Tanah Ulayat di Kerinci: Praktek Jual Beli Tanah Di Luar Orang Kerinci Seharusnya Dilarang!

Ilustrasi

Tanah dan Lahan dalam Hukum Adat di Kerinci

Sebelum kita membahas alasan mengapa tanah yang ada di Bumi Kerinci tidak boleh dijual kepada orang asing atau orang di luar suku Kerinci. Ada baiknya kita pahami dulu bagaimana kedudukan tanah di dalam hukum adat Kerinci.

Penguasaan tanah di Kerinci tidak lepas dari sejarah nenek moyang dari tiap kelbu atau luhah yang bermukim di seluruh bumi Kerinci sejak ratusan tahun yang lalu. Ketika nenek moyang tiap kelbu hijrah atau berpindah dari satu tempat ke tempat lain, mereka mulai menandai lahan yang diakui di bawah penguasaan mereka. Mereka menandai lahan-lahan tersebut dengan pohon besar, gunung, bukit pematang, sungai, tugu batu, lubuk. muara sungai, nama permukiman dan lain sebagainya. Nenek moyang tiap-tiap kelbu ini membuat perjanjian untuk tidak menganggu batas-batas tanah satu sama lain, dengan memotong kerbau dan membuat persumpahan yang berlaku hingga ke anak cucu mereka. Dengan demikian, nenek moyang kelbu di masa lalu telah berbagi dalam hal pengelolaan lahan di masa lalu.

Lahan-lahan yang telah ditandai itu dikelola dengan berbagai cara. Lahan-lahan rawa dan mudah dijangkau oleh sistem pengairan akan diolah menjadi lahan persawahan, dalam istilah Kerinci disebut sebagai memugo. Sebaliknya, lahan-lahan kering dimanfaatkan sebagai tempat bermukim seperti dusun, koto, talang. Pengubahan fungsi lahan menjadi areal permukiman ini disebut sebagai memarit memenggan. Selain sebagai tempat bermukim,lahan kering juga dimanfaatkan sebagai area kebun dan perladangan yang dialihfungsikan melalui kegiatan menembilang-membajo. Ada lagi lahan yang hanya boleh diambil hasilnya dengan batasan-batasan tertentu dan dengan aturan yang ketat seperti hutan, sungai dan lahan tambang. Semua jenis lahan inilah yang kemudian diwariskan dari generasi ke generasi hingga sekarang oleh masyarakat adat Kerinci.

Pengatur dan penguasa lahan (tanah) adalah para anggota  suatu kelbu atau luhah yang laki-laki. Mereka disebut sebagai anak jantan. Sedangkan yang mengelola lahan adalah anggota kelbu atau luhah yang perempuan beserta suami mereka yang berstatus uhang semendo. Para anggota kelbu yang perempuan ini disebut sebagai anak betino. 

Pengaturan oleh anak jantan ini dimulai dari tingkat organisasi sosial terkecil hingga terbesar. Dalam satu kepala keluarga (tumbi). Pangatur lahan disebut sebagai teganai. Mereka ini adalah saudara laki-laki dari istri dalam satu kepala keluarga. Tumbi-tumbi yang berasal dari satu nenek perempuan dari garis matrilineal disebut sebagai perut. Pada tingkat ini mereka diatur oleh teganai tingkat lateh atau teganai tuwo. Teganai tingkat lateh atau teganai tuwo adalah para saudara laki-laki dari nenek pihak istri. Seterusnya perkumpulan perut yang berasal dari satu nenek moyang perempuan menurut garis keturunan ibu disebut sebagai kelbu. Pada tingkat kelbu, mereka diatur oleh seorang nenek mamak. Nenek mamak adalah para teganai yang dilantik menjadi pejabat adat dan digelari sesuai dengan gelar adat penguasa kelbu yang pertama seperti Rio, Datuk, Ngebi, Temenggung, Tamae, Ijung, Rajo dan lain sebagainya.

Selanjutnya  kelbu-kelbu ini membentuk persekutuan atau persatuan yang disebut sebagai luhah. Persekutuan ini bisa disebabkan oleh hubungan kekerabatan (cupak asal) atau melalui sebuah perjanjian di masa lalu (cupak buatan). Pada tingkat luhah, orang Kerinci diatur oleh seorang depati. Mereka ini adalah anak jantan dalam luhah yang dipilih untuk memangku jabatan adat. Gelar adat mereka diwariskan secara turun temurun sesuai gelar adat penguasa luhah yang pertama seperti Depati Mudo, Depati Aturbumi, Depati Payung, Depati Intan, Depati Mangkubumi, Depati Kerinci, dan lain-lain.Oleh karena para anak jantan ini juga berfungsi sebagai pengatur lahan yang dikelola oleh anak batino, mereka diistilahkan secara adat sebagai IBU BAPO TANAH.

