Sejarah Siulak (Bagian Pertama): Tinjauan Etnohistori
Sejarah Siulak (Bagian Pertama): Tinjauan Etnohistori
Oleh: Hafiful Hadi S
A. PENDAHULUAN
Seringkali sejarah masyarakat di wilayah pedalaman termarjinalkan karena jauh dari
pusat-pusat peradaban dalam konteks regional atau barangkali ketiadaan
sumber-sumber yang otentik. Padahal sebenarnya wilayah pedalaman memiliki peran
penting dalam hubungannya dengan bandar-bandar pesisir karena wilayahnya yang
subur. Ketiadaan sumber tertulis yang otentik untuk menelusuri sejarahnya bisa
di atasi melalui pendekatan lain, seperti pendekatan etnohistori dengan cara
menelusuri tradisi lisan, tembo atau struktur adat masyarakatnya.
Siulak
merupakan salah satu wilayah penting di Dataran Tinggi Jambi. Wilayah ini
terletak di tengah-tengah lembah Kerinci bagian Barat Laut atau tepatnya di zona
‘hulu’ dari daerah aliran sungai (DAS) Batangmerao. Sungai Batangmerao membelah
lembah Kerinci dari baratlaut ke tenggara dan bermuara di Danau Kerinci.
Secara
arkeologis, wilayah ini sangat potensial. Hal ini karena adanya temuan arkeologis
yang sangat penting di wilayah ini. Seperti Kubur Tempayan Siulak Tenang yang
berasal dari masa Protosejarah sekitar abad ke-5 SM hingga abad ke-2 M dan
temuan Nekara Perunggu Heger I di Desa Siulak Panjang yang diduga berasal dari
masa Paleometalik. Di samping itu, ada pula temuan masyarakat berupa pecahan
gerabah dan keramik glasir putih yang diduga dari masa Dinasti Song.
Temuan
gerabah berslip merah di Siulak Tenang membuktikan bahwa wilayah ini telah
dihuni oleh komunitas penutur Austronesia sejak pertengahan milenium sebelum Masehi.
Akan tetapi, tradisi lisan yang dimiliki oleh masyarakat justru di mulai dari
periode yang jauh belakangan, yaitu sejak masa-masa masuknya Islam dan itupun
terbatas pada sejarahnya para penguasa lokal atau kepala suku. Di sini agaknya
tepat istilah yang mengatakan sejarah hanya milik penguasa.
Secara
umum, legenda yang mereka punyai bercerita tentang kedatangan para nenek moyang
laki-laki dari wilayah lain dengan misi tertentu dan kemudian menikahi leluhur
perempuan setempat. Dari keturunan mereka terbentuklah suku yang disebut dengan
istilah kalbu. Kemudian dari kalbu itu, muncullah sosok bergelar
Dipati yang menguasai persekutuan kalbu yang disebut dengan luhah.
Tulisan
ini bertujuan menggali sejarah masyarakat yang ada di Siulak melalui tradisi
lisan yang mereka punyai, bersumber dari penuturan dan beberapa tulisan tokoh
adat setempat. Diharapkan tulisan ini dapat memperkaya khazanah pengetahuan
sejarah yang ada di wilayah Kerinci, Dataran Tinggi Jambi.
B. PEMBAHASAN
1.
Kajian Toponimi
Banyak
sudah tulisan yang bertebaran secara on-line yang menyinggung arti dari kata “Siulak”.
Beberapa mengatakan Siulak berarti “hulu sungai”. Meskipun demikian, perlu
ditelaah kembali melalui ulasan ini.
Berdasarkan catatan sejarah, kata “Siulak” pertama kali disebutkan dalam teks naskah dari Kesultanan Jambi (TK.148) dengan teks “Sulak” menurut Voorhoeve (Voorhoeve, 1941). Naskah ini dikeluarkan pada masa Sultan Anum Sri Ingalaga sekitar abad ke-18 M. Sumber berikutnya dalam laporan Belanda Hoogkamer tahun 1876 ditulis dengan teks “Soelaq”. Kemudian ditulis pula dalam tulisan Van Aken tahun 1915 yang menyebutnya sebagai "Sioelak".
