Perambahan Hutan dan Pembukaan Lahan di Kaki Gunung Kerinci adalah Tindakan Ilegal Menurut Hukum Adat
Kian hari vegetasi hutan yang menutupi Gunung Kerinci semakin berkurang. Laju perambahan hutan dan pembukaan lahan di sana semakin merajalela. Polisi Hutan dan pihak TNKS tampaknya juga mengalami kesulitan dalam mencegah hal tersebut. Hal ini dikarenakan berbagai permasalahan, termasuk jumlah personel yang tidak sebanding dengan luas area pengawasan dan oknum yang melakukan perambahan.
(Ilustrasi) Sumber foto: Izel dari Forum Masyarakat Kerinci |
Di sebuah kolom komentar FB, berbagai elemen masyarakat merespon dan mengomentari potret dari semakin berkurangnya hutan di kaki gunung Kerinci tersebut. Ada yang berkomentar begini, "ketika masyarakat dicegah untuk menebang hutan, mereka berdalih dengan alasan bahwa hutan tersebut adalah tanah nenek moyang kami, kalau tidak boleh menebang hutan untuk berladang bagaimana kami hidup".
Adalah betul bahwa lahan hutan di kaki Gunung Kerinci masih dalam wilayah adat para Depati di Tigo Luhah Tanah Sekudung. Dalam artian sederhana, bahwa kawasan hutan di kaki Gunung Kerinci adalah kawasan lahan nenek moyang orang Kerinci.Tapi masalahnya, apakah mereka melakukan perambahan hutan dan pembukaan lahan atas seizin pemangku adat?
Baca juga: Lembago dan Sistem Peradilan Adat di Kerinci
Masalah pembukaan lahan bahkan mengambil hasil hutan di wilayah tertentu ada aturan adat yang mengatur, tidak bisa sembarangan. Secara adat, setiap orang harus meminta izin dulu kepada para Depati yang punya ulayat (ajun arah) di sana. Kalaupun diizinkan, mereka juga harus membayar pajak atau sejumlah pembayaran kepada para Depati yang berkuasa di atas lahan yang mereka buka, istilahnya membayar "bungo kayu".
Di Siulak Tanah Sekudung, para pembuka lahan harus meminta izin dulu kepada Luhah Depati Mangkubumi karena secara adat, luhah tersebutlah yang mengatur masalah pemanfaatan lahan hutan "memegang kerat kudung gabung tanah, ka hutan babungo kayu, ka ayir babungo ayir".
Kalau prosedur adat ini dilanggar atau tidak dilakukan, maka tindakan pembukaan lahan tersebut termasuk tindakan ilegal di mata Hukum Adat. Para pelakunya termasuk orang-orang kriminal, mereka bisa didenda dan dihutangkan oleh para Depati. Bahkan di masa Kesultanan Jambi (sebelum zaman Belanda), para perambah ilegal ini bisa dijatuhkan hukuman mati ketika mereka melawan hukum. Wewenang Depati untuk membunuh para perambah ilegal ini, termaktub dalam surat piagam TK 04 dari Mendapo Limo Dusun, dan Piagam Dusun Renah Alai, yang berbunyi:
......Dan barang siapa cala-calo mengambil kayu mayunya atau rotan rambainya, atau buluh bilahnya atau barang sebagainya tiada memberi tahu orang yang mempunyai tanah, dirampas hukumnya, jikalau melawan dibunuh..."
Artinya......dan barang siapa yang sengaja, mengambil kayu-mayu, rotan-rambai, buluh-bilah dan barang lainnya dengan tidak memberi tahu pemilik tanah (Depati yang memiliki ulayat), dirampas hukumannya, jikalau melawan, dibunuh....
Komentar