Menelusuri Keberadaan Masjid Kuno di Kawasan Siulak, Kerinci

Salah satu bangunan masjid tradisional dari Kerinci, lokasi dusun tidak diketahui. Sumber Tropenmuseum

Banyak yang bertanya kepada penulis, apakah hanya Pondok Tinggi, Pulau Tengah dan desa-desa di Lempur saja yang mempunyai masjid kuno di kawasan Kerinci? Masjid kuno yang dimaksudnya adalah masjid kayu beratap tumpang, berarsitektur dan berukir khas Kerinci seperti yang masih bisa disaksikan di Pondok Tinggi dan Pulau Tengah.


Tentu saja penulis menyangkalnya, dikarenakan di masa lalu tiap-tiap dusun atau wilayah persekutuan dusun pastilah memiliki sebuah bangunan masjid. Hal ini terkait dengan aturan atau undang-undang adat yang berlaku di Kerinci. Suatu dusun atau wilayah persekutuan dusun haruslah memiliki bangunan peribadatan yang disebut masjid, atau paling tidak dalam ukuran lebih kecil yang disebut surau. 


Aturan tersebut tertuang dalam beberapa tradisi lisan masyarakat. Seperti di dalam Undang-Undang Negeri berbunyi "ado parit yang tabentang, ado lebuh ado tapian, ado balai ado masjid, ado pasak serto kancin, ado ulu ado huluan....". Undang-undang ini menyebutkan bahwa sebuah negeri harus memiliki beberapa unsur yaitu parit, lebuh (jalan raya), tepian (pemandian umum), balai (balai musyawarah adat), masjid (rumah ibadah), pasak-kancin (pagar yang melindungi kampung) serta ulu dan huluan. Dalam metafora lain disebutkan bahwa sebuah kampung memiliki unsur "tebing balingkek undang, tepian bapaga malu, padang bakandang baso, laman basepai adat, lawang berkatup paseko,  SURAU iluk tempat ibadat".

Dengan demikian, dusun-dusun adat yang telah berdiri sejak lama di Kerinci pastilah memiliki bangunan masjid kuno. Termasuk pula di wilayah adat Siulak. Namun sayangnya, masjid kuno tersebut tak lagi kelihatan bekasnya sama sekali. Yang tersisa hanyalah cerita orangtua terdahulu mengenai masjid kuno di Siulak.  

Diceritakan oleh Abidin, bahwa pada mulanya di Siulak hanya ada satu masjid yang disebut sebagai masjid gedang. Masjid itu dibangun berdasarkan arsitektur tradisional Kerinci. Cirinya beratap tumpang tiga, beratap kayu lapis (sirap), dan memiliki ukiran di beberapa tempat. Masjid gedang tersebut berlokasi di tempat berdirinya Madrasah Ibtidayah (MI) Siulak Gedang saat ini. 

Dulunya, tepat berada di sisi kanan pintu lawang/gerbang dari dusun Siulak Gedang. Tidak jauh di depan masjid, merupakan alun-alun dan pasar (balai lamo Siulak Gedang) yang dimanfaatkan tiap hari senin oleh masyarakat. Pola seperti ini mengingatkan penulis pada posisi penempatan masjid di pusat-pusat kerajaan Islam di Jawa. Masjid biasanya tidak jauh dari pasar dan alun-alun.

Peta lokasi masjid raya Siulak yang lama dan baru


Penempatan masjid raya/besar untuk wilayah adat Siulak di Siulak Gedang didasarkan pada konsensus nenek moyang di masa lalu. Dipati Rajo Simpan Bumi yang bermukim di dusun tersebut memiliki wewenang  memegang hukum syarak dan menangani masalah keagamaan. Hal ini sesuai dengan tugasnya menurut pepatah adat yang berbunyi "memegang lantak tidak guyih, cermin idak kabur, kait idak sekah". Adagium ini merupakan metafora dari hukum syarak/syariat yang bersumber dari alqur'an dan hadist sebagai hukum yang tidak berubah, tidak goyah sepanjang zaman.


Masjid ini tidak digunakan setiap waktu. Akan tetapi, hanya dimanfaatkan oleh semua penduduk dari berbagai dusun/kampung di wilayah adat Siulak untuk sembahyang Jum'at dan hari raya. Pasalnya tiap kampung bahkan tiap larik di suatu dusun memiliki bangunan peribadatan yang lebih kecil yakni surau. Surau inilah yang dimanfaatkan untuk sembahyang lima waktu dan kegiatan mengaji oleh masyarakat di tiap-tiap dusun. 

