekerja untuk orang lain demi mendapat upah. 

Tentu saja, profesi buruh ini bukanlah hal baru di telinga kita. Sejak masa dahulu, manusia telah mengenal adanya perburuhan, bekerja untuk mendapatkan upah. Konsep perburuhan juga dikenal dalam kehidupan orang Kerinci, meski dengan istilah yang berbeda. 

Akan tetapi, kalau ditilik sejarahnya sangat mungkin perburuhan baru dipraktikkan secara meluas sekitar abad ke-19. Jauh sebelum itu, perburuhan tidak dipraktikkan. Asumsi ini diperkuat dengan tak satupun naskah-naskah kuno di Kerinci  (sebelum abad ke-19) yang isinya mengindikasikan adanya praktik perburuhan dan mengatur masalah perburuhan.

Baselang dalam Kehidupan Orang Kerinci

Dalam tesisnya, Sunliensyar (2018) menyebut beberapa faktor berdirinya sebuah permukiman yang disebut dusun oleh orang Kerinci. Salah satunya adalah kebutuhan akan tenaga kerja. 

Saat era revolusi pertanian padi di Kerinci, dan diperkenalkannya teknologi irigasi (bendar dan tali bendar). Maka, modifikasi lahan untuk persawahan semakin meningkat. Untuk memodifikasi lahan yang luas, tentu diperlukan tenaga kerja yang banyak pula. 

Maka dari itu, kelompok-kelompok yang awalnya hidup terpisah mulai membuat persekutuan, dan menyatukan diri. Mereka mulai membangun permukiman baru yang bisa menampung banyak populasi (dusun), dan kemudian saling berkerja sama dalam membuat lahan sawah, bahkan hingga pemanenan padi dilakukan. 

Sebagai contoh, misalnya suatu dusun dihuni oleh empat kelbu (klan) A, B, C, D, masing-masing kelbu punya lahan sawah sendiri yang luas. Kelbu A tidak akan mampu menyelesaikan pertanian padi karena kekurangan tenaga kerja, maka direkrutlah tenaga kerja dari anggota kelbu lain B, C, D. Akan tetapi, konsekuensinya tidak dibayar dengan upah. Kelbu A hanya perlu menyediakan makanan (red. Palalu kawo) untuk mereka yang bekerja, dan anggota kelbu A harus ikut pula menjadi tenaga kerja di sawah milik kelbu B, C, dan D, saat mereka mengelola lahan sawah di hari yang lain. Inilah yang disebut dengan konsep "baselang" atau disebut pula "baselang ahi".

Konsep baselang ahi tidak hanya berlaku saat pengelolaan lahan sawah, tetapi juga ketika orang Kerinci membangun rumah, membangun lumbung hingga membuka lahan perladangan baru.

Sejak Kapankah Perburuhan Dimulai di Kerinci?

Sebenarnya, orang Kerinci juga tidak mengenal istilah buruh. Mereka mengenal istilah yang disebut dengan "nyambut upah", yaitu mengambil upah dari orang lain atas pekerjaan yang dilakukan. Sedangkan orang yang memberikan upah biasa disebut sebagai "induk semang". Dan istilah induk semang ini berlaku bagi mereka yang berkerja relatif lebih lama pada seseorang. 

Tidak jelas kapan praktek "nyambut upah" ini dimulai, namun catatan tertulis yang menandakan adanya praktek perburuhan dalam masyarakat Kerinci baru muncul pada abad ke-19. Sebagaimana di dalam makalah yang ditulis oleh Madjied, mengindikasikan adanya orang Kerinci yang berniaga barang atas suruhan orang lain dan mendapatkan upah dari pekerjaan berdagangnya. 

Praktik Nyambut Upah: Dulu dan Sekarang

Pentjari Djedjak pernah mewancarai para lansia yang zaman dulunya pernah bekerja sebagai buruh pada tahun 1930-40an. Bahwa praktek perburuhan jarang sekali dilakukan dalam hal pertanian padi (menanam hingga memanen) karena semuanya masih dilakukan berdasarkan konsep "baselang ahi". 

