Perang Semurup - Siulak, Catatan Sejarah Kerinci yang Hampir Terlupakan

Semurup dan Siulak tampak dari atas bukit Sekungkung. Dok. Penulis


Perang antarsuku atau antar penduduk kampung di masa lalu bukanlah hal yang begitu mencengangkan apalagi di wilayah Lembah Kerinci. Lembah yang subur untuk lahan pertanian namun dihuni oleh banyak penduduk yang begitu beragam dan terdiri atas banyak kelompok. Orang Kerinci sendiri merupakan masyarakat komunal berdasarkan ikatan sejarah dan ikatan tanah yang dirintis oleh nenek moyang di masa lalu, Suku atau kelompok masyarakat ini lazim disebut dengan istilah Luhah dan Kelebu.

Masing-masing luhah dan kelebu ini membentuk semacam aliansi atau persekutuan untuk mendirikan perkampungan yang disebut dusun. Namun, terkadang terjadi permusuhan dan konflik antar suku ini akibat perebutan hak-hak untuk pengelolaan lahan atau tanah yang subur di antara dua wilayah perkampungan mereka ataupun karena perebutan dominasi politik antarsuku dalam berhubungan dengan pihak-pihak Kerajaan. Beberapa perang antarsuku dan antardusun yang pernah terjadi di Kerinci seperti antar penduduk Rawang dan Kemantan pada abad ke-19 M serta antara penduduk Belui dan Kemantan. Hal ini tertulis dalam surat-surat lama yang disimpan di Kerinci.

Peperangan juga pernah terjadi antara penduduk Semurup dan Siulak pada sekitar abad ke-18 M yakni saat Sultan Ahmad Zainuddin atau Sultan Anum Seri Ingalaga (1743-1780-an) bertahta di Kesultanan Jambi. Ketika itu, Wilayah Semurup dan Siulak tergabung di dalam sebuah wilayah adat yang dinamakan Tanah Kepala Persembah. Namun demikian, keberadaan wilayah adat ini tidak disenangi oleh beberapa suku atau kelebu yang lain. Mereka merasa adanya dominasi politik yang dimiliki suatu suku/luhah atas suku yang lain. Berdasarkan tuturan lisan, pada masa itu, beberapa perkampungan masih dikuasai oleh depati dari tempat lain, seperti di Dusun Dalam dan Koto Beringin yang berada di bawah pengawasan Depati Semurup Awang Melilo dan Depati Semurup Merah Mato. Dalam cerita lain, penduduk Siulak waktu itu dijadikan sebagai penjemput buluh lemang dan daun pisang ketika tiap-tiap menyambut kedatangan raja. Cerita ini tampaknya hanyalah sebuah kiasan bahwa pada masa itu,penduduk Siulak tidak mendapat posisi dan kedudukan politik penting dalam berhubungan dengan pihak Jambi. Siulakpun masa itu hanyalah wilayah pinggiran dari Tanah Kepala Persembah, sementara Semurup merupakan pusat wilayahnya karena di sana berdiri "Bale Menganjung", balai pertemuan, tempat penobatan sekaligus sebagai tempat menyambut kedatangan para utusan Raja baik dari Jambi maupun Inderapura. Ketidakpuasan ini membuat beberapa tetua suku "bertedo" yakni memohon pengesahan raja Jambi atas tanah-tanah yang mereka miliki. 

Usaha "tedo" oleh masyarakat Siulak yang pertama kali dilakukan oleh seorang tokoh Semendo dalam suku Rajo Indah (Jindah) di dusun Siulak Mukai yang bernama Singado Dubalang. Tokoh ini disebut merupakan orang Semurup yang menikahi perempuan Siulak. Namun, karena statusnya sebagai orang Semendo, kekuasaan politik di dalam keluarga istrinya cukup terbatas. Tokoh ini diceritakan mempersembahkan sekuntum bunga yang dinamakan "Bungo Melur Kembang Sekaki" kepada raja. Bunga melur ini konon katanya adalah bunga yang langsung keluar dari tanah tanpa daun dan batang. Namun dapat ditafsirkan bahwa bunga ini hanyalah perumpamaan bagi wanita cantik  yang diserahkan kepada pihak Jambi. Dari hasil usahanya tersebut Sengado Dubalang ini beroleh gelar dari Depati Intan Kumbala Bumi dari Raja. Meskipun, mendapat pengakuan raja, surat yang dibawanya itu ditahan dan disimpan oleh keluarga saudara perempuannya di Semurup. Padahal surat itu sejatinya diperuntukkan bagi keluarga istrinya di Siulak.

