Nasi Manih dan Adat Mulang Penyanda: Menjalin Hubungan Harmonis Setelah Kematian di Kerinci
Memasak nasi manih kuliner khas Kerinci. Sumber: Budaya Kerinci |
Sajian Peringatan Kematian
Kematian
adalah momen duka cita, di mana seseorang mengungkapkan rasa kesedihannya
karena ditinggal oleh orang-orang terkasih. Kematian juga melahirkan
tradisi-tradisi yang berkaitan dengan peringatan kematian tersebut.
Di
Indonesia ada banyak tradisi untuk memperingati kematian . Tradisi paling umum
adalah peringatan 3 hari, 7 hari hingga 40 hari kematian. Di Tanah Toraja
ada tradisi yang dinamakan rambu solo.
Di
Hulu Lembah Kerinci, Dataran Tinggi Jambi, tepatnya di sekitar kecamatan Siulak
dan kecamatan Siulak Mukai, Gunung Kerinci, Kayu Aro dan Gunung Tujuh, ada tradisi yang unik dalam peringatan 7 hari
kematian seseorang. Mereka menyajikan kuliner tradisional yang hanya ada dalam
upacara itu, kuliner tersebut dinamakan sebagai nasi
manih.
Nasi manih terbuat
dari komponen-komponen yang sangat sederhana. Tiga komponen utama adalah pulut
putih (ketan putih) yang sudah ditanak (nasi ketan), santan kelapa dan gula
tebu merah. Selain itu terdapat pula tambahan garam, daun pandan wangi, daun
cengkeh dan kayu manis sebagai penyedap rasa.
Cara
membuatnya pun sangat sederhana, santan kelapa, gula merah serta daun-daunan
penyedap dimasukkan dalam kancah (kuali
besar) yang telah dijerang di atas api. Setelah, santan kelapanya mendidih dan
gula merah larut, barulah nasi ketan dimasukkan dan diaduk hingga merata sampai
larutan gula merah dan santan benar-benar menyatu di dalam nasi ketan.
Setelah itu, nasi manih yang telah masak diangkat dan diratakan (bahasa setempat: digacah) di atas talam (nampan berukuran besar). Setelah mendingin barulah nasi manih, dipotong dalam sayatan jajaran genjang dan disajikan kepada kaum kerabat yang hadir.
Proses memasak Nasi Manih Foto: Budaya Kerinci |
Simbol Pengikat Tali Persaudaraan
Kematian
memang menyebabkan hubungan sosial si mati dengan kaum kerabatnya terputus.
Tapi tidak begitu bagi masyarakat Kerinci, kematian justru menjadi momen
mempererat kembali hubungan antar kerabat dan sanak keluarga yang
ditinggalkan.
Rasa gurih dan manis yang dihasilkan oleh nasi manih, semanis hubungan keluarga yang dipererat kembali melalui momen upacara kematian. Diharapkan hubungan antara kemenakan dan anak dari yang meninggal tetap baik da harmonis semanis nasi manih yang dimasak pada hari itu.
Dua Komponen nasi manih yaitu
santan dan pulut putih yang memiliiki warna putih yang merupakan simbol dari hukum s'rak (hukum islam) dan keikhlasan
melepas kepergian si mati, sementara gula yang berwarna coklat
kehitam-hitaman sekaligus memberi warna "hitam" pada si pulut
putih merupakan simbol dari hukum adat yang digunakan oleh masyarakat Kerinci
dan persatuan kerabat yang ditinggalkan.
Dalam upacara kematian pada masyarakat adat di hulu Lembah Kerinci, ada dua komponen hukum yang harus dilakukan yakni hukum Islam dan hukum adat.
Pelaksanaan hukum islam terkait dengan penyelenggaraan jenazah harus sesuai dengan kaidah-kaidah fikih dalam hukum Islam seperti memandikan jenazah, mengkafani hingga penguburan. Sementara itu, setelah pemakaman usai ada tradisi berdasarkan hukum adat yang harus dilaksanakan oleh para ahli waris. Salah satunya tradisi "mulang pinyanda" sebagai aplikasi dari hukum adat:
"mati pameman bagalang panakan, mati panakan bagalang pameman".
serta hukum adat yang berbunyi tentang pembagian warisan:
“Panjang bakerat, buntak dikeping, ujung jatuh ka anak jantan, pangkan jatuh ka anak batino, keping jatuh ka panakan menjadi penyanda namonyo”
Pemberian penyanda kepada para kemenakan. Sumber: Budaya Kerinci |
Lahir dari Budaya Matrilineal
Karena
telah disinggung mengenai tradisi "mulang
pinyanda", tak elok rasanya penulis tidak menjelaskan mengenai
tradisi ini. Mulang pinyanda
berasal dari dua kata yaitu kata mulang berasal
dari kata memulangkan yang berarti mengembalikan. Sedangkan kata
"pinyanda" berasal dari kata"persandaran" yang berarti
tempat untuk bersandar atau topangan, sinonim dari kata "galang".
