Menelusuri Nenek Moyang Orang Semurup berdasarkan Tembo Incung
Kenduri Sko di Semurup pada tahun 1980-an. Dok. Kebudayaan Kerinci |
Menelusuri Nenek Moyang Orang Semurup berdasarkan Tembo Incung
by: boedayakerinci.blogspot.com
Semurup, merupakan satu wilayah adat di Kerinci yang terletak di bagian Hulu atau Barat Laut Lembah Kerinci. Saat ini,wilayah adat Semurup meliputi dua kecamatan di Kabupaten Kerinci yakni kecamatan Air Hangat dan kecamatan Air Hangat. Jauh sebelum itu, terutama pada masa Belanda, wilayah adat Semurup termasuk ke dalam wilayah Mendapo Semurup dan berada dalam Distrik Kerinci Hulu.
Untuk melacak sejarah nenek moyang yang menghuni wilayah Semurup, mestilah ditelusuri dari sejarah masing-masing suku/kelebu yang menghuni wilayah ini. Pasalnya, tiap-tiap wilayah adat di Kerinci tidak dihuni oleh satu suku semata. Akan tetapi oleh banyak suku. Bayangkan saja satu dusun bisa dihuni oleh tiga atau empat suku/kelebu apalagi untuk wilayah adat yang terdiri dari banyak dusun dan banyak tingkat permukiman.
Upaya untuk melacak asal usul nenekmoyang atau leluhur masyarakat adat Semurup sudah banyak dilakukan oleh pemangku adat setempat. Mereka membuat begitu banyak stamboom silsilah, atau narasi yang ditulis ulang dari tradisi lisan. Namun sayangnya, antar stamboom dan antar narasi tersebut ada banyak ketidaksesuaian dan ketidakcocokan. Hal ini dapat dimaklumi karena para pembuatnya di masa lalu merujuk dari narasumber yang berbeda. Apalagi hanya bersumber dari tutur dan tradisi lisan yang sangat rentan diubah guna kepentingan politis masyarakat pada konteks tertentu di masa lalu. Namun begitu, bukan berarti sejarah dari tradisi lisan ini tidak dapat dijadikan acuan dalam menyusun sejarah lokal.
Selain bersumber dari tradisi lisan, penelusuran sejarah nenek moyang dapat bersumber dari sumber sejarah yang lebih faktual dan lebih valid yakni dari naskah-naskah kuno. Di Kerinci, naskah-naskah kuno yang banyak mengandung kisah leluhur umumnya ditulis di atas tanduk Kerbau menggunakan aksara lokal yang disebut Surat Incung. Naskah seperti ini disebut sebagai Tembo Incung dan biasanya disimpan sebagai pusaka oleh suku atau kelebu pemiliknya.
Bagi saya, bila dilihat dari nilainya sebagai sumber sejarah, maka tembo Incung berada jauh di atas tutur atau tradisi lisan yang sekarang. Meskipun tak dipungkiri pula bahwa tembo Incung juga bersumber dari tradisi lisan di masa lalu. Bedanya, tembo Incung ditulis jauh sebelum ditulisnya silsilah yang dipegang oleh pemangku adat yang sekarang. Bisa dibayangkan, bila tembo Incung ditulis pada pertengah tahun 1800-an, maka bisa jadi ia bersumber dari tradisi lisan atau kejadian se abad sebelumnya.
Di tahun 1941, seorang peneliti Belanda yang bernama Voorhoeve telah mengalihaksarakan beberapa naskah kuno dari wilayah Semurup. Hasil alihaksara itu, dimuat dalam dokumen "Tambo Kerintji" dan dikemudian hari dimuat secara daring oleh Uli Kozok pada laman http://ipll.manoa.hawaii.edu/tambo/e.html . Delapan di antaranya naskah kuno itu merupakan tembo Incung yang ditulis pada tanduk Kerbau. Ke delapan tembo Incung dari Semurup itu adalah sebagai berikut: (1) TK 145, disimpan sebagai pusaka oleh Depati Simpan Bumi Tuwo Dusun Balai; (2) TK149, disimpan oleh Sutan Depati Pangga Bumi Tuo dusun Balai; (3) TK 150 disimpan oleh Depati Sigumi Merajo Bungsu dusun Gedang Semurup; (4) TK 151; (5) TK 152, keduanya disimpan oleh Mangku Agung Tuo di Dusun Pendung Semurup; (6) TK 160 disimpan oleh Rajo Simpan Bumi Tuo di Koto Dua Semurup; (7) TK162; (8) TK 163, keduanya disimpan oleh Depati Mudo dusun Koto Tengah. Namun demikian, hasil alihaksara Voorhoeve ini sangat sulit dipahami. Oleh sebab itu, saya melakukan kritik teks ---yang tidak dimuat dalam tulisan ini--- untuk mempermudah pemahaman. Berdasarkan hal ini pula, maka silsilah atau riwayat nenek moyang di bawah ini merupakan hasil pembacaan dan penafsiran saya.
