Menhir di Sumatra Barat, Nisan Islam atau Menhir Megalitik?

Menhir di Sumatera Barat, Sumber: wisatasumbar.net
Gambar 1. Menhir di Sumatera Barat, sumber: wisatasumbar.net

   'Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati', sepenggalan kutipan dari ayat suci Al-Qur'an yang menyatakan bahwa setiap makhluk yang bernyawa, baik tumbuhan, hewan, dan manusia mau tidak mau akan mengalami suatu proses yang namanya 'kematian'. Dalam agama Islam, kematian bukanlah akhir dari segalanya. Kematian adalah sebuah jalan yang ditempuh oleh manusia untuk menuju suatu 'alam keabadian' yang disebut dengan 'akhirat'. Manusia yang telah mati-dalam wujud rohani-akan menerima balasan dari sang Pencipta dari apa yang diperbuatnya selama hidup di dunia. 
     Manusia dengan kadar kebaikan lebih banyak dari kejahatan akan menerima ganjaran kenikmatan tiada terhingga dan dimasukkan ke dalam kampung Surga, sementara manusia dengan kadar kejahatannya lebih banyak dari kebaikan akan menerima ganjaran kesengsaraan dalam lembah berapi yang disebut neraka.
      Adanya peristiwa alamiah kematian yang dipadu dengan ideologi mengenai ketuhanan (konsepsi religi) mewujudkan suatu kebudayaan yaitu: tata cara penguburan dan budaya bendawi seperti batu nisan. Jauh sebelum agama Islam, bahkan sejak permulaan peradaban manusia, manusia telah mengenal sistem penguburan. Di Indonesia pada masa prasejarah dikenal dua sistem penguburan, yaitu penguburan primer dan penguburan sekunder (Soejono, 1977). 
      Penguburan primer (langsung) merupakan suatu cara penguburan di mana 'si mati' langsung dikuburkan di dalam tanah (atau tempat-tempat tertentu seperti sarkofagus, waruga, gua), baik dengan menggunakan wadah (seperti tempayan) atau tidak, dengan mayat diletakkan dalam berbagai posisi seperti berlipat, membujur, dimiringkan, atau mengarah pada orientasi tertentu. Sistem penguburan semacam ini berlaku juga dalam agama Islam, Kristen, Yahudi dengan berbagai perbedaan tata laksana.  
     Penguburan Sekunder (tidak langsung) merupakan penguburan di mana tulang belulang atau abu 'si mayit' dikuburkan dengan dimasukkan dalam wadah baik dari tanah liat (tempayan) atau dari batu besar yang dipahat dalam berbagai bentuk sebagai wadahnya. 
     Pada masa prasejarah di Indonesia, baik penguburan primer maupun penguburan sekuder disertai dengan bekal kubur seperti berbagai wadah dari tanah liat (tempayan, kendi, buli-buli, dan sebagainya), anting-anting dari perunggu, nekara, mata panah, beliung persegi, alat obsidian, manik-manik, pisau, dan koin. Jejak penguburan primer ditemukan di berbagai situs di Indonesia seperti di situs Padang Sepan, Bengkulu dan Situs Muara Payang (Indriasturi, 2010), situs Bawah Parit (Yondri, 2014), Situs Guguk (Triwurjani, 2016). Sementara itu, jejak penguburan sekunder ditemukan di situs kubur tempayan Lolo Gedang (Budisantosa, 2011), situs kubur tempayan Siulak Tenang (Budisantosa, 2015) dan berbagai situs lainnya di Indonesia. 
      Van-Heekeren (1958) menyebutkan bahwa sistem penguburan pada masa prasejarah berhubungan dengan kebudayaan megalitik. Sebagai contohnya, di tengah lokasi situs kubur tempayan Muara Betung Sumatera Selatan ditemukan batu besar datar yang disebut Dolmen, Situs kubur Tempayan Lolo Gedang juga berasosiasi dengan tinggalan megalitik berupa batu Silindrik (Budisantosa, 2015). Contoh lain megalit-megalit dijadikan sebagai wadah menaruh mayat ataupun tulang belulang mayat seperti temuan sarkofagus di wilayah Pasemah dan Bali, maupun waruga di wilayah Sulawesi Utara. Namun, kebudayaan megalitik yang sangat berbeda dijumpai di wilayah Sumatera Barat. 
      Kebudayaan megalitik yang paling menonjol di Sumatera Barat berupa menhir yang umumnya berbentuk seperti gagang keris atau pedang dengan berbagai ornamen (geometris, sulur-suluran) ataupun tanpa hiasan (polos). Situs-situs megalitik Sumatera Barat tersebar di wilayah 50 koto di antaranya Situs bawah parit, Situs Mahat, Situs Guguk, Situs Bukit Apar (lihat Triwurjani, 2016 dan Yondri, 2014) dan di wilayah Tanah Datar terdapat di situs Gudam (lihat, Miksic, 2004). Penelitian di situs menhir Bawah Parit berhasil menemukan tujuh rangka manusia pada kedalaman 125 cm hingga 195 cm di bawah menhir (Yondri, 2014). 
       Data-data yang diungkapkan oleh Yondri dari hasil penelitian sangat menarik di antaranya: (1) rangka manusia yang terkubur merupakan ras Mongoloid; (2) adanya jejak liang lahat; (3) tidak ditemukan bekal kubur; (4) orientasi kepala ke arah barat laut sementara kaki ke arah tenggara. Yondri menyimpulkan bahwa sistem penguburan semacam ini sangat berbeda dengan sistem penguburan prasejarah di wilayah Indonesia lainnya bahkan sangat mirip dengan sistem penguburan Islam walaupun berbeda orientasinya (pemakaman Islam saat ini beriorientasi Utara-Selatan), Yondri berpendapat bahwa komunitas tersebut pada masa lalu pernah bersentuhan dengan kebudayaan Islam kemudian menyingkir ke pedalaman, mereka menyerap sistem penguburan yang ada dalam Islam. 
       Hal serupa juga ditemukan oleh Triwurjani (2016) di Situs Guguk, Hasil ekskavasi berhasil menemukan dua rangka manusia ras Mongoloid pada kedalaman sekitar 160-180 cm di bawah menhir. Selain itu juga diungkapkan (1) adanya jejak liang lahat dalam penguburan, (2) rangka manusia dalam posisi terbujur dan dimiringkan dengan rusuk kanan berada di bawah, (3) tidak adanya bekal kubur, (4) orientasinya dalam arah barat laut-tenggara. Temuan ini sangat mirip dengan temuan di situs bawah parit yang mengindikasikan mirip sistem penguburan Islam. 
