Menerka Masa Kehidupan Tokoh Leluhur Orang Kerinci yang Diceritakan dalam Naskah Tambo Surat Incung
I. Pendahuluan
Keberadaan naskah surat Incung dalam masyarakat
Kerinci merupakan suatu hal yang sangat menarik untuk diteliti. Penelitian
terhadap naskah tersebut sejatinya sudah dimulai sejak lama, di tahun 1928(?)
saja misalnya, Westenenk telah menerbitkan tulisan berjudul Rentjong Schrift
yang isinya berupa alihaksara dan alihbahasa naskah surat Incung pusaka Datuk
Singarapi Putih, di Sungai Penuh. Selanjutnya di tahun 1941-3, Voorhoeve
di bantu oleh pejabat Belanda di Kerinci telah melakukan penelitian yang sangat
komprehensif terhadap naskah-naskah lama yang disimpan oleh masyarakat adat
Kerinci. Dia melakukan alihaksara terhadap banyak naskah yang ditulis
menggunakan aksara lokal yang disebut aksara Incung.
Isi dari naskah-naskah
surat incung sangatlah beragam ada yang isinya berupa prosa-prosa ratapan,
mantra dan silsilah serta riwayat kehidupan tokoh leluhur suatu kelompok
masyarakat adat di wilayah Kerinci. Silsilah serta riwayat dari tokoh leluhur/nenek moyang dalam bahasa lokal sering disebut dengan Tembo, sehingga naskah
yang berisi tentang hal tersebut disebut pula dengan naskah tembo. Naskah tembo
beraksara incung umumnya ditulis pada media tanduk kerbau
Sayangnya, tembo sama sekali
tidak memuat informasi pertanggalan baik mengenai waktu hidupnya tokoh leluhur
yang diceritakan maupun informasi pertanggalan mengenai waktu naskah tembo itu
dibuat. Hal ini seringkali menjadi polemik di tengah masyarakat Kerinci yang
kadangkala menghasilkan berbagai interpretasi keliru. Tokoh-tokoh leluhur yang
diceritakan dalam tembo dianggap sebagai tokoh yang paling awal mendiami
wilayah Kerinci, padahal dari perspektif keilmuan lain seperti arkeologi,
wilayah Kerinci telah dihuni manusia penutur Austronesia sejak neolitik. Oleh
sebab itu, sangat penting untuk meletakkan kehidupan tokoh leluhur yang
diceritakan oleh tembo ke dalam sebuah kronologi sejarah kebudayaan dalam
rangka menyusun sejarah kebudayaan orang Kerinci.
II. Pembahasan
2.1. Kapan Naskah Tembo Incung Dibuat?
Salah satu permasalahan
utama dalam mengkaji naskah surat Incung adalah masalah tentang kapan naskah
tembo itu dibuat. Hal ini dikarenakan ketiadaan informasi pertanggalan di dalam
naskah tembo itu sendiri. Sehingga untuk menduga "waktu" dibuatnya naskah tembo
haruslah dilihat dari pendekatan dan perspektif lain.
Perlu
disadari bahwa masa di mana manusia telah mengenal sistem tulis-menulis
dinamakan masa sejarah. Dalam konteks Indonesia, masa sejarah dimulai sekitar
abad ke 4 M, dengan temuan prasasti yang disebut Yupa. Prasasti itu
dibuat dengan aksara Pallawa, sebuah aksara yang berasal dari India Bagian
Selatan. Tetapi, pada masa selanjutnya bentuk aksara pallawa berkembang dalam
bentuk yang khas di Indonesia. Huruf-huruf pallawa yang berkembang secara lokal di Nusantara ini, lazim disebut aksara kawi atau pasca-pallawa seperti aksara
Jawa kuno, Sumatra Kuno, aksara Tanjung Tanah dan lain sebagainya.
'Ketuaan' dari sebuah aksara dapatlah diterka melalui kajian paleografi. Begitu
pula dengan kasus aksara Incung yang digunakan untuk menulis naskah tembo di
Kerinci. Aksara incung merupakan perkembangan lokal dari aksara Kawi yang berakar dari aksara pallawa (lihat Kozok, 2006). Di
Kerinci, naskah tertua yang memuat aksara incung adalah dua lembaran terakhir
dari naskah Undang-undang Tanjung Tanah. Naskah ini dibuat pada abad ke 14 M, tetapi dua lembar naskah beraksara incung tersebut
kemungkinan dibuat pada masa jauh setelahnya. Hingga akhir abad ke 19 M,
naskah beraksara Incung masih bisa dipahami oleh orang Kerinci walaupun jumlahnya
terbatas karena penggunaan aksara arab melayu yang kian berkembang. Oleh sebab itu, dugaan sementara surat incung
digunakan dari abad ke 15 hingga abad ke 19 M. Begitu pula,
dengan naskah-naskah beraksara incung kemungkinan dibuat pada periode abad ke
15 hingga 19 M.
Namun di sisi lain, naskah tembo beraksara incung umumnya di mulai dengan frasa
"ini surat tamba..."/ini surat tutur tambanya/ ini surat
tutur...../ini tutur tambanya ninik...../. Hal ini menunjukkan bahwa naskah
tembo tidaklah dibuat 'sezaman' atau 'satu waktu/periode' dengan
peristiwa-peristiwa yang diceritakannya sebagaimana lazimnya sebuah prasasti.
