Lembago dan Sistem Peradilan Adat di Kerinci
(Ilustrasi) |
Salah satu fungsi pemangku Adat di Kerinci adalah fungsi peradilan. Mereka memiliki kuasa untuk mengadili seseorang dalam rangka menegakkan hukum Adat. Bila anak buah-anak kemenakan suatu kelbu melanggar hukum adat seperti berkelahi, berzina, mencuri dan lain sebagainya. Maka peradilan adat dilakukan oleh pemangku adat dalam ruang lingkup kelbunya saja. Cukup diselesaikan oleh seorang tengganai, seorang Nenek Mamak, dan seorang Depati. Istilahnya hanya sampai ke tingkat Lembago Dapur.
Atau bisa saja suatu perkara sampai dibawa ke Lembago Kurung bila orang-orang yang terlibat berasal dari dua atau lebih kelbu. Yang mengadili di sini adalah Depati-Ninek Mamak dari dua pihak kelbu yang bersengketa. Namun bila peradilan tersebut tidak selesai, karena salah satu pihak tidak puas. Mereka dapat mengajukan banding ke peradilan yang lebih tinggi. Namanya peradilan, Lembago Negeri.
Di dalam ico pakai Siulak Tanah Sekudung, bila menyangkut masalah pidana, banding diajukan kepada Luhah Depati Intan. Pemangku adat yang menggunakan gelar Depati Intan yang menjadi ketua sidang dan memutuskan perkara (beliau yang memenggal putus, dan memakan habis). Tempat sidangnya di Umah Gedang Depati Intan, Lahik Kampung Dalam, Siulak Mukai.
Bila menyangkut masalah perdata, sengketa tanah dan imigran gelap (pendatang yang masuk tanpa mengisi adat), maka banding diajukan kepada Luhah Depati Mangku Bumi. Pemangku Adat yang bergelar Depati Mangku Bumi sebagai ketua sidang (beliau yang memenggal putus, memakan habis). Tempat sidangnya di Umah Hutan Umah Tanah, Umah Gedang Depati Mangku Bumi, di Lahik Tengah dusun Siulak Panjang.
Dan bila dua Depati dalam luhah ini salah menjatuhkan hukum, maka dilakukan sidang adat di Siulak Gedang, dengan Rajo Simpan Bumi sebagai ketua sidang. Karena beliaulah yang memegang cermin yang tidak kabur, lantak yang tidak goyah serta teropong yang amat terus. Bila terbukti salah, Depati ini bisa juga terkena denda sebesar "tujuh guling batang".
Nah, ini peradilan masih bisa berjalan bila yang para tersangka atau pihak bersengketa adalah penduduk atau anak buah-anak kemenakan para Depati yang tinggal di suatu kawasan wilayah adat bernama Tanah Sekudung.
Lantas, bagaimana bila sengketa yang terjadi melibatkan penduduk dua wilayah adat berbeda? Misalnya, sengketa antara Rawang dan Kemantan, Belui dan Koto Majidin, Di manakah sidang dilangsungkan dan siapakah Depati yang menjadi ketua sidang? Di sinilah dibutuhkan pihak penengah yang netral.
Bila sengketa semacam ini terjadi, dalam istilah adat disebut "bungkan bertumbuk samo bungkan, negeri bertumbuk samo negeri, mendapo bertumbuk samo mendapo"(artinya bungkal bersengketa sesama bungkal, negeri bersengketa sesama negeri, mendapo bersengketa sesama mendapo). Maka persidangan dilakukan pada tingkat Lembago Alam. Lembago ini secara khusus menangani perkara sengketa antarwilayah adat yang berbeda.
Pihak bersengketa bisa mengajukan perkara ke Hamparan Tuo Hiang Tinggi dan Luhah Depati Atur Bumi akan bertindak sebagai pelaksana peradilan. Sidang dilakukan tidak di dalam ruangan melainkan di luar ruangan yakni di atas Bukit Kajang Silepak (Hiang Tinggi), di situ Bane Batumbuk Tigo. Mengikuti konsep Medan nan Bapaneh di dalam Adat Minangkabau. Sebagaimana pepatah adat mengatakan: "naik balai-turun mendapo, kito tekin ke Tanah Riang, Lik Bukit Kajang Silepak situ Bane Batumbuk Tigo". (Naik ke atas balai persidangan-menuruni mendapo, kita menakik ke Tanah Hiang di Bukit Kajang Silepak, di situlah Bane Bertumbuk Tiga).
Mengapa sidang tersebut harus dilakukan di Hiang Tinggi? Tidak di wilayah lain di Kerinci? Hal ini karena menurut legenda orang Kerinci, tokoh Datuk Perpatih nan Sebatang pertama kali menancapkan tongkat masegar dan menguraikan hukum Undang Minangkabau di sana. Sebagian dari Undang Minangkabau ini kemudian diterima dan diadaptasi ke dalam hukum Adat di Kerinci.
