Latar Belakang
Sebelum Sultan Thaha diangkat menjadi Raja Jambi, Sultan sebelumnya termasuk ayah Sultan Thaha sendiri yang bernama Sultan Muhammad Fachruddin atau Sultan Kramat adalah sekutu dari pemerintah Kolonial Belanda. Seperti di dalam tulisan Locher-Scholten disebutkan bahwa Sultan Fachruddin sendiri pernah berperang melawan pasukan Belanda di perbatasan Jambi dengan wilayah Palembang. Akan tetapi, ia kalah dalam pertempuran sehingga ia harus menandatangani kontrak perdamaian dan kontrak politik dengan Belanda. Kontrak-kontrak tersebut sebenarnya menjadi negara Jambi bagian dari Hindia-Belanda, Sultan Jambi tidak punya hak lagi untuk menjalin persahabatan dengan megara lain tanpa persetujuan pihak Belanda. Begitu pula saat Sultan baru dilantik, wajib dengan persetujuan Belanda.
Paman Sultan Thaha yang menjabat setelah ayahnya mangkat juga menandatangani kontrak politik dengan Belanda saat ia menjabat. Saat itu, status Thaha naik dari pangeran biasa menjadi perdana menteri atau pangeran ratu. Thaha kemudian menggantikan pamannya menjadi sultan pada tahun 1856 dengan gelar lengkap Sultan Thaha Syaifuddin.
Namun berbeda dengan ayah dan pamannya, Thaha menolak beberapa pasal di dalam kontrak Jambi-Belanda. Menurut Thaha, pasal tersebut melemahkan kekuasaan Sultan. Sultan tidak lebih dari bawahan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda di Batavia. Beberapa kali, pihak Belanda mengirim utusan untuk berunding dengan Thaha tapi ia tetap teguh dengan pendiriannya.
Baca Juga:Ketika Raja Minangkabau dan Pangeran Jambi Minta Bantuan Para Penguasa Kerinci
Nyata-nyatanya dibalik penolakan tersebut Sultan Thaha Syaifuddin memiliki taktik lain demi memperkuat status kedaulatan Jambi. Sultan Thaha Syaifuddin mencoba menjajaki hubungan dengan Kekhalifahan Turki Usmani. Salah satu, kerajaan Islam terkuat dan terbesar di dunia. Untuk itu, Sultan Thaha mengirim utusan ke Singapura disertai dengan surat untuk dikirim ke negara Turki Usmani pada 1858. Surat tersebut ternyata sampai ke Istambul dan saat ini disimpan di dalam arsip nasional Turki.
Isi Surat Sultan Thaha Syafuddin
Surat Sultan Thaha ditulis di atas kertas menggunakan tinta hitam bertulisan dan berbahasa Arab. Kualitas tulisannya cukup baik. Di bagian atas surat terdapat cap/stempel kerajaan yang tulisannya berbunyi:
"Sanah 1272, Alwatsiq billahi al-Jali cap as-Sultan Thaha
Syaifuddin bin as-Sultan Muhammad Fakhruddin al-Marhum"
Belakangan diketahui cap ini masih disimpan oleh zuriat Sultan Thaha di Jambi. Di Turki surat ini disimpan dengan nomor inventaris BOA I.HR. 73/9431(lihat gambar 1).
|
Gambar 1. Surat dan Stempel Sultan Thaha Syaifuddin dari Jambi |
Berdasarkan teksnya, diketahui bahwa surat Sultan Thaha ditulis pada 19 Dzulqaidah tahun 1274 Hijriah atau bila dikonversi diketahui bertepatan dengan hari Kamis tanggal 01 Juli 1858. Kemungkinan surat ini ditulis oleh Syarif Ali bin Alawi bin
Hasan Al-Ja’fari Alawi yang disebutkan pula sebagai pembawa surat. Surat ini ditujukan oleh Sutan Thaha kepada Kaisar Turki Usmani yang bernama Sultan Abdul Majid Khan bin Almarhum Sultan Mahmud Khan bin almarhum Sultan Abdul Hamid Khan.