Tak puas dengan usaha tedo yang pertama, usaha tedo yang kedua dilakukan oleh Raja Simpan Bumi dan Depati Mangkubumi. Menurut cerita lisan, kedua depati ini mempersembahkan "bajang imau batali suto" kepada raja. Istilah "bajang imau batali suto" ini sendiri merujuk kepada anak laki-laki hasil pergundikan yang dilakukan oleh Depati Marajo. Karena anak tersebut menyandang status rendahan, ia dipersembahkan kepada Raja Jambi untuk dijadikan sebagai budak. Usaha ini juga berbuah pengakuan wilayah kekuasaan mereka. Namun, wilayah mereka masih tergabung atau bersatu dengan wilayah adat depati yang lainnya di Semurup. Wilayah adat para depati yang ada di Siulak dan Semurup ini dinamakan Tanah Kepala Persembah. Keberadaan Tanah Kepala Persembah ini dijelaskan dalam surat piagam Jambi (Tambo Kerintji No. 161) yang disimpan di rumah gedang Rajo Simpan Bumi di Dusun Gedang, Koto Dua Lama Semurup. Adapun bunyi surat tersebut menurut Voorhoeve (1941) adalah:

"Bahwa ini piagam tanah kepala persembah yang dijunjungkan oleh Seri Sultan Anum Suria Ingalaga (2) serta Pangeran Temenggung Mangku Nagara dengan cap surat celak piagamnya kepada Depati (3) Raja Simpan Bumi, Mangku Bumi  dan Depati Raja Simpan Bumi Andum Laksana. Adapun pebatasannya dengan Yang Patuan Maraja Bongsu Gunung (4) Berapi dan pebatasannya dengan depati empat muara Sekungkung mati dan pebatasannya (5) dengan Raja Hitam dan Raja Putih Bukit Tulang orang dan pebatasannya dengan orang (6) Teba pangkal titian. Itulah adanya perihal perintah Seri Sultan Anum Suria Ingalaga (7) serta Pangeran Temenggung Mangku Nagara yang dijunjungkan atas Depati Raja Simpan Bumi (8) Mangku Bumi itu barang yang kusut beselesai suarang beragi arta orang jangan (9) diambil arta2 diri jangan diberikan kepada orang dan barang siapa membunuh memberi (10) bangun barang siapa melukai memberi pampas barang siapa kepanjing ke dalam sepancung sulanya (11) Depati Raja Bumi Mangku Bumi dan (tan) Depati Mendala Bumi dan Depati Muda (12) Pamuncak (tambahan:) dan Depati Simpan Bumi Indera(?) laksana) barang perintah dan barang hukum yang dilakukan oleh depati yang betiga sekedudukan (13) di dalam tanah kepala persembah itu hukum Sultan dan Pangeranlah yang dijunjungnya itu adanya (14) Hubaya2 jangan dilalui seperti di dalam cap piagam ini dan barang siapa melalui perintah (15) dalam piagam ini atau beraja hitam, beraja putih, kena kutuk Pangeran Temenggung kebul balik (16) bukit, tiang rumahnya ke atas dan bubungannya ke bawah. Demikian lagi masuk di dalam sumpah itu (17) barang siapa membunyikan arta rajanya itu emas jatah jati rupa pesilak (?) (18) indah taring mustika canding dan gading yang baik itulah arta raja yang dijagai (19) oleh depati yang tiga sekedudukan itu petaruh duli Sultan dan Pangeran kepadanya. (20) Tammat alkalam bilkhair (21) wassalam" 
Di dalam surat tersebut dijelaskan bahwa Tanah Kepala Persembah yang batas-batasnya disebutkan bahwa batas di sebelah utara dengan Yang Dipatuan Marajo Bungsu adalah Gunung Berapi, batas di sebelah barat dengan Raja Hitam-Raja Putih (Raja Inderapura) adalah Bukit Tulang Orang, batas di sebelah timur dengan penduduk Tebo adalah Pangkal Titian dan batas di selatan dengan Depati Empat adalah Muara Sekungkung Mati. Wilayah ini dikuasai oleh beberapa orang depati yaitu Depati Raja Simpan Bumi-Depati Mangkubumi yang bermukim di Siulak Gedang-Siulak Panjang, Depati Raja Simpan Bumi Andum Laksana yang bermukim di Dusun Gedang Koto Dua Lama Semurup, Depati Muda-Pemuncak di Koto Tengah Semurup dan Depati Mendalo Bumi yang bermukim di Dusun Koto Baru dan Dusun Kecik (anntara Semurup dan Depati Tujuh). 