Bila dibandingkan antara silsilah nenekmoyang yang dipegang pemangku adat dengan isi Tembo Incung, maka ditemukan beberapa informasi yang tidak sesuai atau terkadang ada informasi yang terkurang atau terlebih di antara kedua jenis sumber itu. Misalnya saja, dalam silsilah nenek moyang Orang Semurup yang tersebar di internet, disebutkan bahwa asal usul nenek moyang orang Semurup adalah dari dua leluhur yang berasal dari dua tempat berbeda yaitu Rio Cayo yang berasal Koto Payung Semurup Tinggi dan Syeikh Mangkudo Sati yang berasal dari Koto Talang Lindung (lihat: di sini). Sayangnya, dua tempat ini sama sekali tidak disebut dalam tembo Incung. Di sisi lain, tembo Incung memberi informasi tambahan akan adanya leluhur yang berada dua atau tiga generasi di atas kedua tokoh leluhur awal atau tentang adanya tokoh leluhur lain yang tidak diketahui oleh masyarakat.
Sebagai contoh pada TK 149, tembo itu menyebutkan nama leluhur pertama yaitu Ninik Paduka, Ninik Paduka ini memiliki anak perempuan bernama Andir Alit. Andir Alit ini menikahi seorang lelaki asal Minangkabau dan memiliki anak lima orang yaitu Rio Cayo, Tuwa Baginda, Awan Malila, istri dari Patih Jadi dan istri dari Tuan Syeikh. Isi tembo TK 149 ini selaras dengan tembo TK 160, namun di sana disebutkan bahwa leluhur perempuan yang memiliki lima anak itu bernama Ninik Ulat atau bila diucapkan dalam dialek bahasa Kerinci menjadi Ninek Ulek. Sampai saat ini, masih terdapat lokasi yang diyakini sebagai makam Ninek Ulek di Koto Dua Lama, Semurup.
Isi tembo tentang asal usul leluhur orang Semurup yang cukup jelas, justru disimpan di wilayah adat lain yaitu tembo TK 35 yang disimpan oleh Singaraja Pait di Dusun Koto Tengah-Koto Lolo, wilayah adat Duo Nenek, Mendapo Rawang, sekitar lima kilometer ke arah Barat Daya Semurup. Di dalam tembo itu disebutkan bahwa nenek moyang yang pertama di Tanah Semurup (ditulis Samurut) adalah Tuwo Hakir (Tuwa Hakir) seorang laki-laki dari Minangkabau yang menikahi perempuan tempatan bernama Puti Sani. Mereka mempunyai seorang anak perempuan bernama Ninik Ulat. Oleh sebab itu, Tokoh Tuwa Hakir dalam naskah ini identik dengan Ninik Paduka yang disebut dalam naskah TK 149.
Ninik Ulat di dalam naskah ini juga disebut memiliki lima anak yaitu (1) Tuwa Baginda; (2) Awang Melila; (3) Ria Caya (Rio Cayo); (4) seorang perempuan bernama Saladung Siyah yang memiliki suami bernama Patih Jadi; (5) seorang perempuan bernama Sapicit yang memiliki suami bernama Tuan Syeikh. Sapicit dan Tuan Syeikh ini memiliki anak laki-laki bernama Parajinak Kadayat.
