Pantun di dalam Naskah Kuno Surat Incung
Apa itu Pantun?
Pantun merupakan karya sastra atau puisi lama dalam budaya Melayu. Pantun dicirikan ditulis dalam empat baris, tiap baris terdiri dari 8 hingga 12 suku kata, dan bersajak atau berima a-b-a-b. Misalnya pada pantun berikut:
Pantun di atas memiliki pola rima yang sama pada akhir kalimat baris satu dan tiga yakni “ng.” Demikian juga pada akhir kalimat baris dua dan empat memiliki rima yang sama yakni “i.”
Berdasarkan jumlah barisnya, pantun terbagi menjadi karmina, pantun biasa dan talibun. Pantun karmina hanya terdiri dari dua baris. Pantun biasa terdiri dari empat baris. Sementara itu, talibun merupakan pantun dengan jumlah baris lebih dari empat tetapi jumlahnya genap. Ditinjau dari isinya, pantun juga terbagi menjadi pantun adat, pantun nasehat, pantun jenaka, pantun teka-teki, dan pantun percintaan.
Pantun umumnya tertuang di dalam berbagai kesenian, ritual, dan tradisi masyarakat di Nusantara hingga sekarang. Di kalangan etnis Melayu pantun kerapkali diucapkan di dalam adat istiadat perkawinan. Begitu pula di dalam lirik-lirik lagu. Oleh karena nilai pentingnya tersebut, pantun ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda dunia oleh Unesco sebagai milik Indonesia dan Malaysia.
Sejarah Pantun
Pantun berakar dari tradisi lisan masyarakat Melayu yang tersebar di seluruh Nusantara. Menurut Haji Salleh, pantun telah menyebar seiring dengan aktivitas perdagangan orang Melayu lewat pelayaran di masa lampau. Terutama ketika era Kerajaan Sriwijaya sebagai kerajaan maritim terkuat di Nusantara. Oleh sebab itu, pantun memengaruhi berbagai kebudayaan etnis di seluruh Nusantara meski dikenal dengan nama yang berbeda. Di Jawa pantun dikenal dengan nama parikan, di Sunda dikenal dengan nama susualan, di batak dikenal dengan nama umpasa, di Toraja dikenal dengan nama londe dan lain sebagainya.
Meski berakar dari tradisi lisan, pantun kemudian ditulis ketika bangsa di Nusantara mengenal tulisan. Utamanya ketika tulisan Jawi diperkenalkan. Oleh sebab itu, potongan-potongan pantun kerap ditemui di dalam naskah kuno yang berisi hikayat-hikayat lama.
Selain itu di Sumatera, unsur pantun juga ditemukan di dalam naskah yang ditulis dengan aksara lokal. Seperti di dalam naskah beraksara Ulu di Bengkulu, Sarwit Sarwono mengungkapkan adanya kaitan antara tradisi berpantun atau rejung di dalam masyarakat dengan tradisi tulis mereka. Indikasi pantun juga ditemukan di dalam naskah Incung di Kerinci, seperti penelitian yang dilakukan oleh Sunliensyar.
Pantun di dalam Naskah Incung
Di dalam tulisannya yang berjudul Warisan Budaya Pantun dalam Manuskrip Surat Incung, Sunliensyar memaparkan bahwa dari ratusan naskah Incung yang telah dialihaksarakan, 15 di antaranya mengandung unsur pantun.
Gambar 1. Teks Pantun pada naskah Incung Pusaka Rajo Sulah, Siulak Mukai |
Pantun ditemukan di dalam naskah Incung yang berisi prosa pada bahan kertas dan bambu. Diakui oleh Sunliensyar (2022) bahwa tidak mudah menemukan unsur pantun di dalam naskah Incung karena tidak disusun dalam empat baris dan ketiadaan tanda baca. Meski begitu, umumnya penulis naskah Incung mengawali pantun dengan kalimat-kalimat seperti: “ini nyanyi aku sapatah, ini pula kata nyanyi, ini pula kata karang nyanyi, ini pantun aku sapatah, ini pantunku sadikit.” Hal ini lah yang turut memudahkan dalam mengidentifikasi pantun di dalam prosa Incung.