Oleh sebab itu, secara harfiah mulang
pinyanda diartikan sebagai mengembalikan topangan/sandaran.
Masyarakat
Kerinci menganut sistem matrilineal yang kuat, mereka mengambil hubungan
kekeluargaan berdasarkan garis keturunan dari pihak leluhur perempuan dan
membentuk suatu kaum, disebut dengan istilah kalbu.
Sistem ini menyebabkan hubungan antara pameman (saudara
laki-laki dari ibu atau saudara perempuan dari ayah) dengan para kemenakan
lebih diutamakan secara adat.
Di
samping itu pula, karena masyarakat Kerinci hidup berdasarkan kalbu, maka terdapat pula harta
warisan nenek moyang milik kalbu (lahan
sawah, ladang dan kebun) yang dikelola oleh individu-individu sebagai
anggota kalbu termasuk pula
oleh sang pameman yang telah
meninggal dunia.
Jikalau
harta yang sifatnya milik personal "si mati" maka harta tersebut
diwariskan kepada ahli waris (anak-anaknya), tetapi bila si mati pernah
menggunakan harta milik bersama maka sang ahli waris wajib melakukan
pengembalian kepada orang yang masih terhitung keponakan orangtuanya dalam sebuah kalbu karena dianggap sebagai hutang
yang mesti dibayarkan.
Pengembalian kepada para keponakan itu berupa sejumlah pembayaran yang diatur secara adat. Inilah yang dimaksud sebagai "mulang pinyanda". Mulang pinyanda terdiri dari sejumlah komponen pembayaran yaitu:
1. Bingku kapalo Kebau, bila diuangkan menjadi 500 rupiah hitungan uang lama atau 500 ribu rupiah hitungan uang sekarang),
2. Ayam penahah batu dan batang pinyanda, besarnya 700 rupiah uang lama, 700 ribu rupiah hitungan uang sekarang,
3. mangkuk pinggan (bagi pameman perempuan atau Kujo Kerih (bagi pameman laki-laki), besarnya 500 rupiah hitungan uang lama, 500 ribu rupiah hitungan uang sekarang),
4. iku kapalok, besarnya 500 rupiah uang lama, 500 ribu rupiah hitungan uang sekarang,
5. Kain meriken petang (besarnya 125 rupiah hitungan uang lama menurut Haji Qadri)
6. Breh penyanda, besarnya lima kaleng untuk laki-laki dan enam kaleng untuk perempuan
7. Breh atah, diberikan hanya untuk kemenakan yang melakukan “cuci ke dalam” (membersihkan kotoran dari dalam tubuh jenazah) saat memandikan jenazah.
Pembayaran ini dilakukan pada hari ke tujuh setelah kematian sang pameman. Tentu saja ada persyaratan untuk melakukan tradisi adat ini yakni bila sang pameman yang telah meninggal semasa hidupnya pernah melakukan ibadah kurban, hal ini mungkin menjadi indikator bahwa sang pameman, memiliki kemampuan ekonomi selama hidupnya. Selain itu, di kelbu atau perut tersebut masih memiliki sawah letak atau sawah yang dipakai secara bergiliran (harto pusako tinggi).
Pada hakikatnya tradisi mulang pinyanda ini adalah penyatuan kembali hubungan kekeluargaan antara ahli waris sang pameman dengan para kemenakannya dalam sebuah kalbu yang hadir dalam acara itu.
Pada acara itu, mereka berkumpul kembali untuk mengenal anggota kalbu mereka satu sama lain yang sudah lama tak bertemu karena berbagai alasan. Tentu saja nilai kekeluargaan ini jauh lebih tinggi dari nilai uang yang harus dibayarkan, misalnya saja para ahli waris membayar pinyanda dengan jumlah total Rp 1.750.000 kepada para kemenakannya, uang tersebut harus dibagi lagi oleh para kemenakannya. Dalam suatu kasus, jumlah orang yang masih terhitung kemenakan dari si mati dalam suatu kalbu bisa mencapai 300 orang, yang bila uang pinyanda dibagikan, masing-masing hanya mendapatkan Rp. 5000/orang.
Tentu bukan jumlah yang seberapa tapi lebih penting dari itu adalah bertemunya kembali antara anak si paman dan para kemenakannya baik yang jauh maupun yang dekat.
Artikel ini telah ditayangkan di Kompasiana dengan judul:
Komentar