Lahan-lahan yang diatur oleh para Ibu Bapo Tanah inipun berbeda luas dan jenisnya. Tergantung di tingkat mana mereka berkuasa. Para Tengganai, mungkin hanya memiliki kuasa atas lahan yang dikelola pada tingkat tumbi dan perut seperti sawah dan ladang. Para nenek mamak dan depati memiliki kuasa atas lahan yang lebih luas dibanding tengganai, selain sawah dan ladang mereka juga berkuasa atas wilayah hutan, sungai, tambang, semak belukar, bukit, danau, rawa dan lain sebagainya. 

Masing-masing jenis lahan ini diatur secara adat pengelolaannya. Seperti dalam pengelolaan lahan persawahan. Lahan persawahan yang diwarisi secara turun temurun ini dikelola dengan sistem gilir-ganti. Misalnya Perut A mengelola sawah milik kelbu yang berlokasi di suatu tempat selama setahun panen. Maka pada tahun berikutnya, Perut A tidak berhak mengelola lagi, tetapi dikelola oleh Perut B yang masih berada di dalam kelbu yang sama. 

Lahan yang lain misalnya belukar. Belukar adalah hutan yang ditebangi untuk perladangan kemudian ditinggalkan lagi sehingga menjadi semak belukar. Pengelolaan lahan belukar terbatas hingga pohon-pohon rimba tumbuh kembali di semak belukar tersebut, istilah adatnya hinggo tegak anak lareh, terjahit unak. Bila ini terjadi, maka Perut atau Kelbu yang lain berhak mengelola lagi belukar yang berada di tempat tersebut. 

Dengan demikian, pada hakikatnya di masa lalu, semua bentuk dan jenis lahan yang berada di kawasan Kerinci sudah dimiliki atau diakui kepemilikannya oleh seluruh masyarakat adat di Kerinci. Cuma ada aturan adat yang mengatur cara pengelolaannya. Selain itu, kekuasaan mereka atas lahan juga terbatas yaitu Hak Pakai atau hak untuk mengelola tanah bagi para anak batino serta Hak mengatur tanah bagi para anak jantan. Hak untuk menerima pajak dari hasil pengelolaan tanah juga diterima oleh para Depati dan Nenek Mamak.

Mengapa Masalah Tanah diatur secara ketat dalam adat Kerinci?

Tanah dan air merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui dan diciptakan. Apalagi bagi orang Kerinci yang merupakan masyarakat agraris sejak zaman nenek moyang. Orang Kerinci adalah petani padi dan peladang. Untuk menanam padi, tidak bisa disembarang tempat. Perlu tanah yang subur dan mudah dijangkau oleh air. Misalnya pada tanah rawa, dan tanah rendah yang mudah dijangkau air. Untuk berladang, juga perlu lahan yang subur. Lahan yang tidak subur dan tanah yang keras mungkin tidak akan menghasilkan bila dikelola.

Masalahnya, tanah dengan kondisi yang ideal untuk bersawah dan berladang jumlahnya terbatas di Kerinci. Ratusan tahun yang lalu, tanah-tanah seperti ini menjadi rebutan antar kelbu dan antar luhah yang bermukim di Lembah Kerinci. Mereka menganggap semakin luas lahan subur yang dikuasai oleh suatu kelbu, semakin banyak pula aset suatu kelbu yang menjamin kemakmuran kelompok mereka. Oleh sebab itu di masa lalu,banyak sengketa memperebutkan lahan subur yang berujung pada peperangan dan akhirnya para Raja Jambi menyelesaikan sengketa itu dengan mengeluarkan SK TANAH yang dulu disebut sebagai Surat Piagam atau Celak Piagam.

Mengingat pentingnya tanah dalam menyokong perekonomian suatu kelbu, maka tanah-tanah milik kelbu atau luhah ini sejatinya dilarang keras untuk dijual kepada anggota kelbu yang lain, apalagi kepada orang asing yang notabenenya bukan orang Kerinci. Yang diperbolehkan hanyalah sando dan gadai. Di mana lahan hanya diserahkan Hak Pakai nya kepada orang lain dalam batasan waktu tertentu. Bukan memiliki secara penuh.