Parajinak Kadayat memiliki istri bernama Sabalas dan mempunyai anak tiga orang yaitu Sahidut, Pak Jang Malu dan Parajinak. Pak Jang Malu memiliki anak perempuan yang bernama Suluh Sakilan. Suluh Sakilan ini juga dipanggil sebagai Induk Sabuk di Bungkal Pandan (wilayah adat Sungai Penuh). Lebih lanjut, disebutkan juga bahwa antara Sahidut dan Pak Jang Malu ini merupakan saudara satu bapak lain ibu.
Terus mengapa tembo Incung masyarakat Semurup ini disimpan di Koto Tengah-Koto Lolo? Agaknya Singaraja Pait seorang leluhur masyarakat di Koto Tengah ini adalah keturunan dari Suluh Sakilan, yang dikenal sebagai induk Sabuk di wilayah mereka. Mungkin sekali Suluh Sakilan ini menikahi laki-laki di Bungkal Pandan dan dibawa ke kampungnya, dari merekalah kemudian lahir Singaraja Pait. Namun pastinya, Suluh Sakilan adalah keturunan dari Parajinak Kadayat yang ibunya adalah Sapicit anak dari Ninik Ulat dari Semurup.
Parajinak Kadayat memiliki istri bernama Sabalas dan mempunyai anak tiga orang yaitu Sahidut, Pak Jang Malu dan Parajinak. Pak Jang Malu memiliki anak perempuan yang bernama Suluh Sakilan. Suluh Sakilan ini juga dipanggil sebagai Induk Sabuk di Bungkal Pandan (wilayah adat Sungai Penuh). Lebih lanjut, disebutkan juga bahwa antara Sahidut dan Pak Jang Malu ini merupakan saudara satu bapak lain ibu.
Terus mengapa tembo Incung masyarakat Semurup ini disimpan di Koto Tengah-Koto Lolo? Agaknya Singaraja Pait seorang leluhur masyarakat di Koto Tengah ini adalah keturunan dari Suluh Sakilan, yang dikenal sebagai induk Sabuk di wilayah mereka. Mungkin sekali Suluh Sakilan ini menikahi laki-laki di Bungkal Pandan dan dibawa ke kampungnya, dari merekalah kemudian lahir Singaraja Pait. Namun pastinya, Suluh Sakilan adalah keturunan dari Parajinak Kadayat yang ibunya adalah Sapicit anak dari Ninik Ulat dari Semurup.
Lebih lanjut dalam naskah TK 150, dijelaskan silsilah keturunan dari anak Ninik Ulat terutama dari anaknya Rio Cayo. Disebutkan bahwa Rio Cayo seorang leluhur laki-laki memiliki sembilan orang anak yaitu: (1) Ninek Besi (perempuan); (2) Ninek Baik (perempuan); (3) Ninek Suri (perempuan); (4) Intan Baginda (laki-laki); (5) Singado Dubalang (laki-laki); (6) Kari Baik (perempuan);(7) Kilat Manja (laki-laki); (8) Tarimanggung (laki-laki);(9) Ninek Nampil (perempuan). Adapun laki-laki yang bernama Singada Dubalang di dalam TK 149 disebut memiliki tiga gelar pusaka yang diberikan oleh para raja dari daerah yang dikunjunginya yaitu Depati Kepala Pasembah Rikna Panggar Bumi, Depati Semurup dan Depati Raja Simpan Bumi Berdarah Putih.
TK 160 menceritakan silsilah Ninek Ulat yang paling lengkap. Di dalam naskah itu, dijelaskan keturunan masing-masing dari lima anak Ninek Ulat. Hal ini tidak seperti naskah tanduk yang lain yang hanya menjelaskan secara rinci keturunan dari salah satu anak Ninek Ulat saja. Namun sayangnya, teks TK 160 sudah sangat kabur sehingga hanya sedikit yang terbaca oleh Voorhoeve.
