Kerinci, Bagian Tak Terpisahkan dari Sejarah Pembentukan Provinsi Jambi: Refleksi HUT Provinsi Jambi
Wilayah Residentie Djambi tahun 1914 |
“bahwa Kerinci dimasukkan ke dalam Provinsi Jambi lantaran di saat pembentukan Provinsi Jambi, populasi Jambi masih kurang, sehingga Kerinci yang saat itu bagian dari Sumatera Barat dibujuk untuk masuk ke Jambi guna terbentuknya provinsi baru tersebut.”
Narasi tersebut menggambarkan bahwa wilayah Kerinci hanya dibutuhkan karena kurangnya syarat untuk mendirikan provinsi baru, tak kurang dan tak lebih. Dengan kata lain, Kerinci bukan bagian penting dalam pendirian provinsi baru yang didirikan pada tahun 1958, hanya dibutuhkan karena menutupi kekurangan syarat saja. Narasi ini sebenarnya tidaklah benar dan sangat diragukan kevalidannya.
Di dalam bukunya, Usman Meng melampirkan hasil keputusan kongres Rakyat Jambi pada tahun 1955 disebutkan bahwa semangat pendirian provinsi Jambi bukan sekadar untuk pemekaran wilayah administratif baru. Akan tetapi, dilandasi semangat kesatuan sejarah dan kebudayaan yang tidak terpisahkan satu sama lain. Wilayah provinsi Jambi yang akan didirikan ini didasarkan pada bekas wilayah Kesultanan Jambi yang dianeksesi oleh Kolonial Belanda pada tahun 1904.
Sebagai mana sumber naskah kuno disebutkan istilah Sembilan Lurah/laras- Puncak Jambi” (kini menjadi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah) sebagai wilayah yang diklaim menjadi kekuasaan Kesultanan Jambi. Adapun yang dimaksud sembilan lurah adalah wilayah yang dilalui sembilan sungai besar yaitu Batanghari, Batangtembesi, Batangbungo, Batangtebo, Limun-Batangasai, Batangmerangin, Batangtabir, Batang Pelepat-Senamat, dan Batang Jujuhan. Sementara itu yang dimaksud puncak Jambi adalah wilayah Kerinci Rendah dan Kerinci Tinggi.
Dengan demikian, bila alasan historis berdirinya Provinsi Jambi adalah wilayah bekas Kesultanan Jambi maka Kerinci adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dan menjadi bagian penting dalam pendirian provinsi baru. Bahkan, Sati Depati Anom - Eks Kepala Mendapo Keliling Danau) pada Kongres Pemuda Jambi tahun 1954 di Bangko (sebelum Kongres tahun 1955) pernah menyatakan bahwa:
“Pucuk Jambi Sembilan Lurah tidak lengkap kalau tidak termasuk didalamnya Kerinci; dan Kincai, bukan bernama Kincai kalau Kincai tidak berada di dalam wilayah Jambi, sebab Kincai hanya da di daerah Jambi sejak Zaman Sultan.”
Kerinci menjadi bagian dari Kesultanan Jambi dibuktikan dari piagam-piagam Sultan Jambi yang diperuntukkan bagi Depati-Depati di Kerinci sejak abad ke-17 Masehi. Terlepas bagaimana bentuk hubungan politis antar kedua wilayah tersebut di masa lalu, naskah-naskah menunjukkan bahwa pemimpin komunitas di Lembah Kerinci menganggap Raja Jambi sebagai hakim tertinggi dalam penyelesaian sengketa mereka (Andaya, 2016; Sunliensyar, 2019).
Saat seluruh wilayah Kesultanan Jambi dikuasai Belanda, wilayah Kesultanan Jambi dimasukkan ke dalam Residentie Palembang termasuk Kerinci pada tahun 1904. Residentie Jambi baru berdiri pada tahun 1906, dibagi menjadi empat afdeeling yaitu Afdeeling Djambi, Afdeeling Moearo Tembesi, Afdeeling Moearo Tebo, dan Afdeeling Djambi Bovenlanden (Pedalaman Jambi). Afdeeling Djambi Bovenlanden ini terbagi menjadi empat onderafdeeling yakni Bangko, Moearo Bungo, Sarolangun, dan Kerinci. Pada tahun 1913, status Kerintji ditingkatkan menjadi afdeeling Kerintji (Aken, 1915).
Pada tahun 1921-2, Gubernur Hindia Belanda memutuskan untuk memisahkan afdeeling Kerintji dari Residentie Djambi dan memasukkannya ke dalam Residentie Sumatera’s Westkust (Residen Sumatra Barat). Saat itu, status Kerintji turun menjadi onderafdeeling di bawah Afdeeling Painan. Bagi elit Kerintji saat itu, keputusan ini sangat mengecewakan karena dipandang sebagai penurunan status administratif dan menjadikan Kerintji sebagai wilayah pinggiran dari Residen Sumatera Barat. Hal ini berlangsung bahkan sampai di era Kemerdekaan.
Pada tahun 1948, Provinsi Sumatera dibagi menjadi tiga Subprovinsi yaitu Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Subprovinsi tersebut terbagi menjadi tiga keresidenan yaitu Keresidenan Djambi, Sumatra Barat, dan Riau. Kerintji saat itu berada di bawah Keresidenan Sumatra Barat dengan status afdeeling Kerintji-Indrapura. Sebelum menjadi bagian dari Provinsi Jambi pada tahun 1958, status administratif Kerinci adalah kewedanan dari Kabupaten Pesisir Selatan Kerinci.
Uraian ini membawa kita pada kesimpulan bahwa pertama, pendirian Provinsi Jambi tahun 1958 didasarkan aspek historis dan budaya yakni pada wilayah bekas Kesultanan Jambi sehingga Kerinci adalah bagian penting yang tidak dapat dipisahkan. Kedua, Kerintji bukan “dimasukkan” atau “dipaksa” menjadi bagian dari provinsi Jambi yang baru dibentuk. Akan tetapi, atas dasar keinginan masyarakat Kerinci sendiri yang diwakili oleh elit politiknya kala itu.
Bahan Bacaan:
Andaya, Barbara Watson. 2016. Hidup bersaudara : Sumatra Tenggara pada abad XVII dan XVIII. Yogyakarta. Ombak
Anonim. 2021. Penggabungan Kerinci Ke Dalam Keresidenan Sumatra Barat Tahun 1922. Sejarahsumatera.com.
Aken, Ph. Van. 1915. Nota Betreffende de Afdeeling Koerintji. Batavia: Encyclopaedisc Bureau
Meng, Usman. 1996. Napak Tilas Provinsi Jambi. Jambi: Pemprov Jambi
Sunliensyar, H. H. 2019. Tanah, kuasa, dan niaga: dinamika relasi antara orang Kerinci dan kerajaan-kerajaan Islam di sekitarnya dari abad XVII hingga abad XIX: kajian. Jakarta: Perpustakaan Nasional.
Komentar