Apakah Kerinci Termasuk Wilayah Minangkabau?
Tulisan ini sengaja dimunculkan untuk menjawab pertanyaan dan meluruskan persepsi masyarakat mengenai keberadaan Suku Kerinci. Tulisan ini akan dimulai dari beberapa artikel yang pernah dibaca tentang Suku Kerinci. Dari artikel tersebut dapat dirangkum menjadi beberapa point.
1. Suku Kerinci adalah suku yang mendiami pulau Sumatera dan termasuk penutur Austronesia. Leluhur mereka diduga termasuk dalam gelombang awal penghijrahan yang bermukim di dataran tinggi Jambi
2. Bukti tersebut dapat dilihat dari penyebaran situs-situs arkeologi yang tersebar seluruh wilayah Kerinci. Temuan paling padat ada di sisi selatan Danau Kerinci. Pertanggalan absolut menyimpulkan kawasan itu telah dihuni manusia sekitar 3500 tahun yang lalu dengan ciri membawa budaya Austronesia.
3. Studi paleoekologi menunjukkan bahwa manusia yang menghuni Kerinci telah melakukan pertanian padi dan pengembalaan kerbau sekitar 3500 tahun yang lalu, terutama di sekitar kawasan Danau Bento, kaki Gunung Kerinci.
4. Pada abad ke-14 M, di Kerinci sudah banyak berdiri perkampungan yang dipimpin oleh Dipati. Mereka juga sudah memiliki undang-undang dan sistem pemerintahan tersendiri.
Lantas, bagaimana kaitannya Dengan Minangkabau?
Sangat disayangkan beberapa tulisan tanpa landasan ilmiah kemudian menggabungkan Suku Kerinci sebagai bagian dari suku Minangkabau, Bahasa Kerinci bagian dari rumpun bahasa Minangkabau, dan wilayah Kerinci merupakan bagian dari wilayah Minangkabau. Padahal sesungguhya sangat jauh berbeda. Padahal Orang Kerinci atau suku Kerinci adalah suku tersendiri yang ada di Nusantara ini. Ada beberapa poin penting untuk menunjukkan hal tersebut
Pertama, dari segi Bahasa, Suku Kerinci adalah salah satu penutur bahasa Austronesia dengan ratusan dialek yang berbeda dan bahkan terdapat kosa kata yang berbeda di setiap daerahnya
Kedua, Suku kerinci memiliki aksara tersendiri, yang dinamakan sebagai Surat Incung. Bukti ini dapat dilihat dalam peninggalan pusaka nenek Moyang Suku Kerinci.
Ketiga, arsitektur bangunan. Suku Kerinci memiliki arsitektur bangunan yang jauh berbeda dengan suku lainnya di Nusantara. Hal ini dapat dilihat dari peninggalan Bilik (tempat menyimpan padi), Umah Lahik ( deretan rumah panjang yang menjadi hunian beberapa kepala Keluarga), masjid dan lain sebagainya.
Keempat, sistem kepercayaan. Suku Kerinci sebelum Islam adalah penganut Animisme dan Dinamisme. Sisa kepercayaan tersebut dapat dilihat dari ritual-ritual adat yang masih berlansung.
Kelima, sistem kekerabatan. Pada umumnya Suku Kerinci menganut sistem matrilineal artinya mengambil garis keturunan dari pihak Ibu. Berdasarkan kemiripan sistem kekerabatan ini lah ada pendapat yang menyatakan suku Kerinci bagian dari Minangkabau. Tetapi pendapat ini tidaklah benar. Perlu diketahui ada 4 suku di dunia yang menganut sistem matrilineal yaitu Suku Indian, Suku Nakhi di Yunnan, Suku Khasi di India dan Suku Minangkabau. Termasuk pula beberapa suku-suku kecil di Nusantara yang tidak dimasukkan. Apakah kita mau mengatakan bahwa Suku Nakhi, Suku Khasi sebagai bagian Suku Minangkabau pula, tentu tidak! Setiap suku mempunyai karakteristik yang berbeda beda.
Dari Segi Bahasa pun ada segolongan yang menyatakan bahasa Kerinci bagian bahasa Minangkabau. Padahal sebenarnya tidak, jika dilihat dari segi dialektika, perbendaharaan kata yang digunakan bahasa Minangkabau jauh beda dengan bahasa Kerinci. Walaupun terdapat sedikit persamaan, hal itu dikarenakan kedekatan wilayah. Kata-kata tersebut diserap karena adanya interaksi dan komunikasi dengan suku-suku lain di sekitar wilayah Kerinci. Bila kita lihat suku Minangkabau di daerah Tapan memiliki dialek yang sedikit beda dengan bahasa Minangkabau umumnya. Hal ini dikerenakan daerah Tapan berada di perbatasan antara Kerinci dan Bengkulu sehingga mempengaruhi bahasa daerah Tapan tersebut.