Akan tetapi, praktek "nyambut upah" berlaku pada bidang yang lain. Seperti buruh penjemur dan penumbuk padi, rata-rata dilakukan oleh perempuan dan mereka diberi upah satu-dua cupak (sekitar 1,5-3 tekong/canting) untuk padi sebanyak satu jangki. 

Adalagi buruh niaga, yakni mereka yang menjajakan barang milik orang lain. Upah mereka dihitung dari seberapa banyak barang yang laku. Pemilik barang menetapkan harga barang kepada sipenjual, dan sipenjual mendapatkan hak sepersekian persen dari satu barang yang laku. Semakin banyak yang terjual semakin banyak pula upah yang diterima. Apabila sipeniaga/sipenjual mampu menjual barang lebih dari harga yang ditetapkan, maka hasil tersebut adalah haknya sipeniaga/sipenjual bukan sipemilik barang. 

Namun terlepas dari itu,  penetapan upah sangat tergantung dari perjanjian atau kontrak yang disepakati oleh "penyambut upah" dan "induk semang" diawal pekerjaan. 

Sekarang masalah perburuhan semakin rumit dan kompleks di tengah masyarakat Kerinci. Karena konsep "baselang" tak lagi dipakai bahkan saat mengelola persawahan/pertanian padi. Para buruh yang bekerja di sawah umumnya diupah perhari. Upah perhari disebut "gaji ahi", dan "gaji ahi" ini bisa dikurangi bila para pekerja ditanggung konsumsinya oleh pemilik sawah. 

Dalam praktik mendirikan bangunan, begitu pula adanya. Baselang dilakukan hanya pada proses "pengecoran" atau pada proses pembangunan pondasi. Selebihnya dikerjakan oleh tukang bangunan. Tukang bangunan digaji perhari dan dibayarkan setiap minggunya, selambatnya pada hari libur mereka yaitu pada "hari balai" atau hari pasaran. Ada lagi yang sistem kontrak, gaji mereka dibayarkan langsung kepada kepala tukang, dan gaji itu sampai bangunan selasai dikerjakan. 

Persetan dengan Undang-Undang yang diributkan ini. Karena UU yang setebal itu tidak akan dipahami oleh orang Kerinci yang kerjanya hanya sebagai buruh tani, buruh ladang dan buruh bangunan. Pokoknya yang menerima upah dan memberi upah sama-sama senang, cukup dengan cara tradisional ini saja.

Begitulah sedikit cerita mengenai praktek perburuhan di Kerinci. Jarang sekali orang Kerinci yang mau menjadi buruh untuk waktu yang lama, akan tetapi hanya untuk waktu yang relatif pendek. Apalagi dalam hal pertanian dan perkebunan, mereka lebih memilih bekerja di lahan sendiri meski hasilnya kurang daripada bekerja di kebun orang lain meskipun mendapat upah lebih banyak.

-----

Sedikit Tambahan Cerita:

Namun, untuk menjadi buruh pemerintah alias PNS, sebagian orang Kerinci malah berlomba-lomba. Mereka rela bekerja sebagai buruh pemerintah hingga tua bahkan ada yang sampai menjual aset kelbu alias Tanah Nenek hanya untuk itu. Alasannya, buruh pemerintah lebih terjamin hidupnya dan lebih terpandang, layaknya pegawai-pegawai zaman Belanda!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Petrus Voorhoeve, Penemu Awal Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah dan Penyusun Tambo Kerintji

Mengenal Sapaan dan Istilah Kekerabatan dalam Masyarakat Kerinci

Dari manakah Asal Usul Penduduk Dusun Siulak Mukai? Menelusuri Sejarah dan Struktur Pemerintah Adat Masyarakat Siulak Mukai

Sejarah Wilayah Tigo Luhah Tanah Sekudung, Siulak di Kerinci

Legenda Batu Patah: Cerita Rakyat dari Danau Kerinci

Keramik Cina Tertua yang Ditemukan di Indonesia Berasal dari Kerinci

Tabuh: Beduk Kuno Raksasa dari Bumi Kerinci

Menelusuri Nenek Moyang Orang Semurup berdasarkan Tembo Incung