Rangka Manusia di Situs Guguk, Sumber: Triwurjani, 2016
Gambar 2. Rangka Manusia di bawah Nisan Menhir Situs Guguk, Sumber: Tri Wurjani,2016
        Dari data tersebut sangat jelas bahwa fungsi menhir di Sumatera Barat digunakan sebagai penanda makam atau nisan bahkan masyarakat setempat menyebutnya sebagai batu mejan (bahasa lokal untuk nisan). Namun, yang menjadi pertanyaan apakah makam tersebut merupakan makam Islam atau makam prasejarah? Dari data yang diungkapkan oleh Yondri (2014) di situs Bawah Parit dan Triwurjani (2016) di situs Guguk dan dengan membandingkan dari cara penguburan masa prasejarah yang ada di Indonesia, penulis berasumsi bahwa makam-makam yang ada di situs Bawah Parit adalah makam dari orang-orang Islam.  
       Walaupun Yondri mengemukakan bahwa orientasi makam (Barat Laut-Tenggara) berbeda dengan orientasi makam orang Islam saat (Utara-Selatan), arah makam lebih berorientasi menghadap Gunung Sago. Dengan kata lain, konsepsi religi mereka masih konsepsi religi masa prasejarah, sementara sistem penguburan menyerap sistem penguburan Islam sehingga komunitas pendukungnya dikatakan berada pada masa transisi prasejarah-Islam. 
        Namun, penulis berasumsi bahwa makam tersebut merupakan makam orang-orang Islam pada periode awal Islam di Sumatera Barat, bukan pada masa transisi. Terkait dengan perbedaan orientasi dengan makam orang Islam masa kini, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan (1) arah kepala dari rangka yang ditemukan menghadap ke arah barat laut, tepat di mana arah kiblat (Ka'bah) berada, (2) ada perbedaan konsepsi arah kiblat antara komunitas pada awal Islam dengan komunitas Islam yang ada sekarang. Pertama berkaitan dengan pemahaman apakah yang menghadap kiblat itu wajah 'si mayit' atau kepala 'si mayit'. 
      Komunitas Islam pada periode awal agaknya berpendapat bahwa yang menghadap kiblat bukanlah wajah 'si mayat' tetapi kepala 'si mayat' sehingga orientasi kuburannya berada pada arah Barat laut-tenggara, berbeda dengan pemahaman Islam pada periode berikutnya yang berpendapat bahwa yang menghadap ke kiblat adalah wajah si mayat walaupun dengan pengetahuan arah kiblat berada di barat (walaupun kurang tepat, arah kiblat di Indonesia berada pada arah baral laut). Oleh sebab itu, penulis berkesimpulan bahwa adanya perbedaan antara orientasi makam orang Islam periode awal dengan makam Islam masa sekarang di Sumatera Barat disebabkan oleh perbedaan konsepsi tata cara penguburan secara Islam dan perbedaan pengetahuan tentang arah kiblat. 
      Sayangnya, pendapat penulis ini tidak didukung oleh hasil pertanggalan karbon (C-14) yang ada di situs Bawah Parit dan situs Guguk. Hasil pertanggalan Aziz dan Siregar (1997) di situs Bawahparit menunjukkan angka 1650-1450 SM. Sementara itu, hasil pertanggalan karbon dari dua rangka yang ada di situs Guguk menunjukkan angka abad 4-5 M dan 1-4 M (Triwurjani, 2016: 135). Angka pertanggalan ini sangat mengejutkan karena jauh lebih tua dibandingkan dengan permulaan agama Islam di Mekkah yakni di mulai pada abad ke 7 M
       Ada beberapa pandangan terkait dengan hasil pertanggalan C-14 pada situs Bawahparit maulun situs guguk. Pertama, Yondri (2014) mengemukakan bahwa hasil pertanggalan karbon dari situs megalitik Bawah Parit tidak cocok dan tidak sesuai dengan pertanggalan situs-situs megalitik lainnya yang ada di Indonesia. Oleh sebab itu, menurutnya, hasil pertanggalan tersebut harus ditinjau kembali karena tidak selaras dengan budaya yang terjadi pada masa itu. Sebagai contoh, situs megalitik di Nias berasal dari periode 15-17 M, situs-situs megalitik dataran tinggi Jambi 4-13 M, situs-situs megalitik Banua Keling Sumatera Selatan 3 hingga 17 M. 
    Kedua, Senada dengan Yondri, penulis berpendapat bahwa kemungkinan penyebab ketidaksesuaian pertanggalan karbon disebabkan oleh adanya proses penggalian tanah untuk penguburan. Karbon yang seharusnya berada pada lapisan lebih bawah teraduk saat dilakukan penggalian untuk pemakaman pada masa lalu. Karbon ini pada akhirnya terdeposisi pada lapisan yang lebih atas atau melekat pada rangka yang kemudian ditemukan saat ekskavasi.
       Menhir di wilayah Sumatera Barat mungkin telah ada pada periode pertengahan milenium pertama masehi, namun pada periode berikutnya menhir tersebut telah dialihfungsikan atau ditiru bentuknya oleh komunitas berikutnya. Miksic (2004) berpendapat bahwa menhir yang disebut pula mejan atau batu tagak telah dialihfungsikan sejak masa klasik (periode Adityawarman) di mana menhir tersebut dipindahkan ke lokasi tempat berdirinya balai adat, digunakan sebagai pembatas gelanggang, sebagai batas nagari atau wilayah kaum. Sementara itu, bagi komunitas muslim pada periode awal menjadikan menhir berbentuk gagang keris/pedang sebagai bentuk nisan, bentuk nisan seperti menhir terus diproduksi hingga masa-masa berikutnya sebagai karakteristik nisan yang berasal dari pedalaman Sumatera Barat. 
Referensi:
Indriastuti, Kristantina, 2010. Akulturasi Budaya Austronesia: Tinjauan pada Tempayan Kubur di wilayah Sumatera bagian Selatan, Kapita Arkeologi 6 (10), pp. 19-40