Praktek Jual Tanah pada Akhirnya pasti Merugikan Orang Kerinci

Namun demikian, sekuat apapun benteng adat yang dibuat oleh nenek moyang orang Kerinci tak akan mampu melawan arus kapitalisme yang dibawa oleh bangsa Barat/Eropa. Ketika Belanda masuk ke Kerinci tahun 1903, fungsi hukum adat diperlemah. Ketika para pemangku adat atau penguasa kelbu di Kerinci direkrut sebagai pejabat pemerintah Hindia Belanda. Mereka tidak menyadari bahwa hal tersebut sama saja dengan pengurangan atas kekuasaan mereka. Dulu semasa era Kesultanan Jambi, para pemangku adat punya kuasa peradilan, pengaturan lahan dan lain sebagainya. Namun ketika mereka direkrut oleh Belanda, kekuasaan mereka mulai dibatasi. Kedudukan mereka hanyalah sebagai formalitas belaka.

Akibat melemahnya fungsi kaum adat, keberadaan tanah adat tidak terkontrol lagi dan kehilangan statusnya sebagai tanah adat. Hal ini diperparah oleh pengklaiman tanah sebagai tanah milik pribadi dan praktik jual beli. Karena melemahnya fungsi kaum adat, tanah-tanah yang sejatinya hanya boleh dikelola, lama kelamaan mulai diklaim sebagai milik pribadi oleh orang yang mengelolanya sejak lama. Apalagi di masa lalu, penyerahan hak pakai tanah adat tanpa disertai surat-menyurat, hanya sekedar penyampaian lisan oleh para pemangku adat. Hal ini semakin mempermudah para pewaris yang mengelolanya berkilah bahwa tanah yang dikelolanya sebagai tanah milik pribadi.

Sejak zaman Belanda pula, banyak tanah aset kelbu yang dijual secara penuh (hak pakai dan hak pengelolaannya) kepada perorangan. Praktek ini mungkin berlaku terbatas di kalangan orang Kerinci sendiri. Sebagai contoh, tanah aset atau tanah milik kelbu dijual secara penuh oleh anak jantan teganai umah, nenek mamak, depati penghulu atas mufakat bersama kepada anak batino atau uhang semendo di dalam kelbu itu sendiri. Ketika tanah sudah dijual secara penuh kepada uhang semendo/anak batino, tentu para depati, nenek mamak dan anak-jantan teganai umah kehilangan kekuasaan mereka atas tanah tersebut. Tanah yang dijual itu tidak lagi dikelola secara berganti melainkan dikelola secara penuh oleh si pembeli turun temurun hingga anak cucu mereka.

Dorongan untuk menjual tanah aset milik kelbu dan luhah ini bukan tidak ada sebabnya. Pertambahan Populasi atau peningkatan jumlah anggota kelbu, tidak diiringi dengan penambahan tanah aset milik kelbu dan luhah  tersebut. Penduduk makin lama makin banyak tetapi luas lahan milik kelbu masih sama seperti tiga ratus tahun lalu. 

Bayangkan saja, lahan persawahan yang pada tahun 1880-an hanya dikelola oleh dua kepala keluarga secara bergantian, saat ini bisa dikelola oleh puluhan kepala keluarga. Dan masing-masing mereka harus menunggu giliran dari setahun, dua tahun, lima tahun bahkan ada yang hingga puluhan tahun. Tentu saja secara ekonomis pengelolaan ini tidak ada artinya bagi mereka, karena harus menunggu lama.

Dalam pikiran mereka, lebih baik tanah tersebut dijual dan hasil penjualan itu dibagi sesuai adat. Mungkin praktek jual-beli seperti ini menguntungkan. Akan tetapi, untung yang didapatkan itu hanya sebentar. Jikalau dihitung-hitung, kelbu tersebut justru akan dirugikan dalam jangka panjang. 

Misalnya lahan persawahan dijual seharga Seratus Juta Rupiah, dan dimiliki oleh lima perut. Hasil penjualan tersebut dibagi lima sehingga masing-masing perut mendapat Dua Puluh Juta Rupiah. Tentu jumlah yang besar untuk seketika itu. 