Bila dibandingkan dengan silsilah yang diketahui masyarakat atau dipegang oleh Pemangku Adat Setempat. Tampaknya ada beberapa persamaan dan perbedaan dengan apa yang tertulis di dalam Tembo Incung. Adapun riwayat yang diketahui secara umum adalah, pertama, Rio Cayo disebut tidak memiliki saudara dan anak dari Ninik Paduka. Sedangkan Tembo Incung menyebut bahwa Rio Cayo memiliki empat Saudara, mereka adalah anak dari Ninek Ulat atau cucu dari Ninek Paduka. Kedua, salah seorang anak perempuan Rio Cayo yang bernama Salih Manjuto dinikahi oleh Syeikh Mangkudo Sati dari Talang Belindung. Padahal di dalam teks tembo Incung, yang menikahi Tuan Syeikh (identik dengan Syeikh Mangkudo Sati) adalah saudara perempuan Rio Cayo. Ketiga, keterangan silsilah secara umum menyebutkan beberapa anak dari Rio Cayo yang di antaranya memiliki persamaan dengan Tembo Incung. Namun tembo Incung menyebut Rio Cayo memiliki sembilan orang anak sedangkan yang diketahui oleh masyarakat memiliki tujuh orang anak.
Tidaklah salah bahwa masyarakat Semurup meyakini bahwa mereka berasal dari dua leluhur dan dari dua tempat yang berbeda. Namun berdasarkan tembo Incung, diketahui bahwa semuanya adalah keturunan dari Ninek Ulek yang makamnya berada di pinggir jalan desa Koto Dua Lama. Hubungan antara dua asal keturunan ini adalah hubungan antar anak Ninek Ulat yakni antara anaknya yang laki-laki (Rio Cayo) dan anaknya yang perempuan (Saladung Siyah istri dari Patih Jadi dan Sapicit istri dari Parajinak). Sementara itu, dua anak laki-laki Ninik Ulat yang lain kemungkinan menikah (bersemenda) dengan perempuan dari permukiman lain sehingga tidak menetap di Semurup.
Rio Cayo yang dikatakan turun dari Koto Payung tampaknya menikahi perempuan dari suatu kelompok masyarakat yang bermukim di Koto Payung dan memiliki anak sembilan orang. Keturunannya inilah yang kemudian bermukim di sebagian besar Tanah Semurup terutama di Koto Dua Lama, Koto Mudik, Dusun Balai, Dusun Gedang, Koto Cayo dan Koto Diair dan beberapa desa yang merupakan pengembangan dari permukiman itu. Keturunan dari Rio Cayo yang menetap di Semurup di kemudian hari mengelompokkan diri menjadi dua bagian.
Pertama, disebut sebagai Luhah Anak Jantan, yaitu mereka yang berasal dari keturunan Singado Dubalang -- anak Ninik Rio cayo yang laki-laki-- dan istrinya. Dari Luhah sini muncul gelar-gelar depati seperti Rajo Simpan Bumi, Depati Sigumi dan pecahannya, Depati Muncak dan Depati Agung. Luhah ini dipimpin oleh Rajo Simpan Bumi sehingga disebut pula sebagai Luhah Rajo Simpan Bumi.
Kedua Luhah Anak Batino, yaitu mereka yang berasal dari keturunan saudara perempuan (anak Batino) dari Singado Dubalang atau anak perempuan (anak Batino) dari Ninek Rio Cayo (seperti, Ninek Besi, Baik, Suri, Rabiyah Datu, Nampil). Dari luhah ini muncul gelar-gelar Depati yang dikenal sebagai Depati Simpan Bumi, Depati Kepala Sembah, Depati Singado Tuo. Karena dipimpin oleh Depati Kepala Sembah maka Luhah ini disebut pula sebagai Luhah Depati Kepalo Sembah.
Sementara itu, keturunan dari saudara Perempuan Rio Cayo yang menikahi Patih Jadi dan Tuan Syeikh Mangkudo Sati membentuk luhah yang dinamakan Luhah nan Mudo. Mereka menghuni Koto Baru, Koto Tengah, Koto Datuk, Maro Semerah, Dusun Kecil, dan Dusun Baru Semurup. Meskipun keturunan dari leluhur yang terawal, luhah ini disebut sebagai Luhah nan Mudo karena mungkin baru terbentuk setelah terbentuknya dua luhah sebelumnya. Dari Luhah ini muncullah gelar-gelar Depati yang disebut Depati Mudo, Depati Semurup dan pecahannya, serta Depati Mendalo Bumi. Ketiga Luhah inilah yang membentuk wilayah adat bernama Pamuncak Tanah Semurup.
Komentar