Usaha tedo yang ketiga dilakukan oleh Matcatah yang berniat mengeluarkan Tanah Siulak dari Tanah Kepala Persembah sehingga dapat memerintah secara tersendiri. Ia mempersembahkan seekor Siamang Putih kepada raja. Namun naasnya, siamang itu mati diperjalanan ketika sampai di Semurup. Konon katanya, Siamang itu mati akibat diracun oleh salah satu depati di Semurup karena ketidaksukaannya atas tedo yang dilakukan oleh Matcatah. Oleh Matcatah, Siamang putih tersebut dikuliti dan hanya kulitnya saja yang dipersembahkan kehadapan raja. Raja Jambi kemudian mengabulkan permohonan Matcatah untuk memisahkan Siulak dari Tanah Kepala Persembah dan diberi  tanda kebesaran raja berupa sehelai kain yang dinamakan "Kain Turki Cindai Agam Bagumbak mas, Bajumbai Perak".  Ia diberi gelar Depati Mangkubumi dengan tambahan gelar "Kulit Putih Sibo Dirajo. Matcatah pulang ke Kerinci dengan menyandang "jangki pesuk" -- alat angkut tradisional dalam kondisi yang telah rusak -- dan dengan membawa kerbau denda -- kerbau yang diserahkan raja kepadanya hasil pembayaran denda oleh orang lain--Hal tersebut dilakukan oleh Matcatah untuk menyamar dari ancaman pembunuhan yang telah digaungkan oleh pihak Semurup. Pihak Semurup sendiri tidak menyukai adanya pihak Siulak yang menghadap Raja Jambi. Hali ini dikarenakan usaha tersebut akan mengurangi kekuasaan dan superioritas mereka di dalam Tanah Kepala Persembah. Saat Tanah Kepala Persembah dibentuk, Semurup menjadi wilayah pusat kekuasaan pemerintahan dan Siulak hanya menjadi wilayah pinggiran (periferal).

Sesampainya di wilayah Depati Tujuh  -- sebuah kampung sebelum Semurup yang dilalui Matcatah untuk kembali ke Siulak-- Matcatah dibantu oleh para penduduk di sana dari ancaman orang Semurup. Penduduk Sekungkung ini memberikan informasi yang salah kepada pihak Semurup terkait dengan keberadaan Matcatah. Walhasil Matcatah kembali dengan selamat ke kampung halamannya di Siulak. Sebagai tanda terima kasih, belakangan hari penduduk Depati Tujuh diberikan tanah oleh Depati Mangkubumi di wilayah kekuasaannya untuk dikelola. Sampai saat ini, masih banyak keturunan dari masyarakat Depati Tujuh yang bermukim di wilayah Tanah Sekudung.