Miksic, John, 2004, From Megaliths To Tombstones: The Transition From Prehistory to The Early Islamic Period in Highland west Sumatra, Journal Indonesia and the Malay World 32 (93), pp. 192-210

Triwurjani, RR .2016. Tradisi Berlanjut Budaya Austronesia di Lima Puluh Koto, Sumatera Barat. Berkala Arkeologi 36 (2) pp. 120-140

Yondri, Lutfi, 2014. Situs Bawahparit: Jejak Penguburan Masa Transisi. Lektur keagamaan 12 (2), pp. 515-542

Note: Artikel ini telah dimuat di kompasiana pada 22 April 2017 dengan alamat URL: https://www.kompasiana.com/hafifulhadi/menhir-di-sumatera-barat-nisan-dari-masa-islam-atau-menhir-prasejarah_58fb7e6576977324115e9405

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Petrus Voorhoeve, Penemu Awal Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah dan Penyusun Tambo Kerintji

Mengenal Sapaan dan Istilah Kekerabatan dalam Masyarakat Kerinci

Dari manakah Asal Usul Penduduk Dusun Siulak Mukai? Menelusuri Sejarah dan Struktur Pemerintah Adat Masyarakat Siulak Mukai

Sejarah Wilayah Tigo Luhah Tanah Sekudung, Siulak di Kerinci

Legenda Batu Patah: Cerita Rakyat dari Danau Kerinci

Keramik Cina Tertua yang Ditemukan di Indonesia Berasal dari Kerinci

Tabuh: Beduk Kuno Raksasa dari Bumi Kerinci

Menelusuri Nenek Moyang Orang Semurup berdasarkan Tembo Incung