Istilah 'surat tutur' misalnya, menunjukkan bahwa naskah tembo ditulis
berdasarkan atau bersumber dari cerita/tutur lisan yang ada di tengah masyarakat
mengenai silsilah leluhur mereka.
2.2. Menerka Masa Hidupnya Tokoh Leluhur
Yang Diceritakan Tambo
Beberapa naskah Tambo Kerinci (TK) yang dibuat telah dialihaksarakan oleh
Voorhoeve menjadi bekal untuk menerka masa hidupnya leluhur yang diceritakan
dalam tembo. beberapa isi naskah tembo saling terkait dengan naskah-naskah
lainnya walaupun berasal dari dusun dan wilayah adat yang berbeda.
Misalnya
saja naskah TK. 149 dan naskah TK. 140. Naskah TK 149 (paralel dengan TK 145
dan TK 140) merupakan naskah pusaka Rajo Simpan Bumi dari Koto Dua Lamo,
Semurup. Naskah tersebut bercerita tentang silsilah dari tokoh leluhur mereka
yang bergelar Rajo Simpan Bumi. Naskah TK 149 menceritakan seorang leluhur
perempuan bernama Andir Ulat/ninik Ulat/Andir Halit (ninek Ulek) yang menikahi
seseorang yang berasal dari Sungai Sarik(?), Banang Kabau (Minangkabau?)
saudaranya Mahudum. Mempunyai lima orang anak yaitu Riyo Cayo, Intan Bagindo,
Awan Malilo, Bini (istri) Patih Jadi dan Bini Tuwan Sa'ih (Syeikh?). Riyo Cayo
mempunyai sembilan anak, salah satunya laki-laki bernama Sangado Dubalang.
Diceritakan bahwa Sangado Dubalang mendapat gelar Raja Simpan Bumi berdarah
Putih ketika menghadap Raja Putih [...Lalu ka raja putih bulih galar haja
simpan bumi badarih putih....].
Cerita mengenai tokoh yang
mendapat gelar Raja Simpan(g) Bumi Berdarah Putih juga dimuat dalam surat TK.
140. TK 140 adalah sebuah surat beraksara Jawi bertanggal 23 Ramadan 1246
Hijriah atau 6 Maret 1831 M. Surat tersebut
berasal dari Sri Sultan Muhammad Syah Johan Berdaulat dari Kerajaan Indrapura
diperuntukkan kepada Dipati Raja Muda dari dusun Kemantan. Naskah tersebut
bercerita tentang sebuah peristiwa penting antara Kerinci dan Indrapura, di
mana orang Kerinci membantu Sultan Indrapura terdahulu bernama Sultan
Permansyah berperang melawan Belanda (VOC) dan beroleh kemenangan. Atas jasa
itu, Sultan Permansyah memperbaharui perjanjian dengan orang Kerinci di sebuah
tempat bernama Pulau Persumpahan, di mana pada acara tersebut salah seorang
hulubalang dari Kerinci bernama Singada Tua/Singado Tuo diberikan gelar
Raja Simpan(g) Bumi berdarah putih. Peristiwa tersebut berlangsung pada hari
Rabu 12 Zulhijjah 1022 Hijriah atau pada 22 Januari 1614 M.
Dari dua naskah ini
dapatlah disimpulkan bahwa tokoh leluhur Sengado Dubalang/Sengado Tuo telah
dewasa pada tahun 1614 M, sehingga kemungkinan tokoh ini hidup pada akhir abad
ke 16 hingga paruh awal abad ke 17 M (dengan asumsi rata-rata umurnya 100
tahun). Sementara itu, neneknya yang bernama Andir Ulat yang bersuamikan tokoh
dari Minangkabau, kemungkinan hidup pada paruh akhir abad ke 15 M hingga
pertengahan abad ke 16 M. Sementara, Riyo Cayo ayahnya Sengado Dubalang
kemungkinan besar hidup di abad ke 16 M.
III. Kesimpulan
Tokoh-tokoh leluhur Kerinci yang diceritakan dalam Tembo adalah tokoh leluhur yang diperkirakan hidup pada periode abad ke 15 M hingga abad 17 M. Oleh karena naskah tembo ditulis dari sumber tutur lisan, maka kemungkinan naskah tersebut mulai ditulis pada abad ke 18 (1700-an) hingga abad ke 19 (1800-an). Di samping itu, tokoh-tokoh leluhur yang diceritakan dalam tembo tidak setua yang diperkirakan. Mereka semua hidup saat agama Islam sudah masuk ke Kerinci, hal ini juga dibuktikan dengan adanya tokoh yang digelari Tuwan Saih (Syeikh). Naskah TK yang lain (TK 18-19) seperti yang dimuat Westenenk juga bercerita tentang sosok penyebar Islam di Kerinci yaitu Siak Lengih/Malin Samilullah/Malin Sabiyatullah.
Referensi:
Voorhoeve, P. 1941, Tambo Kerintji: Disalin
dari Toelisan Djawa Koeno, Toelisan Rentjong dan Toelisan Melajoe jang Terdapat
pada Tandoek Kerbau, Daoen Lontar, Boeloeh dan Kertas dan Koelit Kajoe, Poesaka
Simpanan Orang Kerintji, P.Voorhoeve, dengan pertolongan R.Ng.Dr.
Poerbatjaraka, toean H.Veldkamp, controleur B.B., njonja M.C.J. (lihat
disini: http://ipll.manoa.hawaii.edu/indonesian/research/tambo-kerinci/)
Komentar