Sultan Ahmad Nazarudin, Kisah Raja Tanpa Alas Kaki dari Jambi

Foto 1. Sultan Ahmad Nazarudin dari Jambi

Banyak yang tak menduga bahwa sosok sepuh dalam potret ini adalah seorang raja (foto 1). Pasalnya, ia tak menggunakan kasut dan atribut mewah lainnya layaknya raja-raja besar di seantero Nusantara. Apatah lagi, punya keraton dan istana yang dikelilingi benteng kokoh atau mahkota berlapis emas bertatah intan mustika.

Ahmad Nazaruddin diangkat pada pertengahan abad ke-19 sebagai Sultan Jambi menggantikan Sultan Thaha yang dimakzulkan Belanda. Potret dirinya ini menjadi gambaran bagaimana kondisi Raja - orang nomer satu di Jambi-- dan para bangsawan Jambi kala itu. Laporan Belanda, banyak menyebutkan bahwa raja dan pangeran Jambi hidup dalam kondisi "miskin". Mereka hidup dengan kondisi ekonomi minimal dari upeti di wilayah pegangan masing-masing.


Keraton yang mereka punya hanya rumah panggung. Ukurannya, sedikit lebih besar dari rumah rakyat biasa. Salah satu keraton itu berada di Dusun Tengah, Tembesi. Potretnya terdapat dalam buku Veth (foto 2).

Foto 2. Kediaman Sultan di Muara Tembesi, Jambi

Keraton Raja jauh kalah mewah dibandingkan dengan rumah gedongan milik anak menantu mereka, Pangeran Wira Kesuma alias Sayyid Idrus Aljufri (foto 3). Saudagar Arab yang memiliki hubungan harmonis dengan  Belanda. Gelar pangeran ia dapatkan setelah menikahi putri raja. Pangkatnya naik secara drastis melebihi para pengeran lain. Mulanya hanya pangeran biasa, kemudian menjadi Pepatih Dalam (penasehat raja) hingga menjadi Mangkubumi (perdana mentri).

Foto 3. Rumah Sayyid Idrus al-Jufri glr. Pangeran Wiro Kesumo Jambi

Jambi sebenarnya tidaklah semiskin itu. Luas wilayahnya sekitar 50000 km persegi, satu setengah kali lebih luas dari negeri Belanda atau sepuluh kali lebih luas dari Kerajaan Brunei. Mereka menguasai hampir seluruh tol sungai Batanghari. Hasil upeti itu saja, sudah dapat memakmurkan raja. Namun kenyataannya, untung itu tidak mengalir ke kantong sultan semata. Sang raja harus berbagi dengan saudara dan sepupunya yang lain serta dengan para Batin dan Dipati. Terkadang pula, para Dipati dan Batin ini lebih kaya dari Raja.

Baca juga: Kisah Depati yang Memancing Amarah Pangeran Jambi

Jangan bayangkan raja-raja di Jambi atau para Dipati di Kerinci, kekuasaannya sama seperti raja-raja di luar sana. Jikalau di luar sana, seorang raja menguasai rakyat, tanah sekaligus monopoli perekonomian, maka Jambi tidaklah demikian. Para raja yang menguasai lahan, belum tentu dapat menguasai rakyat. Suatu contoh di abad ke 17, Raja Jambi tidak punya kuasa mengontrol rakyat Minangkabau yang ada di wilayah mereka.

Foto 4. Rumah penduduk di tepian Batanghari Jambi

Di Kerinci, para Depati Penghulu pun berbagi kuasa, ada yang hanya berkuasa atas lahan, ada yang hanya berkuasa atas rakyat dan ada yang berkuasa atas kegiatan perekonomian. Tak ada yang menguasai semua sektor. Akan tetapi, patut diacungi jempol, negara dengan sistem semacam ini bisa bertahan kurang lebih tiga abad. Kalau sistem pemerintahan yang sekarang jangan ditanya lagi, rakusnya keterlaluan!

Kira-kira kepala negara mana yang sebanding dengan kesederhanaan Sultan Ahmad Nazaruddin saat ini?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Legenda Batu Patah: Cerita Rakyat dari Danau Kerinci

Dari manakah Asal Usul Penduduk Dusun Siulak Mukai? Menelusuri Sejarah dan Struktur Pemerintah Adat Masyarakat Siulak Mukai

Sejarah Wilayah Tigo Luhah Tanah Sekudung, Siulak di Kerinci

Asal Usul Penduduk Dusun Siulak Gedang, Ibu Negeri Wilayah Adat Tanah Sekudung

Traditional Architecture of Kerinci Ethnic

Mengenal Cabe Suhin, Kuliner Khas Tradisional Kerinci

Sekilas Tentang Wilayah Adat Mendapo Limo Dusun (Sungai Penuh), Tanah Pegawai Rajo-Pegawai Jenang

Mengenal SINAR BUDI: Dari Generasi ke Generasi Mempopulerkan Tale Kerinci

Muhammad Awal, Bupati Kerinci Ke-5 yang Dikenang dengan Aura "Kesaktian"-nya