Penyebab Banyaknya Tinggalan Arkeologi Kerinci yang Belum Ditetapkan sebagai Cagar Budaya

Masjid Kuno di Lempur dalam Kondisi Rusak. Foto Budaya Kerinci


Kerinci merupakan wilayah yang kaya dengan sumber daya arkeologi atau tinggalan purbakala. Banyak penelitian arkeologi  berskala nasional bahkan internasional yang pernah dilakukan di wilayah ini. Sayangnya, tinggalan arkeologi tersebut diacuhkan bahkan diabaikan oleh masyarakat pemilik dan pemerintahnya. Saya pernah menyaksikan sendiri fenomena seperti ini. 

Beberapa waktu yang lalu, saya melihat bangunan kuno penuh ukiran khas Kerinci berusia kira-kira di atas 100 tahun, dibongkar sendiri oleh pewarisnya.  Kayu-kayunya dipotong untuk dimanfaatkan kembali pada bangunan yang lain. Kalau tidak dirobohkan, dibiarkan dimakan rayap dan cuaca yang buruk hingga lapuk dan roboh dengan sendirinya. 

Kondisi yang sama juga dialami oleh megalitik dan benda-benda pusaka bernilai seperti naskah-naskaah, senjata, tekstil dan perhiasan kuno, keramik cina hingga benda perunggu era prasejarah yang dibiarkan tidak terawat. 

Biasanya, benda-benda pusaka suatu klan disimpan di atas loteng rumah tua. Sebagian dibiarkan bertahun-tahun tanpa dibersihkan. Padahal di antara tinggalan arkeologi tersebut tergolong langka, unik dan tidak bisa diperbarui lagi. Salah satu contohnya adalah Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah, naskah kuno berbahasa Melayu tertua dan satu-satunya temuan di Asia Tenggara.

Tentu saja kondisi semacam ini sangat mengkhawatirkan. Jumlah bangunan kuno tradisional Kerinci yang bertahan sekarang bisa dikatakan tinggal puluhan saja, dan terus mengalami penurunan dari hari ke hari. Belum lagi praktik penjualan benda-benda kuno secara ilegal yang tidak terdeteksi.  Lebih mirisnya, pelaku pengrusakan dan penjualan ilegal ini tak bisa disentuh oleh hukum karena sebagian besar tinggalan arkeologi belum ditetapkan sebagai cagar budaya.

Berbicara mengenai penetapan cagar budaya di Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari Undang-Undang No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Undang-undang yang ditetapkan sepuluh tahun yang lalu ini, merupakan pengganti UU lama yakni UU no. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Di dalam  pasal 1 disebutkan bahwa:

"Cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan"

Pasal ini menyebutkan bahwa cagar budaya bisa berupa benda, bangunan, struktur, situs dan kawasan yang memiliki nilai penting sejarah, pengetahuan, pendidikan, agama dan kebudayaan. Semuanya itu baru bisa disebut sebagai cagar budaya apabila telah melalui proses penetapan. 

Proses penetapan tinggalan arkeologi menjadi cagar budaya dijelaskan pada bab VI tentang Register Nasional Cagar Budaya. Di mulai dari pendaftaran, pengkajian, penetapan, pencatatan hingga pemeringkatan. 

Pendaftaran tinggalan arkeologis  bisa dilakukan oleh siapa saja.  Bahkan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyediakan website khusus (lihat https://cagarbudaya.kemdikbud.go.id/ ) yang memungkinkan setiap orang mendaftarkan benda yang dimilikinya untuk diproses lanjut hingga menjadi cagar budaya.

Akan tetapi, untuk tahap berikutnya yaitu pengkajian dan penetapan, kekuasaannya berada pada pemerintah daerah baik tingkat kabupaten maupun provinsi. Pengkajian suatu benda layak atau tidak layak menjadi cagar budaya dilakukan oleh Tim Ahli Cagar Budaya. Tim ini terdiri dari berbagai bidang keilmuan, utamanya ahli arkeologi, ahli sejarah, arsitektur, filologi dan antropologi. 

Untuk tingkat kabupaten, tim ahli cagar budaya ditetapkan berdasarkan surat keputusan bupati, tingkat kota ditetapkan oleh keputusan wali kota dan tingkat provinsi ditetapkan oleh keputusan Gubernur.Tim ahli cagar budaya ini mengkaji nilai penting dari benda yang didaftarkan. Hasil kajian dan rekomendasi dari mereka  diserahkan kepada kepada daerah (bupati/walikota). 

Selanjutnya, Kepala daerah (Bupati/Walikota) mengeluarkan keputusan penetapan cagar budaya. Bila sudah ditetapkan dan dicatat sebagai cagar budaya, cagar budaya tersebut bisa diperingkatkan sesuai dengan nilai penting yang dimilikinya. 

Apakah hanya berstatus sebagai cagar budaya tingkat kabupaten, cagar budaya tingkat provinsi atau cagar budaya tingkat nasional. Pada tahapan pemeringkatan ini, Tim Ahli Cagar Budaya provinsi dan nasional yang berwenang.

Namun sayangnya, banyak daerah yang belum menjalankan amanat dari UU Cagar Budaya ini, termasuk Kabupaten Kerinci. Mereka bahkan belum memiliki tim ahli cagar budaya. Padahal dengan tinggalan arkeologi yang banyak dan potensial, masalah cagar budaya seharusnya menjadi perhatian utama dari pemerintah daerahnya. 