Baca juga: Dua Tinggalan Arkeologi ini Resmi Ditetapkan Sebagai Cagar Budaya Kabupaten Kerinci
Dilihat dari jumlah barisnya, pantun Incung merupakan pantun biasa dan pantun talibun. Pantun biasa misalnya di dalam manuskrip TK 102 pusaka Depati Kuning Nyato dari Dusun Tebat Ijuk, Mendapo Depati VII tertuang unsur pantun biasa yang berbunyi:
tiba ditambang manjadi cawan
kasih burung ba’a tarabang
duduk di sini marintang kawan
Artinya:
Tiba di tambang menjadi cawan
Kasih burung bawa terbang
Duduk di sini merintangi kawan
Selain pantun biasa, juga ditemukan pantun talibun seperti pada naskah TK 186 Pusaka Sutan Depati Susun Negeri dari Dusun Koto Baru Mendapo Semurup berbunyi:
Karubut apakan bunga
Karintang dipandam banyak
Hih awak matilah kau
Ajin idut apakan guna
Idut mangintang ninik mamak
Artinya:
Kerubut apakan bunga
Kerintang dipendam banyak
Hih, tubuh matilah engkau
Pernah hidup apakan guna
Hidup menghalangi ninik mamak
Menurut Sunliensyar, dua pantun di dalam naskah Incung kadang ditulis secara berurutan, antara dua pantun tersebut ditulis kalimat “duwa saliring kau nyanyi, atau duwa talirin kau nyanyi.” Lebih lanjut dijelaskan bahwa Ciri khas pantun di dalam naskah Incung adalah keberadan interjeksi antara sampiran dan isi. Interjeksi tersebut antara lain hih aduh hinyut haih ini nyanyi tadi" (TK 16), "tipak di hawak haku surang hini" (TK 258), "tipak panira badan" (TK 156), "hih adik sigadis anu" (TK 64), "hitu halah nyanyi" (TK 16), "his sahis undir" (TK 60), "hah saih" atau "hih saih" (TK 60, TK 93), "hih adik" (TK 60, TK 64), "hah" (TK 250), dan "hih" (TK 93, TK 94, TK 186).
Interjeksi bertujuan untuk untuk mempertegas kembali rasa kesedihan dan menunjukkan kemana rasa kesedihan tersebut dialamatkan. Apakah kepada diri sendiri, seperti “ungkapan tipak di awak aku surang ini, “ atau kepada oranglain seperti ungkapan “hih adik” atau “hih adik sigadis anu.”
Baca Juga: Naskah Incung dari Sungai Tutung Ini Berisi Kisah Nabi Adam
Sunliensyar juga menemukan adanya pantun yang mengalami kesalahan saat ditulis. Kesalahan tersebut di amtaranya ada satu baris atau larik pantun yang tertinggal saat ditulis, dan pemilihan diksi akhir kalimat yang keliru sehingga tidak muncul pola rima silang a-b-a-b.
Keberadaan unsur pantun pada teks manuskrip Incung, merupakan unsur “pemanis” dan penguat ungkapan dalam prosa ratap-tangis yang dihasilkan. Teks pantun yang dimuat, sangat terkait dengan ungkapan perasaan dan suasana hati penulis manuskrip. Bila prosa berupa kesedihan karena masalah percintaan, maka teks pantun yang ditulis juga berkenaan dengan masalah percintaan. Pun begitu pula, ketika prosa menonjolkan kesedihan karena nasib dan untung yang buruk, maka teks pantun yang ditulis juga berkaitan dengan kemalangan nasib. Akan tetapi, unsur pantun bukanlah unsur wajib di dalam prosa ratap-tangis. Hal ini dapat dibuktikan dari adanya teks ratap-tangis yang tidak memiliki unsur pantun di dalamnya.
Referensi:
Sunliensyar, Hafiful Hadi. (2022). Warisan Budaya Pantun dalam Manuskrip Surat Incung. Manuskripta, 12(2), 251-280. doi:10.33656/manuskripta.v12i2.218
Komentar