Namun demikian, untung yang diterima dari hasil panen jauh lebih banyak. Misalkan saja, sawah tersebut menghasilkan 20 kaleng beras sekali panen, sementara harga beras adalah 150.000 ribu rupiah. Setiap sekali panen tiap perut mendapatkan hasil sekitar 3 juta rupiah. Anggap saja mereka menunggu giliran dua tahun sekali. Maka, mereka harus menunggu sekitar 12 tahun untuk mendapatkan uang 20 juta rupiah. Lama bukan?Tetapi tetap saja untung, ketika dikelola lebih lama. Pada tahun ke-14, tiap perut sudah mendapatkan uang sebesar 23 juta rupiah. Perhitungan ini tanpa memperhitungkan harga beras yang naik tiap tahunnya. Mungkin saja jumlah yang didapatkan lebih banyak dari perhitungan ini.

Bayangkan ketika lahan persawahan dijual dan uang hasil penjualan sudah habis. Anggota kelbu sudah pasti kekurangan sumber daya pangan seperti beras. Padahal beras adalah kebutuhan utama orang Kerinci. Karena tidak ada lagi lahan untuk menanam padi, kebutuhan pangan kelbu tersebut tergantung pasokan pangan dari luar. Ketika harga pangan meningkat, mereka tidak mampu lagi membeli beras, sehingga banyak anggota kelbu yang jatuh ke dalam lubang kemiskinan. Akhirnya, mereka menunggu uluran bantuan pemerintah.

Kasus di atas hanya satu contoh saja. Pengamatan di lapangan, praktek jual beli lahan ini terus berlangsung dan makin menjadi hingga kini. Orang Kerinci tidak mempertimbangkan lagi kepada siapa tanah itu dijual. Mereka tidak ragu menjual tanah kepada orang Asing yang penting bisa membeli dengan harga paling tinggi. Tentu saja praktek ini sama saja mencekik diri sendiri. 

Untuk setahun dua tahun mungkin kita merasa kaya karena punya banyak uang simpanan. Tapi lama kelamaan uang itu akan habis, karena dibelanjakan untuk berbagai keperluan. Setelah uang itu habis, anak keturunan kita tidak punya sumber alam yang bisa dikelola. Sawah sudah habis, ladang tinggal cerita. Akhirnya mereka merantau ke luar negeri untuk bekerja. Itupun belum tentu sukses dan mendapatkan banyak uang. Sebaliknya, pemodal besar yang membeli tanah tersebut, semakin kaya. Ia mengubah lahan yang dijual tadi menjadi lahan bisnis yang menguntungkan. Bukankah itu sangat menyakitkan?

Nasib baik kalau pemodal besar itu mengelola lahan untuk keperluan bisnis yang tidak merusak alam. Bagaimana seandainya kaum kapitalis itu membeli lahan perbukitan yang ternyata punya sumber tambang di bawahnya. Bukan hanya satu pihak yang dirugikan, tetapi seluruh masyarakat Kerinci akibat pencemaran lingkungan dari aktivitas pertambangan pemodal ini.

Kalau begini ceritanya sama saja mengundang orang asing datang ke rumah sendiri. Sementara pemiliknya yang mewarisi selama tujuh generasi harus menyingkir ke luar. Tidak ubahnya seperti Bangsa Palestina yang direbut tanah, rumah dan kebunnya oleh bangsa Israel. Tetapi lebih mending Bangsa Palestina, karena peristiwa itu terjadi akibat paksaaan dan penjajahan, bukan kerena kebodohan dan kecerobohan seperti yang terjadi di Kerinci.

Kesenjangan Ekonomi makin Tajam

Kalau kita lihat potret orang Kerinci seratus tahun yang lalu sangatlah bersahaja. Kesenjangan ekonomi tidaklah  terlihat. Bagaimana kita bisa melihat kondisi ekonomi dari masyarakat Kerinci di masa lalu? dalam ilmu arkeologi, kondisi ini bisa dilihat dari budaya materi yang mereka tinggalkan salah satunya adalah rumah dan lumbung.

Potret rumah orang Kerinci masa lalu sebagai cerminan keseteraan ekonomi mereka. Sumber: Koleksi museum Nasional

Rumah orang Kerinci di masa lalu bisa dikatakan sama rata, sama besar, dan  arsitektur yang sama pula. Perbedaan kecil mungkin hanya terletak pada pilihan material yang digunakan seperti kayu dan bambu, atau pada kekayaan seni hias yang diukir pada material. Kesamaaan bentuk bangunan ini mungkin saja menunjukkan kesamaan tingkat penghasilan mereka, tidak ada yang mampu membangun rumah jauh lebih mewah dibandingkan yang lain. Di sisi lain, mereka punya lumbung padi tempat menyimpan padi untuk kebutuhan setahun ke depan. Dengan kata lain, kebutuhan pangan mereka terpenuhi bahkan melimpah ruah. Akan tetapi, ini adalah kondisi di masa lalu ketika hukum adat masih kuat, aset milik kelbu masih banyak dan praktek jual beli lahan belum terjadi. Bagaimana dengan kondisi sekarang?