Surat diawali dengan pujia-pujian kepada Allah SWT dan juga kepada Nabi Muhammad SAW. Selanjutnya puji-pujian ditujukan kepada penerima surat Kaisar Turki yang disebut sebagai sultan dua benua, dan khaqan dua lautan.
Setelah itu, barulah inti dari isi surat disampaikan. Di dalam surat petisi ini, Sultan Thaha Syaifuddin menyampaikan niatnya untuk berafiliasi dengan Turki Usmani. Sultan Thaha ingin Kesultanan Jambi menjadi bagian dari kekuasaan Turki Usmani. Ia berharap agar Sultan Turki membalas dan mengabulkan niat baiknya dengan mengirim tanda berupa surat titah, medali kerajaan, dan bendera Turki. Sebagaimana penggalan terjemahan isi surat yang berbunyi:
"[.....] Petisi ke bawah Duli yang
maha mulia dari pemohon, Thaha Saifuddin bin Muhammad Fahruddin, penguasa Pulau
‘Asyi yang bernama Jambi, penguasa wilayah yang diwarisi dari leluhurnya yang
terpandang, dan tidak ada yang menentang dan melawan kekuasaannya. Atas dasar
semangat Islam dan gairah keagamaan, Saya
ingin berafiliasi dan tunduk kepada Negara Ottoman. Saya berharap dengan
keluhuran budi anda, anda akan menghargainya dengan titah Sultan, dengan medali
kekaisaran dan dengan bendera Utsmani yang mulia[...]"
Lihat isi surat selengkapnya dalam tayangan video berikut
Ketahuan oleh Pihak Belanda
Tindakan Sultan Thaha Syaifuddin yang enggan menandatangani kontrak dengan Belanda, telah membuat Belanda jengkel terhadapnya. Namun, Belanda mengendus usaha bahwa Thaha telah mengirim utusan untuk menjajaki hubungan dengan Turki Usmani, tentu hal ini tidak bisa dimaafkan oleh mereka.
Sebagai tanggapan atas tindaka Sultan Thaha, Belanda mengirim tambahan pasukan dari Palembang dengan kapal ke Jambi. Gertakan ini tampaknya tidak menggoyahkan sikap Thaha. Juru runding pun mendatangi Thaha untuk menyampaikan ultimatum kepadanya agar menandatangani kontrak dengan Belanda sebagaimana yang telah dilakukan oleh ayah dan pamannya. Namun, Sultan Thaha tetap menolak.
Pada pertengahan Juli 1858, Belanda membakar keraton Kesultanan Jambi di Tanah Pilih (Kota Jambi sekarang). Thaha tampaknya sudah tahu apa yang akan menimpanya. Sebelum dibakar, istana sudah dikosongkan. Thaha berserta pengikutnya telah mundur ke pedalaman untuk memulai gerilya melawan Belanda. Bagi Belanda, Sultan Thaha saat itu bukan lagi Sultan Jambi melainkan pemimpin pemberontak yang berbahaya. Belanda kemudian mengangkat sultan Jambi pengganti Thaha yang dikenal sebagai Sultan Ahmad Nazaruddin atau dikenal juga dengan sebutan Sultan Bayang.
Sumber Bacaan:
1. Kadi, Ismail Hakki, dan Peacock, A.C.S. 2019. "Ottoman-Southeast Asian Relations (Vols. 2): Sources from
the Ottoman Archives." Boston: Brill
2. Locher-Scholten, Elsbeth. 2008. "Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial: Hubungan
Jambi-Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda (terj)." Jakarta:KITLV
3. Sunliensyar, Hafiful Hadi. 2019. "Tanah, Kuasa, dan Niaga: Dinamika Relasi antara Orang Kerinci dan Kerajaan-Kerajaan di Sekitarnya Abad XVI-XIX M." Jakarta: Perpusnas Press
Komentar