Tampaknya, selain menancapkan tongkat masgar, Datuk Perpatih nan Sebatang juga menetapkan seorang wakilnya di sana yang bernama Indar Bayang. Sang wakil bertugas menjaga tongkat tersebut, dan mungkin sebagai tokoh yang mewakili Datuk Perpatih sebagai orang yang menjeaskan Undang Minangkabau kepada para Depati. Anak keturunan Indar Bayang ini berada di dalam Luhah Atur Bumi. Oleh sebab itu, sebagai penghormatan atas sejarah di masa lalu. Tanah Hiang dipilih sebagai tempat persidangan, dan Luhah Depati Atur Bumi dipercaya sebagai pihak penengah sekaligus penyelenggara di dalam persidangan.
(Catatan: kekuasaan Depati Atur Bumi, di persidangan tingkat Lembago Alam, seringkali disalahartikan bahwa sang Depati punya ulayat tanah di wilayah Selapan Helai Kain dan Siulak Tanah Sekudung. Padahal tidaklah demikian, kuasanya terbatas pada kuasa peradilan)
Akan tetapi, Depati Atur Bumi tidak bisa menjatuhkan hukum. Ia hanya bisa menaksir hukum bagi pihak yang bersengketa. Bila taksir hukum diterima kedua belah pihak maka perkara selesai. Namun, bila masih ada pihak yang tidak puas, mereka bisa mengajukan banding. Depati Atur Bumi, bertanggung jawab menginisiasi persidangan yang lebih tinggi di Tanah Sanggaran Agung.
Di dalam persidangan itu, Depati Atur Bumi tidak lagi menggunakan gelar sebagai Atur Bumi, melainkan menggunakan gelar Batu Hampar. Ia bisa menghamparkan perkara ke hadapan perwakilan Raja dan Tiga Helai Kain, atau menghamparkan keputusan Raja ke arah Selapan Helai Kain.
Masalahnya, perwakilan kerajaan hanya naik ke Alam Kerinci pada waktu tertentu. Depati di dalam Tiga Helai Kain, bisa saja bertindak sebagai pengganti perwakilan raja, tetapi mereka juga hanya bisa menaksir hukum. Keputusan sidang mereka juga tidak mutlak.
Dengan demikian, bila pihak bersengketa menerima taksir hukum dari mereka, maka persidangan dan sengketa selesai di sana. Namun, bila pihak bersengketa tidak puas. Mereka masih bisa banding dengan langsung menghadap tiga wakil Raja di Huluan Jambi.
Dalam hal melakukan sidang di hadapan wakil raja, pihak bersengketa harus mengeluarkan biaya yang jauh lebih besar. Hal inilah yang disebut di dalam pepatah adat "dukung bereh, jago sangu, berentak tajuk ngilir ke Jambi, jinjek pasemat yang duo beleh, bertemu dengan Rajo kito bertigo orang, pertamo Pangeran Sukoreta, duo Pangeran Sutojayo, tigo Pangeran Temenggung" (menggotong beras-menjaga perbekalan, berentak bertajuk menghilir ke Tanah Jambi, menjinjing pasemat yang 12, bertemu dengan raja kita bertiga orang. Pertama, Pangeran Sukarta, Dua Pangeran Sutawijaya, tiga Pangeran Temenggung).
Bila perkara sudah dihamparkan ke hadapan para pangeran tersebut. Maka, apapun keputusan yang dijatuhkan oleh mereka, harus di terima oleh kedua belah pihak. Pihak bersengketa tidak bisa mengajukan banding karena keputusan raja bersifat mutlak dan tidak bisa diganggu gugat. Di sanalah biang tebuk, genting putus, maksudnya melalui tiga pangeran itulah, semua perkara antara wilayah adat yang berbeda diselesaikan.
Sistem peradilan di Kerinci ini sangat menarik. Karena berabad-abad yang lalu mereka sudah punya lembaga dan sistem peradilan yang mirip dengan yang dipakai di negara modern sekarang. Negara Indonesia misalnya punya sistem peradilan dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi hingga Mahkamah Agung. Indonesia juga punya pengadilan khusus yang menangani persengketaan antara lembaga negara yakni Mahkamah Konstitusi.
Pertanyaannya, masihkah para pemangku adat punya kekuasaan mengadili orang-orang di wilayahnya? jikalau tidak maka keberadaan pemangku adat sekarang hanya sebatas formalitas saja. Sedangkan kekuasaan mereka tidak ada lagi.
------
Ditulis oleh
Dpt. Mangkubumi Tuo K.P. Sibo Dirajo
Komentar