Coba lihatlah bangunan rumah-rumah orang Kerinci, dalam satu larik/gang saat ini. Ada bangunan rumah yang tampak seperti gedung mewah. Laksana istana pejabat di kota-kota besar. Sementara dua rumah di sebelahnya hanyalah rumah kayu dengan kerusakan di sana-sini. Ada istana mewah diapit gubuk kayu, padahal penghuni ke tiga rumah itu ternyata masih satu kelbu. Sungguh kesenjangan ekonomi antara langit dan bumi.

Ketika ditelusuri, tahu-tahunya pemilik rumah mewah ini memang orang berpendidikan. Dia dididik sebagaimana orang barat, sehingga pemikirannya pun seperti orang Barat. Ketika ia mulai kaya di rantau orang. Mulailah ia membeli tanah-tanah milik kelbunya untuk dimiliki sendiri. Tentu saja untuk menambah pundi-pundi kekayaannya. Sementara itu, keluarga lain yang masih satu kelbu, lama kelamaan kehabisan sumber penghasilan. Uang hasil jual tanah sudah habis, mau bersawah dan berladang tanah tidak ada lagi, berbisnis awak tak pandai, jadi buruh, penghasilan tak mencukupi. Sementara, harga beras dan kebutuhan lain sudah tinggi.

Kini, orang Kerinci mungkin saja tidak pantas menyadang panggilan "kayo" lagi. Coba lihat berapa jumlah KK yang menerima PKH di Kerinci? banyak atau sedikit? jangan-jangan mau dipanggil miskin semua. 

Orang Kerinci harus Segera Berbenah

Jikalau persoalan lahan ini diabaikan, saya khawatir beberapa puluh tahun yang akan datang masyarakat Kerinci rata-rata hidup di bawah kemiskinan. Kesenjangan ekonomi akan terlihat sangat tajam. 

Berkurangnya lahan persawahan juga menjadi ancaman tersendiri. Kekurangan beras yang menjadi makanan pokok orang Kerinci dapat mengguncang sendi-sendi kehidupan. Dulu orang Kerinci menjadi penyuplai beras untuk daerah tetangga seperti Pesisir Selatan, Bungo dan Tebo. Sehingga orang Kerinci punya kekuasaan politik yang cukup dipertimbangkan di Sumatera bagian tengah. Karena daerah mereka penyedia sumber makanan pokok bagi daerah lain. 

Tapi bila orang Kerinci sudah menggantungkan hidup pada pasokan pangan dari luar. Maka itu pertanda kehidupan ekonomi sudah semakin sulit. Efeknya menggelinding pada sektor2 lain. Dan pada akhirnya orang Kerinci akan seperti kerbau yang ditindik hidungnya, mau tak mau harus menurut pada daerah lain. Kalau tidak mau menurut, kebutuhan pokok tidak akan dipasok atau dijual dengan harga tinggi yang tak terjangkau. 

Sebelum itu terjadi, maka pertimbangkan tulisan ini. Jangan jual tanah lagi, kalaupun terpaksa hanya boleh "dipersewakan" selama beberapa tahun. Buat hitam di atas putih biar tidak tertipu kaum kapitalis!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Petrus Voorhoeve, Penemu Awal Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah dan Penyusun Tambo Kerintji

Mengenal Sapaan dan Istilah Kekerabatan dalam Masyarakat Kerinci

Dari manakah Asal Usul Penduduk Dusun Siulak Mukai? Menelusuri Sejarah dan Struktur Pemerintah Adat Masyarakat Siulak Mukai

Sejarah Wilayah Tigo Luhah Tanah Sekudung, Siulak di Kerinci

Legenda Batu Patah: Cerita Rakyat dari Danau Kerinci

Keramik Cina Tertua yang Ditemukan di Indonesia Berasal dari Kerinci

Tabuh: Beduk Kuno Raksasa dari Bumi Kerinci

Menelusuri Nenek Moyang Orang Semurup berdasarkan Tembo Incung