Berdasarkan catatan sejarah, kata “Siulak” pertama kali disebutkan dalam teks naskah dari Kesultanan Jambi (TK.148) dengan teks “Sulak” menurut Voorhoeve (Voorhoeve, 1941). Naskah ini dikeluarkan pada masa Sultan Anum Sri Ingalaga sekitar abad ke-18 M. Sumber berikutnya dalam laporan Belanda Hoogkamer tahun 1876 ditulis dengan teks “Soelaq”. Kemudian ditulis pula dalam tulisan Van Aken tahun 1915 yang menyebutnya sebagai "Sioelak".
Bila
ditelaah kata Sulak atau Siulak berasal dari dua suku kata yaitu kata “Si” atau “Su” dan kata “Ulak”. Kata “Ulak”
kemungkinan berasal dari kata ‘Olak’ karena ada kebiasan dalam bahasa Kerinci
yang mengubah bunyi “O’ menjadi ‘U’ seperti kata “orang’ dalam bahasa Melayu
menjadi “uhang” dalam bahasa Kerinci atau kata ‘obat’ menjadi ‘ubat’ dst. Kata ‘olak’
dalam KBBI memiliki banyak arti seperti ‘gerak berputar’, ‘ombak kecil’, ‘pusaran’,
‘kembali’. Selain itu, dalam pepatah adat setempat sering disebut istilah “ulak
nan dari pado itu’. Di sini ‘ulak’ diartikan sebagai pangkal atau awal. Sedangkan kata “si” masih tidak diketahui
artinya. Beberapa mengaitkan istilah si berasal dari kata ci yang diartikan
sebagai air atau sungai. Meskipun pengertian ini masih meragukan.
Berdasarkan
penjelasan ini, disimpulkan bahwa ada beberapa arti dari kata Siulak. Pertama,
bisa jadi artinya “hulu sungai’ sebagaimana pendapat kaum adat, karena memang
wilayah ini berada di bagian hulu dari Sungai Batangmerao. Kedua, dapat diartikan
sebagai “pusaran”, mungkin merujuk pada karakteristik sungai di wilayah ini
yang memiliki banyak pusaran. Ketiga, “ombak kecil” pengertian ini bisa digunakan
bila dikaitkan dengan legenda bahwa lembah Kerinci dulunya merupakan sebuah
danau besar. Siulak merupakan kawasan yang tidak tergenangi, sehingga di sana terlihat
ombak-ombak kecil (olak) dari danau yang menyapu pinggiran kawasan tersebut.
Keempat, “pangkal” pengertian ini dapat pula digunakan karena memang kawasan
Siulak berada di wilayah “pangkal/ujung” dari Lembah Kerinci.
2. Menelusuri Tembo
2.1.
Siulak: Tatkala bernama Renah Puntialo
Tradisi
lisan menyebutkan bahwa jauh sebelum nama Siulak digunakan wilayah ini dulunya
bernama Renah Puntialo (sulak loun banamo sulak agi banamo nah puntialo).
Pada periode ini, diyakini bahwa wilayah Siulak saat itu dikuasai oleh
seorang Raja yang dinamakan Sutan Kalimbuk[1]. Raja
ini seorang kaya raya yang mampu mengubah pasir menjadi emas[2]
serta memiliki banyak peliharaan kerbau jalang[3]. Raja
ini juga sangat sakti, karena diyakini sebagai manusia abadi. Kesaktian dan keabadian
sang raja karena memiliki seekor burung sakti bernama burung bintialo (burung
keabadian) disebut pula sebagai burung limbuk putih yang bersarang di puncak
rumahnya[4]. Burung ini mampu mengobati Sutan Kalimbuk ketika ia sakit, bahkan menghidupkannya kembali dari kematian. Sutan Kalimbuk juga memiliki dua orang saudara perempuan yang sangat cantik bernama Mayang
Mangurai dan Sari Intan Jenun.
Suatu ketika datanglah tujuh orang
tokoh laki-laki yang bergelar Demang/Demong. Mereka berasal dari wilayah Selatan
Kerinci[5].