Tidak diketahui secara pasti kapan masjid kayu itu dibangun. Yang diingat oleh narasumber adalah masjid kayu sudah tua dan banyak yang rusak di tahun 1935. Sehingga masyarakat bermufakat untuk merobohkan dan menggantinya dengan bangunan baru yang lebih permanen. Narasumber sendiri baru berumur sekitar 10 tahun saat itu.Dikarenakan lahan pada tapak masjid lama yang sempit, maka masjid baru itu dipindahkan lokasinya ke arah utara, tepat di pinggir sungai Batangmerao. Narasumber masih mengingat bagaimana masyarakat bergotong royong membangun masjid tersebut, bahkan ia turut serta mengangkut pasir untuk keperluan bangunan. 

Masjid yang baru ini dibangun dalam perpaduan arsitektur Islam-Kolonial. Terdiri dari empat Kubah. Kubah paling besar berada di tengah, sementara tiga kubah kecil berada di atas mihrab dan bagian dua pintu masuk. Pintu masuk berada di dua sisi masjid sebelah selatan. 

Arsitektur masjid ini memiliki kemiripan dengan masjid raya Rawang karena sama-sama meniru arsitektur masjid Jamik yang ada di Parabek, Sumatera Barat. Imitasi bentuk bangunan ini menjadi simbol semangat keagamaan dan pembaharuan di wilayah Siulak. Kala itu, banyak di antara pemuda Siulak yang menuntut ilmu agama ke berbagai wilayah Sumatera Barat seperti ke Parabek dan Candung. Di antaranya adalah Arif Fadillah dari Siulak Panjang, Haji Abdul Muthalib dan Ibnu Taif Thasimi dari Dusun Baru Siulak, dan Abuya Mat Darakah dari Koto Beringin Siulak.


Masjid Jamik Parabek sebagai acuan arsitektur Masjid Raya Siulak Gedang yang lama.

Masjid ini dibangun secara swadaya dan dana wakaf dari seluruh masyarakat yang ada di Siulak, hingga selesai dibangun pada tahun 1938. Di tahun yang sama pula, shalat ied pertama kali dilaksanakan di masjid baru tersebut. Untuk selanjutnya, masjid ini diberi nama sebagai Masjid Raya Siulak Gedang. Penulis tidak memiliki dokumentasi bangunan masjid secara utuh. Hanya ada satu foto, yang menampakkan pintu sisi kiri masjid yang ada di sebelah selatan. 

Foto dari pintu sisi kiri Masjid Raya Siulak Gedang. Sumber. Hafiful Hadi


Bangunan masjid ini juga tidak bertahan lama. Sekitar tahun 2000-an, seluruh bangunan masjid ini dihancurkan untuk digantikan dengan bangunan masjid baru yang lebih besar. Masjid inilah dikenal luas sebagai Masjid Raya Almujahidin Siulak. Penambahan kata Almujahidin ini untuk mengingat peristiwa pertempuran para pejuang (mujahid) untuk mempertahankan kemerdekaan pada masa agresi militer Belanda ke II. Pertempuran tersebut berlangsung di sekitar masjid pada tahun 1949.

Masjid Raya Al Mujahidin Siulak Sekarang

Kini, kita sama sekali tidak menemukan bukti keberadaan masjid kuno tersebut di wilayah Siulak. Satu tiang kayupun tak lagi tersisa. Ingatan tentang masjid ini hanya tersisa dibenak para saksi yang telah uzur. Untuk wilayah Kerinci, beberapa tempat yang masih bertahan dengan masjid kunonya antara lain Pondok Tinggi, Sungai Penuh, Lempur dan Pulau Tengah. Selebihnya sudah hancur dan dirobohkan tak tersisa. 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Legenda Batu Patah: Cerita Rakyat dari Danau Kerinci

Dari manakah Asal Usul Penduduk Dusun Siulak Mukai? Menelusuri Sejarah dan Struktur Pemerintah Adat Masyarakat Siulak Mukai

Sejarah Wilayah Tigo Luhah Tanah Sekudung, Siulak di Kerinci

Asal Usul Penduduk Dusun Siulak Gedang, Ibu Negeri Wilayah Adat Tanah Sekudung

Traditional Architecture of Kerinci Ethnic

Mengenal Cabe Suhin, Kuliner Khas Tradisional Kerinci

Sekilas Tentang Wilayah Adat Mendapo Limo Dusun (Sungai Penuh), Tanah Pegawai Rajo-Pegawai Jenang

Mengenal SINAR BUDI: Dari Generasi ke Generasi Mempopulerkan Tale Kerinci

Muhammad Awal, Bupati Kerinci Ke-5 yang Dikenang dengan Aura "Kesaktian"-nya