Ada banyak faktor yang melatarbelakangi terjadinya hal ini. Namun menurut pandangan saya, faktor utama yang dihadapi pemda Kerinci dalam penetapan cagar budaya adalah:

Pertama, kekurangan sumber daya manusia di bidang cagar budaya. Orang-orang yang ditempatkan di bagian bidang kebudayaan tidak memahami mengenai cagar budaya bahkan tidak mengetahui adanya UU tentang cagar budaya. Bagi mereka, budaya hanya dipahami hanya sebatas tari-tarian, musik tradisional, tradisi lisan dan sebagainya. 

Padahal budaya mencangkup aspek yang luas, termasuk yang bersifat kebendaan seperti bangunan kuno-tradisional, tinggalan arkeologi, naskah-naskah kuno, benda etnik dan lain sebagainya. Oleh karenanya, mereka mengabaikan budaya yang bersifat kebendaan ini dan dianggap tidak penting dalam membangun daerah.

Kedua, masalah anggaran. Karena ketidaktahuan tentang adanya UU cagar budaya, pemda tidak menyediakan anggaran khusus atau kekurangan dana untuk mendanai semua biaya dalam proses penetapan cagar budaya termasuklah honor bagi Tim Ahli Cagar Budaya, petugas lapangan hingga kompensasi bagi pemilik cagar budaya.

Anggaran pemda Kerinci banyak terserap untuk pendanaan bidang lain yang tidak begitu penting. Sebagai contoh, pembangunan dan perbaikan infrastruktur seperti jalan, irigasi dan lain lain. Proyek semacam ini merupakan proyek sepanjang tahun dan  didalangi oleh banyak mafia licik di dalamnya. Bayangkan saja, berbagai infrastruktur sengaja dibuat dengan kualitas yang buruk sehingga cepat mengalami kerusakan.Dengan begitu anggaran perbaikan infrastruktur dapat dikeluarkan lagi pada tahun berikutnya dan begitu lagi seterusnya. Akibatnya anggaran yang ada habis hanya untuk keperluan semacam ini. 

Ketiga, masalah politik. Bagian ini  yang paling memuakkan saya, pejabat berwenang mencampuradukkan masalah pribadi dan masalah politik di dalam urusan publik. Banyak orang-orang yang memiliki kompetisi di bidang tersebut sengaja tidak dilibatkan karena perbedaan memiliki perbedaan pandangan politik. 

Kasus lain adalah sengaja mengajak orang-orang di lingkungan kerjanya meski tidak kompeten dalam bidang tersebut. Hal ini dilakukan supaya dana atau anggaran tidak diserap oleh orang atau instansi lain. Padahal di luar sana banyak orang-orang yang handal di bidang cagarbudaya dan kepurbakalaan.

Masalah di atas mungkin saja juga dialami oleh daerah lain di Indonesia. Tidak hanya terjadi di Kerinci. Begitu pula berbagai faktor lain yang belum terungkap di dalam tulisan ini. Tentu saja diperlukan penyelidikan lanjutan.

Memang di Kerinci ada beberapa tinggalan arkeologi yang berstatus sebagai agar budaya seperti situs megalitik batu patah, situs batu meriam, situs batu silindrik serta masjid-masjid kuno. Akan tetapi, situs-situs tersebut ditetapkan berdasarkan UU yang lama, sebelum tahun 2010. Sejak 2010 hingga sekarang, belum ada penetapan cagar budaya yang baru. Termasuk naskah kitab Undang-undang Tanjung Tanah belum berstatus sebagai benda cagar budaya.

Pemerintah daerah hendaknya memperhatikan masalah cagar budaya di Kerinci di masa mendatang. Penetapan cagar budaya bukan  sekedar  upaya pelestarian tinggalan arkeologis semata. Akan tetapi, jauh lebih itu yaitu untuk pengembangan dan pemanfaatan sebesar-besarnya bagi masyarakat. Ada banyak contoh, daerah yang memperoleh  pendapatan dari hasil pengelolaan dan pengembangan cagar budaya. 

Kerinci bukanlah daerah industri, daerah perkebunan dan daerah pertambangan. Wilayah ini hanya dianugerahi oleh Tuhan alam yang subur untuk pertanian, alam yang indah untuk wisata serta tinggalan arkeologi yang kaya untu dimanfaatkan dan dikelola.


Artikel ini sudah diterbitkan di Kompasiana pada 10 Mei 2020:

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Legenda Batu Patah: Cerita Rakyat dari Danau Kerinci

Dari manakah Asal Usul Penduduk Dusun Siulak Mukai? Menelusuri Sejarah dan Struktur Pemerintah Adat Masyarakat Siulak Mukai

Sejarah Wilayah Tigo Luhah Tanah Sekudung, Siulak di Kerinci

Asal Usul Penduduk Dusun Siulak Gedang, Ibu Negeri Wilayah Adat Tanah Sekudung

Traditional Architecture of Kerinci Ethnic

Mengenal Cabe Suhin, Kuliner Khas Tradisional Kerinci

Sekilas Tentang Wilayah Adat Mendapo Limo Dusun (Sungai Penuh), Tanah Pegawai Rajo-Pegawai Jenang

Mengenal SINAR BUDI: Dari Generasi ke Generasi Mempopulerkan Tale Kerinci

Muhammad Awal, Bupati Kerinci Ke-5 yang Dikenang dengan Aura "Kesaktian"-nya