Benarkah Gelar Haji Warisan Kolonial Belanda?

 Jangan salah kaprah, gelar Haji bukan bikinan Belanda!


Ada tulisan di media massa yang menulis, bahwa gelar Haji adalah warisan kolonial. Pada tahun 1916 Belanda menyematkan gelar Haji pada penduduk Hindia Belanda yang telah menunaikan ibadah haji ke Mekah. Hal ini agar mereka mudah diawasi karena para haji dianggap tokoh agamawan yang memiliki pengaruh di tengah masyarakat. Jadi Belanda mewajibkan mereka menggunakan gelar haji di depan nama mereka. Bahkan ada yang lebih ekstrim lagi pendapat akademisi yang menyebutkan gelar haji cuma ada di Indonesia. 

Gambar 1. Jamaah Haji dari Kerinci di Hijaz tahun 1890 foto diambil Snouck Hurgronje 

Tapi benarkah demikian? Gelar Haji sesungguhnya telah dipakai sejak lama, sejauh berkuasanya Dinasti Mamluk di Mesir pada abad ke-13 M. Gelar tersebut diberikan untuk menghormati orang-orang yang telah menunaikan ibadah haji. Misalnya saja seorang tokoh Sufi abad ke-13 terkenal dari Turki, Haji Bektasi Wali, ia telah menggunakan gelar tersebut di abad ke-13 M.

Di Nusantara, penggunaan gelar Haji masih bisa ditelusuri buktinya. Misalnya inskripsi nisan Aceh dari masa Kesultanan Pasai abad ke-15 Masehi di situ tertulis nama tokoh HAJI  'IZZUDDIN bin HAJI ISMA'IL  AMIRABADIY yang wafat pada 865 Hijriah. Adalagi gelar Sultan Haji pada abad ke 17 yang disematkan kepada anak Sultan Ageng Tirtayasa.

Gambar 2. Nisan Aceh dengan tulisan Haji Izzudin bin Haji Ismail Amirabadiy

Di Jambi, gelar Haji masih bisa ditelusuri dari surat-surat Kesultanan Jambi yang dikirim ke Kerinci sekitar abad ke 17-18. Misalnya surat yang dikirim ke Sanggaran Agung, di situ tertulis nama Haji Abdul Latif yang belakangan masih dijumpai makamnya di Tanjung Tanah. Masyarakat di sana menyebut Haji Abdul Latif sebagai Ninek Ji Lateh. Ada juga nama Tuan Haji Imam Abdul Rauf dalam surat Pangeran Sukarta pada 1192 Hijriah (abad 18 M) kepada tujuh orang depati di Sungai Penuh.

Gambar 3. Makam Haji Abdul Latif atau Ji Latih dalam bahasa Kerinci

Penduduk Kerinci menggunakan gelar Haji sejak abad ke-19 M. Waktu itu tercatat terjadi peningkatan jumlah jamaah haji dari Kerinci. Bahkan Di Museum Turki juga ditemukan surat permohonan dari jamaah haji Kerinci di Hijaz kepada Sultan Turki karena Belanda terlalu ikut campur urusan haji. Orang Kerinci pasti akan menggunakan gelar hajinya setelah punah ke kampung halamannya. Contohnya seseorang yang punya nama lahir Mat Perang menggunakan gelar hajinya Haji Sultan Saleh. 

Jadi, penggunaan gelar Haji telah digunakan sejak lama oleh umat Islam baik di Indonesia maupun di luar negeri. Hanya saja, Belanda yang mungkin membuat aturan hukum tentang penggunaan gelar itu di Indonesia sehingga menjadi kewajiban bagi orang-orang yang telah naik haji untuk menggunakannya.

https://www.kompas.com/tren/read/2023/06/27/173000465/asal-usul-gelar-haji-hanya-ada-di-indonesia-warisan-belanda-untuk-tandai

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari manakah Asal Usul Penduduk Dusun Siulak Mukai? Menelusuri Sejarah dan Struktur Pemerintah Adat Masyarakat Siulak Mukai

Sekilas Tentang Wilayah Adat Mendapo Limo Dusun (Sungai Penuh), Tanah Pegawai Rajo-Pegawai Jenang

Mengenal Sapaan dan Istilah Kekerabatan dalam Masyarakat Kerinci

Sejarah Wilayah Tigo Luhah Tanah Sekudung, Siulak di Kerinci

Empat Prasasti Tanduk dari Mendapo Rawang Berhasil Dibaca Ulang, Ini Isinya!

Legenda Batu Patah: Cerita Rakyat dari Danau Kerinci

Menengok Barang-Barang dari Kerinci yang Menjadi Koleksi Museum Nasional di Jakarta

Asal Usul Penduduk Dusun Siulak Gedang, Ibu Negeri Wilayah Adat Tanah Sekudung