Kedatangan mereka bertujuan untuk menguasai harta kekayaan Sutan Kalimbuk untuk
dipersembahkan kepada raja mereka. Namun karena kesaktian Sutan Kalimbuk,
mereka tidak mampu mengalahkannya. Mereka hidup menjadi mata-mata, menyamar
sebagai masyarakat biasa di sekitar kerajaan Sutan Kalimbuk. Suatu saat
datanglah tokoh bernama Bujang Palimbang, kedatangannya untuk mencari wilayah
taklukan baru.
Demang dan Bujang Palimbang akhirnya
bersekutu untuk mengalahkan Sutan Kalimbuk. Pertama mereka memancing peperangan
dengan membawa lari saudara perempuannya (mangiwat), sehingga menimbulkan
amarah Sutan Kalimbuk, pada saat itu terjadilah peperangan. Akan tetapi, Sutan
Kalimbuk tak kunjung bisa dikalahkan karena ditolong oleh burung saktinya. Suatu
ketika, tahulah Demang dan Bujang Palimbang bahwa kesaktian Sutan Kalimbuk terletak pada burung
bintialo di puncak rumahnya.
Demang dan Bujang Palimbang menyusun
strategi baru untuk mengalahkan Sutan Kalimbuk yaitu membunuh burung sakti
terlebih dahulu. Demang memberikan sumpit beracun bernama sumpit emas
bademak ipuh kepada Bujang Palimbang
untuk menyumpit mati sang burung. Singkat cerita burung itupun mati tersumpit,
mengetahui hal tersebut Sutan Kalimbuk kemudian melepaskan kerbau jalang
miliknya untuk menyerang Demang dan Bujang Palimbang. Bujang Palimbang berhasil
membunuh kerbau jalang itu, sehingga digelari sebagai Bujang Agung oleh Demang.
Sejak peristiwa itulah Bujang Palimbang bergantinama menjadi Bujang Agung. Konon, Sutan Kalimbuk dan
pengikutnya dipercayai menjadi makhluk setengah dewa disebut Diwo/Diwa yang
menghuni kawasan hutan dan perbukitan di sebelah Barat kawasan Siulak setelah
kematian Burung Bintialo.
Setelah mengawini ke dua saudara perempuan Sutan Kalimbuk, Demang
dan Bujang Agung menetap di kawasan Renah Bintialo, dengan mengambilalih
tambang emas Sutan Kalimbuk. Demang membuat hunian di Bukit Paninjau Beruk, di
tepian lubuk bernama Lubuk Pirung Bulan. Hunian tersebut berkembang menjadi
Kuto Maro. Sedangkan Bujang Agung,
membuat hunian di Guguk Ndah, di tepian lubuk bernama Ujung Tanjung
Malako Kcik, huniannya berkembang menjadi Kuto Bringin. Anak keturunan Demang ini pada akhirnya membentuk sebuah
komunitas/suku yang dinamakan sebagai kalbu Demang. Sedangkan anak keturunan
Bujang Agung membentuk suku bernama kalbu/luhah Jagung. Kedua suku ini
merupakan suku yang terbentuk paling awal di wilayah Siulak.
(catatan: lanjutan tulisan akan dimuat dalam beberapa artikel bersambung)
[1] Awalan Sutan pada gelar tokoh ini kemungkinan
dipengaruhi oleh unsur Islam pada periode berkutnya. Karena legenda ini masih
bertahan dan berkembang pada masa Islam. Kemungkinan lain ada pergesaran bunyi
dari gelar “Tan” menjadi “Sutan”.
[2] Saya berasumsi
bahwa raja ini menguasai teknologi pendulangan emas dengan mengayak pasir untuk
mencari bijih-bijih emas
[3] Saya
berasumsi bahwa kerbau jalang yang
dimaksud mungkin adalah para budak/pasukan
[4] Dalam
mitologi masyarakat di Asia Tenggara, burung adalah simbol keabadian, juga lambang
dari ruh/spirit.
[5] Menurut penduduk
wilayah itu adalah Palembang
Komentar