Arca Terbesar di Indonesia itu Ternyata Bukan Bhairawa tetapi Arca Mahakala

Arca Bhairawa (Mahakala) saat diekskavasi di Padang Roco, Hulu Batanghari

Menyambung diskusi yang lalu-lalu mengenai Ādityawarman, ada satu berhala yang ditafsirkan sebagai wujud atau representasi Ādityawarman. Berhala terbesar di Indonesia ini menjulang setinggi 4,41 meter, ditemukan pada tahun 1906 di Padang Roco, Hulu Batanghari (Dharmasraya kini). Sosoknya pria gepuk-tinggi berdiri lurus di atas mayat yang bertekuk. Gigi taringnya mencuat di sela bibir, matanya melotot, tangan kirinya memegang mangkuk tengkorak, sementara tangan kanannya memegang pisau belati. Begitulah gambaran keseraman dan kengerian yang ditampilkan oleh arca/berhala yang dikenal luas sebagai arca Bhairawa. Namun benarkah arca ini berhala Bhairawa? Dan benarkah ia wujud Ādityawarman?


Tetapi sesungguhnya, wujud berhala ini masih diperdebatkan oleh peneliti. Tidak semua menyepakatinya sebagai Bhairawa. Sebut saja Pleyte (1907), ia-lah yang pertama kali mengkajinya secara ikonografi, dan mengidentifikasinya sebagai Siwa Mahākalā. Pendapat Pleyte ini didukung oleh sarjana lain seperti Stein Callenfeils (1920), dan diluruskan sebagai Mahākalā dalam konsep Buddhisme oleh Bautze-Picron (2014), diikuti oleh Sinclair (2022) dan Acri dan Wenta (2022). Sementara itu, pendapat yang menyebutnya sebagai arca Bhairawa adalah Moens (1924), Stutterheim (1936), dan diikuti oleh banyak sarjana Indonesia lainnya. Pendapat lain misalnya oleh Satok Yusuf (2022) yang menyebutnya sebagai Hayagrīwa, wujud menyeramkan dari Awalokiteswara.

Arca Mahakala (Bhairawa) saat ini tersimpan di Museum Nasional

Perdebatan itu juga mencakup masalah gaya seninya. Dua pendapat yang muncul adalah gaya seni langgam Siŋhasāri dan langgam Majapahit. Stutterheim yang pendapatnya banyak dianut menganggap berhala "Bhairawa" itu berlanggam Majapahit dan perwujudan dari Raja Ādityawarman. Di sisi lain, Moens menganggap arca "Bhairawa" itu berlanggam Siŋhasāri dan wujud dari Raja Kṛtanāgara. Meskipun berbeda dengan Moens dalam hal identifikasi Arca, Satok Yusuf (2022) dan Acri dan Wenta (2022) sepakat bahwa arca Mahākalā atau Hayagrīwa itu berlanggam Siŋhasāri. Acri dan Wenta bahkan menegaskan arca tersebut bukanlah wujud Ādityawarman melainkan Kṛtanāgara.
Berhala Mahākalā ini tidak ditemukan sendiri. Ekskavasi yang dilakukan oleh Schintger dkk (1935) juga menemukan prasasti yang ditulis pada lapik arca dari batu. Akan tetapi, lapik arca itu tidak cocok untuk berhala Mahakala. Lapik batu tersebut adalah lapik dari berhala Amoghapasa yang ditemukan di Rambahan, beberapa kilometer ke arah hulu Padang Roco. Prasasti pada lapik arca itu bertanggal 1208 S/1286 M menginformasikan bahwa arca Amoghapasa itu dikirim oleh Kṛtanāgara untuk Raja Tribhuwanarāja Mauliwarmmadewa di Bhumi Malayu. Menariknya, di belakang Arca Amoghapasa juga terdapat prasasti dengan gaya aksara cukup berbeda dengan lapiknya. Aksara tersebut adalah aksara yang digunakan dalam prasasti-prasasti Ādityawarman. Artinya, tulisan di belakang arca ditulis sewaktu Ādityawarman menjadi raja (1347-1375?), lebih setengah abad setelah arca Amoghapasa tersebut tiba di Malayu. Di belakang arca tersebut secara tegas dituliskan Ādityawarman sebagai penyumbang arca tersebut. Lantas mengapa Ādityawarman memindahkan berhala Amoghapasa dari Padang Roco ke Rambahan? Mengapa ia meninggalkan berhala berwujud ngeri dan memilih berhala berwujud welas asih?
Saya kira, kita perlu terbuka tidak hanya dengan satu pendapat. Saya menyepakati bahwa berhala Mahakala berlanggam Singasari ini yang dikirim ke Malayu jauh sebelum bertahtanya Adityawarman barangkali serempak dengan pengiriman Amoghapasa. Dengan demikian, mulanya ia bukanlah perwujudan Adityawarman.
Bacaan:
1. Acri, Andrea dan Aleksandra Wenta .(2022). A Buddhist Bhairava? Kṛtanagara’s Tantric Buddhism in Transregional Perspective. Entangled Religions 13(7)
2. Yusuf, Muhamad Satok .(2022). “ARCA BHAIRAWA (HAYAGRĪWA LOKEŚWARA) PADANGROCO BERLANGGAM SENI SIŊHASĀRI”. AMERTA, vol. 40, no. 1, pp. 41-56, doi:10.55981/amt.2022.19.
3. Bautze-Picron, Claudine. (2014). “Buddhist Images from Padang Lawas Region and the South Asian Connec-tion.” In History of Padang Lawas, North Sumatra, II: Societies of Padang Lawas (Mid-Ninth–Thirteenth Century CE), edited by Daniel Perret, 107–28. Paris: Association Archipel.
Sumber foto:
1. Arca Mahakala (Bhairawa) (Acri dan Wenta, 2022)
2. Ekskavasi Bhairawa Ca. 1939? (Reichle, Natasha, 2007)


Diambil dari postingan halaman facebook Hafiful Hadi Sunliensyar
Tautan: https://web.facebook.com/share/p/14pummH9gZ/
diposting pada 29 Desember 2024

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Siulak Dari Mendapo Semurup menjadi Mendapo Siulak, Berikut Daftar Nama Kepala Mendapo

Menengok Barang-Barang dari Kerinci yang Menjadi Koleksi Museum Nasional di Jakarta

Dari manakah Asal Usul Penduduk Dusun Siulak Mukai? Menelusuri Sejarah dan Struktur Pemerintah Adat Masyarakat Siulak Mukai

Sejarah Wilayah Tigo Luhah Tanah Sekudung, Siulak di Kerinci

Perang Semurup - Siulak, Catatan Sejarah Kerinci yang Hampir Terlupakan

Mengenal Sapaan dan Istilah Kekerabatan dalam Masyarakat Kerinci

Legenda Batu Patah: Cerita Rakyat dari Danau Kerinci

Keramik Cina Tertua yang Ditemukan di Indonesia Berasal dari Kerinci