Namun kita tidak bisa memungkiri bahwa adanya hubungan kesejarahan antara dua suku ini yaitu Kerinci dan Minangkabau. Hal ini sangat wajar, dikarenakan dua wilayah ini berdekatan dan mustahil rasanya kedua suku ini tidak berinteraksi dan tidak saling berhubungan.
Sejak kapan hubungan itu terjadi?
Mungkin sekali hubungan tersebut telah terjadi pada abad 14 M. Karena saat itu suku Kerinci telah mengadakan hubungan dengan Kerajaan Dharmasraya. Hubungan ini terus berlanjut pada zaman yang berbeda hingga masa Islam. Dalam rentang periode yang amat panjang, suku tersebut saling berInteraksi satu sama lain baik melalui hubungan dagang, hubungan perkawinan, hubungan politik dan lain sebagainya. Maka tidaklah heran di dalam naskah Kerinci, terdapat beberapa tokoh nenek moyang yang disebut berasal dari Minangkabau terutama dari Pariangan Padang Panjang. Pada mulanya mereka merantau ke Kerinci dalam berbagai keperluan, kemudian menikahi Orang Asli kerinci dan beranak pinak. Karena mereka yang merantau tersebut adalah laki-laki, maka status mereka hanyalah sebagai semendo. Anak keturunan merka tetaplah orang Kerinci disebabkan Sistem Matrilineal Yang digunakan.
Diketahui pula bahwa Wilayah Kerinci merupakan salah satu wilayah tujuan rantau suku Minangkabau, tetapi wilayah Minangkabau bukanlah tujuan rantau Suku Kerinci. Sehingga sedikit sekali kelihatan pengaruh Kerinci di sana. Kecuali beberapa daerah di perbatasan seperti di daerah Tapan.
Orang Kerinci menjadikan semenanjung Malaya/Malaysia sebagai rantau utamanya bahkan masih berlangsung hingga sekarang. Selain itu mereka juga merantau ke daerah Jambi seperti Tanah Tumbuh, Batang Asai, Tebo, dan Muaro jambi, juga ke daerah Rejang Lebong.
Dari sisi wilayah adat, Kerinci juga bukan bagian dari Wilayah Minangkabau. Secara adat, batas Wilayah Kerinci dengan wilayah Minangkabau, dijelaskan dalam tradisi lisan dan tambo adat yang berbunyi:
Ku dateh Bukit Kepak,
ku bawah tempat Ngabi Aceh, atiyo bayo, teruh ku Maro Sekungkung mati, lepeh
ku Maro Sungai Dereh, teruh ke balai beratap ijuk di Koto Tuo, mendaki Bukit Sepunjung teruh ke Talang Banio ta tepat ke Gunung Bujang, jalan teruh Betung Belarik terjun ke arun dalam, teruh ke Telun Berasap, lepeh ke Lubuk Buih
baratemu Rio Mungempai, rio mengundan duduk bajuntai diateh aka, Gela Panglimo
Sirah Mato, itu tunggu ulu Sungai Tabir.
Tasiku gunung gurapi
teruh ke gunung tirai embun lepeh ke bukit amparan kain, teruh ke gungung kuduk
jawi, lepeh ke batu sikai kambing, bara tamu dengan Yang dipatuan marajo bungsu, bagumbak
putih bajanggut merah batulang abang, diam dilekuk sungai pagu, kalu sahinggo
itu kiun ingatkan dio nian, kalu sahinggo itu kumahin ingatkan kito
(Batas dengan Kerajaan Sungai Pagu dan XII Koto).
Terjun ke alu parindu teruh ke bukit lingkung badegun ke
gunung bungkuk, kalu sahinggo itu kiun ingatkan urang pasimpan di koto enau,
kalu sahinggo itu kumahin ingatkan kito
(Batas dengan wilayah Kerajaan Koto Anau Minangkabau)
Terjun ke muaro telang
nak menjelang sungai linguh, tarantak ke sako kecik, bartamu dingan datuk Menti bendar sepuluh
( Batas dengan Kerajaan Indropuro)
Batas ini dipertegas dengan Tambo Alam Minangkabau yang berbunyi:
Dari Sirangkak nan badangkang
hinggo buayo putiah daguak
sampai ka Pinturajo Ilia
Durian ditakuak rajo
Sipisau-pisau anyuik,
sialang balantak basi ( masih di wilayah seputaran Muko Muko dan Indropuro)
hinggo aia babaliak mudiak,
sampai ka ombak nan badabua.
Komentar