Sekembalinya ia dari Jambi, Matcatah diundang dalam sebuah pertemuan di Balai Adat Tanah Kepala Persembah (Tanah Mendapo) yang berlokasi di Dusun Balai Semurup. Namun Matcatah tidak diperlakukan selayaknya sebagai seorang Depati, ia diberi tempat duduk di pintu masuk padahal tempat duduk tersebut adalah tempat duduk bagi seorang dubalang (prajurit).Tidak sampai disitu, seorang depati yang bernama Depati Semurup Merah Mato memukulkan pedang ke kepala Matcatah, sambil mengatakan "ininyu uhang Sulak balik tang Batedo" (ini dia orang Siulak yang pulang dari menghadap raja). Pertemuan besar itu segera menjadi gusar, Matcatah diselamatkan oleh saudara perempuannya yang bermukim di Dusun Gedang, Koto Dua Lama yakni seberang sungai dari Balai adat tersebut (Rumah Saudara perempuan Matcatah ini sekarang menjadi Umah Gedang Luhah Rajo Simpan Bumi di Semurup).

Dengan memendam kemarahan besar di hatinya, Matcatah mengumpulkan para Depati yang lain di Siulak untuk mengadakan peperangan dengan Semurup. Seperti Depati Sungai Langit di Koto Beringin, Depati Rajo Mudo di Dusun Baru, Depati Rajo Simpan Bumi di Siulak Gedang, dan Depati Intan Tengah Padang serta kembar rekannya yang ada di Siulak Mukai. Matcatah sendiri didampingi oleh hulubalangnya yakni para Temenggung yang ada di Siulak. Untuk memancing peperangan, Matcatah menuju ke Gao Tenang dan Gao Gedang (Air Panas Semurup saat ini). Di sana ia menghancurkan permukiman penduduk, merusak kebun, setiap perempuan yang lewat di sana diutas rambutnya (dipotong rambutnya)-- di masa lalu rambut merupakan tanda kehormatan perempuan, memotong rambut merupakan sebuah penghinaan--sedangkan yang menjunjung bigau (tumbuhan yang dijadikan bahan untuk menganyam) diutas (dipotong) bigaunya.

Karena huru hara tersebut, para penduduk Semurup yang bermukim di sana berlarian menuju perkampungan mereka. Sadar akan serangan pihak Siulak, pihak semurup mengumpulkan pasukan untuk balik menyerang. Peperanganpun tak bisa dihindarkan, peperangan ini terjadi di sepanjang persawahan yang berlokasi di antara perkampungan Semurup dan Siulak. Terutama di sepanjang aliran Sungai Siulak Kecik. Lokasi peperangan ini bahkan tertuang di dalam tradisi lisan yang berbunyi:

"Di Tanah Mungguk Malintang
Lisut Ampo Padang Baparit, 
Bawah ba Lubuk Tudung Ngapuk, 
Lubuk Sakijeng Tudung Anyut, 
di Lubuk Serigi Nambak  Maro Ayi Sulak Kecik"

Konon nama-nama lubuk dalam tradisi lisan di atas diambil dari kondisi sungai saat terjadinya perang berlangsung. Tudung Ngapuk berarti topi yang mengapung sedangkan Tudung Anyut berarti topi yang hanyut. Keduanya perumpamaan bagi kepala  beserta topinya para pasukan yang tewas akibat dipancung di sepanjang aliran sungai tersebut. Sedangkan Serigi Nambak berasal dari kata Serigi (Bambu runcing yang menjadi senjata perang) yang saking banyaknya telah menutup aliran sungai tersebut (istilahnya nambak).

