Pakaian Pemangku Adat di Siulak Tanah Sekudung yang Asli
Pakaian adat pemangku adat di wilayah adat Siulak Tanah Sekudung yang asli |
Pakaian adat adalah busana yang mencerminkan identitas yang dapat dikaitkan dengan wilayah geografis dan sejarah pada periode tertentu. Pakaian adat juga melambangkan status sosial, jabatan atau kekuasan pemakainya. Oleh sebab itu, ada aturan yang harus dipatuhi ketika seseorang menggunakan pakaian adat. Tak berbeda dengan wilayah adat Siulak Tanah Sekudung di Kerinci, pakaian adat menyimbolkan status sosial dan jabatan si pemakai. Apakah ia berkedudukan sebagai pemangku adat atau orang biasa.
Secara umum, pakaian adat yang digunakan oleh pemangku adat baik depati dan permenti ninek mamak di Siulak Tanah Sekudung terdiri dari empat bagian yaitu (1) lita, (2) baju prado meh, (3) peramban, (4) suwan.
Lita berasal dari bahasa Melayu “destar.” Terbuat dari kain batik Jambi atau kain katun hitam persegi dengan ukuran 110 x 110 cm (gambar 1). Sisi-sisi kain tersebut disulam dengan benang emas atau perak. Kain persegi tersebut dilipat dua sehingga membentuk segitiga.
Gambar 1. Kain Batik Jambi sebagai bahan Lita |
Bagian sisi terpanjang kemudian dilipat beberapa kali selebar telapak tangan dengan menyisakan ujung yang masih berbentuk segitiga sekitar satu jengkal lebih. Selanjutnya, kain tersebut diikat dikepala dengan meletakkan bagian segitiga di belakang kepala (Gambar 2). Ujung bagian segitiga kemudian ditarik ke arah muka sehingga berbentuk segitiga terbalik di bagian wajah.
Gambar 2. Lita adat Siulak setelah diikat di kepala |
Baju perado meh, merupakan baju teluk belanga berwarna hitam baik terbuat dari bahan beludru maupun katun yang disulam dengan benang emas pada bagian kerah dan ujung lengan baju. Pada bagian kerah biasanya dihiasi dengan sulam emas berbentuk sulur-suluran sementara ujung lengan dihiasi dengan motif pucuk rebung (gambar 3).
Gambar 3. Baju adat Perado Meh |
Peramban merupakan kain sarung baik berupa tenun songket maupun kain sarung bugih. Biasanya dipilih warna merah tua (gambar 4). Peramban dipasang seperti memasang sarung tetapi hanya setinggi lutut. Untuk para permenti-ninek mamak, peramban biasanya dipasang menyerong dengan cara melipat kain sarung sehingga membentuk segitiga.
Gambar 4. Kain songket dengan warna dasar merah tua |
Selanjutnya kain tersebut diikat dipinggang dengan ujungnya berada di lutut kiri. Peramban diikat dengan cinggang, yaitu ikat pinggang yang terbuat dari kain. Biasanya, orang-orang kaya menggunakan pending perak untuk menggantikan cinggang. Pada bagian cinggang diselipkan keris. Keris berukuran pendek umumnya dimasukkan kedalam peramban sehinggga hanya gagangnya yang terlihat. Sementara itu, keris panjang tidak dimasukkan kedalam peramban tetapi hanya diselipkan di cinggang sehingga terlihat secara keseluruhan.
Gambar 5. Pakaian adat Depati dan Permenti Ninek Mamak di wilayah adat Siulak Tanah Sekudung |
Suwan merupakan celana panjang berwarna hitam baik dari katun maupun beludru. Pada ujung celana juga disulam dengan benang emas dengan motif pucuk rebung. Saat dipakai, suwan ditutup lagi dengan peramban sebatas lutut sehingga bagian suwan yang terlihat hanya batas lutut ke bawah.
Para pemangku adat dengan jabatan depati biasanya menambah atribut pakaian berupa tongkat yang dipegang di tangan kanan, dan uncang sirih yang disandang di bahu kiri. Uncang sirih ini dihiasi dengan turai uncang pada tali penutupnya yang terbuat dari perak dan kuningan (Gambar 6). Sementara itu, para permenti dan ninek mamak tidak menggunakan tongkat maupun uncang.
Gambar 6. Turai uncang yang digantungkan pada uncang sandang berisi perkakas menyirih |
Sayangnya, saat ini jarang masyarakat yang mengetahui cara berpakaian adat yang benar. Sehingga, banyak unsur baju adat yang dihilangkan atau diganti. Misalnya, lita yang tidak lagi menggunakan lita adat tetapi diganti dengan Saluak Datuk di Minangkabau atau unsur uncang dan tongkat yang tidak lagi dipakai. Hal ini karena hilangnya pengetahuan tentang cara membuat lita serta masyarakat yang maunya serba instan dengan membeli saluak yang banyak dijual di pasar. Tentu saja hal ini akan memudarkan budaya Kerinci yang asli khususnya di wilayah Siulak Tanah Sekudung.
Komentar