Di Siulak Mukai, pasukan dari Semurup hampir masuk ke pintu lawang (pintu gerbang) yang berlokasi di Mukai Tengah. Mereka menghanyutkan tabuh (beduk) larangan milik penduduk yang berlokasi di pintu lawang di Sungai Batang Merao. Akan tetapi, pasukan tersebut berhasil ditumpas setelah bala bantuan datang dari Siulak Panjang dan Siulak Gedang. Karena kuatnya, pasukan dari Siulak, pasukan dari Semurup berhasil dipukul mundur bahkan pasukan Siulak hampir masuk dan menghancurkan perkampungan di Semurup. Namun tiba-tiba, seorang dewa yang menjelma menjadi perempuan muncul di medan peperangan. Dewa tersebut menamai diri sebagai Ninek Jadun. Karena ketidakjelasan asal usulnya, Ninek Jadun dianggap sebagai orang Semurup oleh pihak Siulak dan dianggap sebagai orang Siulak oleh pihak Semurup. Ninek Jadun meminta dirinya dibunuh di suatu lokasi yang akan membatasi wilayah Semurup dan Siulak. Oleh Matcatah Ninek Jadun dipancung pada suatu lokasi yang tepat berada di sebelah Barat aliran Sungai Siulak Kecik. Sampai saat ini, lokasi dibunuhnya Jadun tersebut masih terdapat menhir dan pohon beringin di sana.Versi lain tentang cerita Ninek Jadun ini adalah bahwa Ia merupakan seorang wanita berdarah Semurup-Siulak yang melakukan tindakan bunuh diri di tengah medan peperangan guna menghentikan peperangan tersebut. Sampai saat ini, tempat terbunuhnya Jadun tersebut masih menjadi tanda batas wilayah Semurup dan Siulak sebagaimana tradisi lisan yang berbunyi, "belah ile Ijung Panjang, belah mudik Bangso Dirajo di tengah tempat Jadun (sebelah hilir wilayahnya Ijung Panjang --nenek moyang orang Semurup, sebelah mudik wilayahnya Bangso Dirajo --nenek moyang orang Siulak, ditengahnya --pembatas keduanya--adalah tempat Jadun).

Tempat Ninek Jadun di perbatasan Semurup dan Siulak sekaligus menjadi pembatas kedua wilayah adat ini.


Kisah-kisah peperangan tersebut tertuang pula dalam tradisi lisan yang berbunyi,

"Buyung Kalabu mukak pintu lawang,
Ngaruntum tabuh anyut,
Aro baperit penggalah tinggan,
Karucut kacambai layu
Batang Medang belah dibelah
Semurup balik malu
Pendung Koto Padang dak ndak alah"

(Buyung Kalabu (nama orang), membukakan pintu gerbang dusun, bergemuruh bunyinya beduk yang dihanyutkan, pohon ara yang diperas itu tertinggal penggalahnya, (sebuah pantun) kerucut kecambai layu, Batang Medang (nama pohon) belah dibelah, Semurup akhirnya pulang dengan membawa malu, sedangkan Pendung Koto Padang tiada mau mengakui kekalahan).

Peperangan ini pada akhirnya membuat Sultan Jambi mengutus penggawanya yang bernama Kiai Depati Yang Karta Negara dan Tuanku Sidi Almukmin untuk menyelesaikan perkara peperangan tersebut. Kedua utusan tersebut membawa dua surat. Satu surat piagam yang isinya mengakui kekuasaan Depati yang tiga sekedudukan di Siulak sebagai wilayah tersendiri. Depati tiga sekedudukan itu adalah Depati Intan yang bermukim di Siulak Mukai, Depati Mangkubumi yang bermukin di Siulak Panjang dan Rajo Simpan Bumi di Siulak Gedang. Wilayah tiga depati ini disebutkan di sebelah hilir hingga Aro Tebing Tinggi dan di sebelah mudik hingga gunung berapi. Belakangan wilayah ini disebut sebagai Tanah Sekudung dengan slogannya yang disebut Anjung Lain Tapian Lain, Adat Dewek Paseko Mencin. Dalam artian, wilayah ini merupakan wilayah adat tersendiri yang diberi kewenangan dan kekuasaan khusus (seperti kewenangan untuk mendirikan permukiman baru tanpa harus melalui persetujuan pihak Jambi)  oleh pihak kerajaan dibandingkan dengan wilayah adat lain di Kerinci. Surat piagam ini disimpan oleh Rajo Simpan Bumi Tunggun Setio Alam di Dusun Siulak Gedang dan pernah diteliti oleh Petrus Voorhoeve pada tahun 1941 dengan nomor naskah TK 173. Penggalan isi surat tersebut berbunyi:

"Bahwa ini surat cap celak piagam yang dijunjungkan oleh Seri Sultan Anum Suria Ingalaga serta Pangeran Temenggung Mangku Negara kepada Depati Raja Simpan Gumi, Dipati Intan, Dipati Mangku Gumi. Hilir sehingga Tebing Tinggi, mudik tersekut ke Gunung Berapi, ialah depati yang batiga punya, serta anak jantan anak betinonya, sebatang larisnya, setitik airnya, sekapan tanahnya, ialah depati yang batiga punya, Dipati Raja Simpan Gumi, Depati Intan, Depati Mangku Gumi. Itulah gedang yang bertiga berat sama2 dipikul, ringan sama2 dijinjing adanya......."
Satu surat lagi dibawa ke Semurup berisi peringatan kepada Depati Semurup bahwa Siulak telah dikeluarkan dari persekutuan wilayah adat Tanah Kepala Persembah dan memiliki wilayah kekuasaan tersendiri. Surat titah itu kemudian disimpan oleh Sigumi Putih Kudrat di Dusun Balai Semurup (TK 147) yang berbunyi:

"yang membawa surat ini Kiai Depati Yang Karta (Nanggaro), itulah wakil segala raja-raja. Bahwa ini ‘alamat surat Pangeran Temenggung serta dengan Sultan sampai kepada depati dalam Tanah Sulak seperkata cap dengan surat yang dibawa oleh Tuanku Sidi al mu’min itulah kata yang sebenar: seka depati kembali kepada depati seka menti kembali kepada menti. Itulah karang setia orang tuha yang dahulu-dahulu jangan diubahkan jikalau diubahkan aku lutar dengan dendo pecat seka"
kalimat "seka depati kembali kepada depati seka menti kembali kepada menti" di dalam surat ini menunjukkan pengembalian status para depati dan para menteri yang ada di Tanah Sulak setelah pemisahannya dari Tanah Kepala Persembah. Bahkan jauh setelah peristiwa pemisahan wilayah ini terjadi, Pangeran Sukarta Negara kembali mengirim surat untuk selalu mematuhi perintah raja tentang adanya pemisahan Tanah Kepala Persembah dan pengembalian status depati kepada para pembesar di Tanah Siulak. Seperti yang tertulis dalam surat titah TK 148 yang penggalannya berbunyi:
"Jangan kamu lupa kepada kata jenang raja yang diletakkan Pangeran Temenggung di Tanah Pala Pesembah dengan Sulak. Jikalau depati kembali kepada seko depati (jikalau) menti kembali kepada menti seperti tanah pulang kejatinya seperti abung pulang ke suluh...."
Sumber: 
Abidin, gelar Temenggung Adil Bicaro
Abu Seman, gelar Rio Mudo
P. Voorhoeve (1941). Tambo Kerintji: disalin dari tulisan Jawa Kuno, tulisan rencong dan tulisan Melayu yang terdapat pada tanduk kerbau, daun lontar, buluh dan kertas dan kulit kayu, pusaka simpanan orang Kerinci".


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Legenda Batu Patah: Cerita Rakyat dari Danau Kerinci

Dari manakah Asal Usul Penduduk Dusun Siulak Mukai? Menelusuri Sejarah dan Struktur Pemerintah Adat Masyarakat Siulak Mukai

Sejarah Wilayah Tigo Luhah Tanah Sekudung, Siulak di Kerinci

Asal Usul Penduduk Dusun Siulak Gedang, Ibu Negeri Wilayah Adat Tanah Sekudung

Traditional Architecture of Kerinci Ethnic

Mengenal Cabe Suhin, Kuliner Khas Tradisional Kerinci

Sekilas Tentang Wilayah Adat Mendapo Limo Dusun (Sungai Penuh), Tanah Pegawai Rajo-Pegawai Jenang

Mengenal SINAR BUDI: Dari Generasi ke Generasi Mempopulerkan Tale Kerinci

Muhammad Awal, Bupati Kerinci Ke-5 yang Dikenang dengan Aura "Kesaktian"-nya